Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hari Puisi Sedunia, Kamus Sunyi Perjalanan Imajinasi

21 Maret 2020   20:43 Diperbarui: 21 Maret 2020   20:44 415
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber foto : https://www.tribunnews.com/lifestyle/

Tanggal hari ini, 21 Maret disah oleh UNESCO sebagai hari puisi sedunia (World Poetry Day). Ditetapkan pertama kali pada 21 Maret 1999. Untuk Hari Puisi Nasional diperingati setiap tanggal 28 April.

Momentum ini menyisipkan, setidaknya tiga pertanyaan. Pertama. Siapa yang berhak merayakannya? Kedua. Bagaimana cara merayakannya? Ketiga. Masihkah merayakan berarti memaknai puisi?

Mari berlari pada titian tanya yang pertama. Siapa yang berhak merayakan?

Apakah para penulis puisi? Orang-orang yang dijuluki sastrawan, kah? Orang yang telah mendapat penghargaan, para pemenang lomba, para penulis dan pemilik buku puisi, kah? Bagaimana dengan para pembaca dan penikmat puisi?

Kukira, tak ada keberanian satu atau sekelompok orang untuk mengakui sebagai pihak yang paling berhak merayakan hari puisi. Ada aturan "tak tertulis", ketika sesama penggiat puisi, tak akan menduduki kepala dan wajah pemuisi yang lain.

Jika pun ada acara perayaan, maka ukuran "senioritas" (usia dan jumlah karya) yang membuat seseorang dinaikkan setingkat lebih tinggi, dan didahulukan selangkah lebih maju untuk tampil dan duduk di depan.  

Coba kita menari pada undakan Tanya yang kedua. Bagaimana cara merayakannya?

Tak ada tabuh genderang yang mengisi sudut-sudut sunyi dengan berpuisi. Belum kudengar refleksi dari para pemuisi sebagai sebuah pidato kebudayaan untuk menyikapi arus global dan riak fenomena sosial saat ini.

Pilihan yang murah dan meriah adalah dengan kembali menulis puisi, atau merayakannya dengan membaca beraneka ragam puisi. Baik karya sendiri atau karya para maestro, atau memposting ulang, puisi utuh, sebagian atau cuplikan lirik dari karya mereka di media sosial.

Kemudian barisan lirik dan larik serta bunyi puisi-puisi itu kembali bersembunyi di antara langit-langit bumi. Atau, setidaknya bertengger sepi dan rapi di antara rak-rak perpustakaan yang dingin dan sunyi.

Saat mencari jawaban pada tangga tanya ketiga. Apatah dengan merayakan berarti memaknai?

Mari simak karya-karya prestisius seperti puisi" Aku" karya Chairil Anwar, "Malu Aku jadi Orang Indonesia" karya Taufik Ismail, Sutardji Calzoum Bachri dengan "O Amuk Kapak", Sapardi Djoko Damono dengan "Aku Ingin Mencintaimu dengan Sederhana". Atau "Kamus Kecil" karya Joko Pinurbo. Apa yang dirasakan?

Apatah kemudian, ketika puisi dimaknai sebagai media penyampai pesan, dengan diksi pilihan yang mewakili gagasan dan perasaan dari penulis. Dengan membaca dan menyimak ulang karya-karya di atas, kita sudah benar-benar memaknai?  

Illustrated by pixabay.com
Illustrated by pixabay.com
Ceritaku...

Dua tahun terakhir, dengan beberapa teman, aku menggerakkan Komunitas Pohon Baca. Setiap malam minggu, akan menampilkan puisi di laman media sosial facebook. Dengan nama kegiatan #malammingguberpuisi.

Setiap minggunya, akan ada setidaknya 20 puisi yang dibagikan. Jadi, silakeun dihitung jika sudah berjalan dua tahun dengan rata-rata karya sejumlah itu, kan? Pesertanya? Siapapun yang ingin berbagi. Adakah imbalan? Tak ada!

Apa yang didapatkan? Pertemanan! Hanya itu? Iya! Itu baru yang pasti didapatkan. Kenapa memilih puisi? Setidaknya proses menulis puisi lebih singkat. Tanpa alur atau plot yang rumit. Tinggal temukan ide, tulis, enak dibaca dan bagikan. Selesai!

Namun benarkah hanya itu? Ternyata tidak! Kucuri hikmah saat mengajak mereka berdiskusi ringan tentang karya mereka. Aku tulis, ya? Ahaaay...

Pertama. Kebiasaan menulis puisi setiap malam minggu, memaksa mereka mencari dan menggali ide. Agar puisinya tak sama dengan minggu sebelumnya.

Kedua. Tanpa sadar, mereka diajak untuk membaca beragam karya orang lain. kemudian pelan-pelan membandingkan dengan karya sendiri. Yang menghasilkan peniliaian pribadi tentang kelebihan dan kekurangan dari masing-masing.

Ketiga. Pembiasaan "menulis dan membaca, atau membaca dan menulis" itu. Memancing mereka pada karya sastra yang lebih luas, tak hanya puisi, keuntungannya? Memacu dan memicu untuk bereksperimen dengan sajian atau pilihan diksi yang baru.

Keempat. Ini yang acapkali membuat jengah dan wajah merah. Jika kuminta mereka "membandingkan" puisi karya mereka diawal dulu dengan karya mereka yang terakhir. Tak perlu kutagih jawaban, akupun merasakan seperti mereka.

Kelima. Hal terpenting! Teman-teman di Komunitas Pohon Baca, perlahan belajar "menghargai karya" yang dihasilkan oleh teman yang lain. apapun ide, sajian atau gaya penulisan dan pilihan diksi yang digunakan.

Illustrated by pixabay.com
Illustrated by pixabay.com
Akhirnya...

Bagiku, puisi akan kehilangan kebebasan makna. Ketika di bangku-bangku sekolah masih menanamkan beragam rumus-rumus puisi, contoh puisi seperti ini dan itu, cara menulis puisi yang baik dan benar adalah begini dan begitu.

Ketika para juri lomba baca puisi sibuk berdebat tentang artikulasi dan intonasi, hingga penghayatan dan pemaknaan isi puisi yang dibaca hanya satu bagian dari beberapa item penilaian.

Atau ketika juri karya cipta puisi, masih sibuk dengan perdebatan ini gaya lama dan itu gaya baru, ini puisi modern atau post modern berdasarkan ukuran yang tak terhingga bermakna "selera".

Jika masih begitu, maka puisi menemui kematian sunyi tanpa pusara, atau terdiam dan terpendam dalam keranda tak bernama.

Tulisan ini, anggaplah kebisingan-kebisingan sunyi yang tergolek di tepi perjalanan hari anak-anak manusia.

Sebagai penikmat puisi. Ingin kuucapkan selamat hari puisi. Bagi siapapun yang menimang waktu dengan menulis atau membaca puisi.

Salam dariku.

Curup. 21.03.2020

Zaldychan

[ditulis untuk Kompasiana]

1. facebook Komunitas Pohon Baca

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun