Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Kisah Tak Berujung

11 April 2020   18:52 Diperbarui: 11 April 2020   18:51 1103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Illustrated by pixabay.com

"Amak masak sambal ayam cabe hijau. Makanlah!"

"Belum lapar, Mak!"

Tak lagi bersuara. Wajah Amak lenyap bersama bunyi langkah kaki yang perlahan menjauh dari pintu kamar.

Tak lama, jejak langkah kembali mendekat ke pintu. Amak masuk ke kamar, tangannya membawa segelas kopi. Meletakkannya di atas meja, berbalik badan dan segera duduk di ranjang. Di sisiku.

"Sampai kapan?"

Sunyi yang tadi sejenak beranjak pergi. Telah kembali menguasai. Kurasakan Amak menatapku. Telapak tangannya, perlahan menyentuh kakiku. Kukira, tak perlu bicara. Kesunyian adalah satu-satunya cara menjelaskan tanpa rasa sakit.

"Tak mau bicara?"

Wajah Amak sesaat berpaling. Perlahan tubuh tua itu kembali bergerak menuju pintu kamar. Tiba-tiba langkah itu terhenti. Tanpa melihat, kudengar kalimat lirih dan bergetar.

"Kalau kau masih sayang pada Amak, makanlah! Walau hanya sedikit!"

***

"Aku ke sana, Bang!"

Belum sempat kujawab, namamu menghilang dari layar ponselku. Tak berjeda, kudengar suara Amak dari pintu depan. Kemudian langkah-langkah kaki terburu menuju kamarku. Mata beningmu menatapku, tak butuh waktu lama saat kulihat gelengan kepalamu.

"Malam tadi, Abang nulis?"

"Gak!"

"Kenapa telat bangun!"

"Kan, baru jam delapan? Malam tadi susah tidur!"

"Lah?"

"Memikirkanmu!"

Plak! Plak! Plak!

Aku telat meraih tanganmu. Setengah berlari, tubuhmu bergerak keluar dari kamar. Berhenti persis di tengah pintu, berbalik badan. Ada senyummu untukku.

"Abang carikan cabe hijau, ya? Tadi gak ketemu!"

"Haha..."

"Kenapa tertawa?"

"Kursus sama Amak lagi?"

"Gak boleh?"

***

Tiga tahun, Kau mewarnai hari-hariku. Tanpa sungkan, menunjukkan celoteh manja dan sikap yang menunjukkan keinginan untuk meraih perhatian lebih dariku. Bahkan di hadapan Amak.

"Bang, ada yang dekatin aku!"

"Orangnya nekat, Bang! Malah mau bertemu Ayah!"

"Abang gak cemburu?"

Pesan-pesanmu mengalir deras, terkadang kujawab singkat walau acapkali terlambat. Hingga tak lagi ada pesanmu untukku.

Tiga bulan tak pernah lagi bertemu. Kukira kau pasti mengerti, aku harus menyelesaikan novelku. Amak pun tak lagi bertanya tentangmu.  

***

Tak ada seorang pun yang mampu menunda kedatangan dan kepergian senja. Juga mencegah lenyapnya butiran embun di helai-helai dedaunan yang tersapu cahaya mentari pagi.

Alam begitu banyak mengajarkan kedatangan dan kepergian. Tanpa tanda-tanda juga isyarat untuk sebuah perpisahan.

Andre meletakkan ponselku di atas meja, di sebelah gelas berkopi, tepat di hadapku. Sambil mengubah posisi duduk, Andre menatapku.

"Jadi, selama ini kalian..."

"Gak!"

"Kau pasti tahu, perempuan butuh kepastian?"

"Tapi..."

"Nindi tak peduli jika..."

"Kau sudah baca semua pesan Nindi, kan?"

Andre terdiam sesaat. Menghirup nafas mendalam. Kemudian berkali menggelengkan kepala. Hingga kurasakan tangan kanannya menyentuh bahuku.

"Maaf, tapi harus kukatakan. Kau lelaki bodoh!"

***

"Kau mencintai Nindi, kan?"

Tiba-tiba Amak sudah berdiri di hadapku. Tak mampu kucegah. Amak bergerak cepat memelukku. Tubuh tua itu bergetar hebat. Aku tahu, ada tangisan untukku.

Bayangan cahaya senja, menyusup di balik tabir jendela kamar. Mengarsir garis tipis pada kalender yang tergeletak di meja. Mataku pun terpaku pada satu lingkaran hitam yang mengurung sepasang angka berwarna merah.

"Dua hari lagi! Kau mau hadir, kan?"

Kubiarkan pertanyaan Amak menguap di udara. Menelusuri ruang-ruang kosong yang menawarkan kehampaan. Agar mampu menyembunyikan seribu satu jawaban dan alasan yang tak akan pernah mengubah keadaan.

Di balik pelukan, kusaksikan rona jingga perlahan menjauh dari tirai jendela. Aku tahu, senja pasti setia menyimpan luka.


Curup, 11.04.2020

Zaldychan

Note : Fiksi ini diadaptasi dari lagu Glenn Fredly "Sedih Tak Berujung"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun