Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Pengalaman Pahit Masa Lalu, Perlukah Orangtua Sembunyikan dari Anak?

15 Februari 2020   13:52 Diperbarui: 16 Februari 2020   04:24 417
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Illustrated by pixabay.com

Setiap orang memiliki pengalaman hidup yang menyenangkan, pahit atau prihatin. Hanya saja, ada yang memilih untuk menceritakan dan berbagi, namun ada juga menyembunyikannya di bilik paling rahasia. Ahaaay...

Perbincangan sederhana pada sebuah WAG, malam tadi kusimak. Seseorang teman berkisah. Jika dulu, sebutir telur yang didadar, musti dibagi empat untuk berbagi dengan saudara yang lain.

Ternyata, beberapa anggota lain menimpali. Bercerita jika telur rebus musti dibagi, dengan menggunakan benang (mungkin biar adil, ya?). Sebutir telur baru bisa dinikmati jika ada perayaan istimewa. bahkan menikmati mie instan adalah hal yang mewah.

Seperti anggota yang lain. Akupun memiliki pengalaman yang sama dan kisah yang sama. Eh, jejangan sebelum era milenial, orang-orang memiliki hal yang persis sama, walau terpisah ruang dan waktu yang berbeda.

Berpijak dari perbincangan itu. Sebagai orangtua, kiramologiku merangkai pertanyaan, apa alasan orangtua menyimpan atau mengungkapkan kisah pahit itu? Jika diceritakan, Adakah batasan dan manfaatnya bagi anak?

Illustrated by pixabay.com
Illustrated by pixabay.com
Memilih Menyembunyikan atau Mengungkapkan?

"Dulu orangtuaku bertindak keras dan tegas. Malah pakai pukulan ikat pinggang. Guru-guru kalau menghukum juga keras. Padahal sekolah saja jalan kaki. Tanpa uang jajan! Tapi kita tetap bisa seperti ini! Anak-anak sekarang, semua ada dan mudah, malah susah diatur!"

Ini adalah ungkapan nyaris putus asa dari seorang teman, pada suatu diskusi di grup parenting. Kukira semua orangtua situasi begitu, kan? Akhirnya hadir percakapan berikut ini.

"Ya udah! Lakukan seperti itu ke anak!"
"Kasihan, Bang! Kan anak sekarang..."
"Atau ceritakan. Biar anak-anak tahu kisah masa perjuangan itu?"
"Malu, Bang! Ketahuan ayahnya dulu bandel!"

Begitulah! Terkadang rasa malu, rasa kasihan dan rasa sayang menjadi alasan keengganan orangtua berkisah tentang hidupnya. Atau khawatir anaknya bakal "ketularan" dan mengikuti jejak masa lalu yang dianggapnya tindakan itu dulu keliru.

Akhirnya, banyak orangtua memilih berkisah tentang "orang lain" untuk menjadi sumber inspirasi. Aku pribadi? Lebih memilih menceritakan kisahku. Tentu saja memilah kisah-kisah mana yang musti diceritakan. Hihi...

Kenapa Perlu Menceritakan Masa Lalu?

Dari beberapa artikel yang pernah kubaca, setidaknya ada tiga dampak positif, ketika menceritakan masa lalu. Termasuik pengalaman pahit itu pada orang lain. Entah melalui lisan atau tulisan.

Pertama. Bisa "menyembuhkan" diri sendiri. Pengalaman pahit terkadang melahirkan trauma bagi sebagian orang. Dan ini pelan-pelan menjadi penyakit bagi diri. Keberanian itu anggaplah upaya berdamai dengan masa lalu. Ahaaay...

Karena, saat bercerita, tanpa sadar kita melakukan refleksi diri, melakukan perenungan dan menyusun ulang alasan-alasan. Kenapa bisa bertahan hingga saat ini. Secara tak langsung beban psikologis berkurang dan merasa nyaman.

Kedua. Meningkatkan kekebalan tubuh. Terkadang pengalaman pahit dan dibiarkan mengendap, acapkali membuat emosi tak stabil. Nah, menyigi, meneliti dan berbagi kisah masa lalu, bisa meningkatkan imunitas tubuh.

Kok bisa? Seperti kisah pilu sebutir telur di atas. Walau di hati masih tersisa perihnya, jika diceritakan sekarang, akan menjadi lucu penuh gelak tawa. Dan menganggap hanya sebagai kenangan masa kecil. Artinya, secara emosional, kita mampu mengatasinya, kan?

Ketiga. Menjadi "harta" yang bebas diwariskan. Banyak ditemukan Biografi atau autobiografi dari tokoh-tokoh terkenal, kan? Menceritakan kisah mereka menjadi sumber inpirasi bagi semua orang.

Kalau di Minang, dikenal "Pituah Ayah", menjadi refleksi hidup sekaligus pesan seorang ayah pada anaknya. Konsep Smong sebagai cerita lisan yang menjadi tradisi di pulau Simeulue, Aceh. Berangkat dari pengalaman pahit akhirnya menjadi aba-aba buat bencana Tsunami usai gempa.

Illustrated by pixabay.com
Illustrated by pixabay.com
Adakah Manfaatnya bagi anak?

Menurutku, menjadi bagian penting sebagai orangtua, berbagi kisah hidup kepada anak. Pengalaman tak hanya menyajikan rasa bangga, namun juga pembelajaran tentang simpati dan empati.

Berdasarkan pengalaman pribadi, mendengar kisah teman serta hasil bacaan artikel parenting. Aku bagikan tertulis saja manfaatnya, ya?

Pertama. Mendekatkan Anak dengan Orangtua. Sering bertemu, tak menjamin setiap anggota keluarga saling mengenal satu sama lain. Mengatur dan menyediakan waktu serta duduk bersama antar anggota keluarga, kemudian saling bertukar cerita. Kukira cara jitu menjalin komunikasi dan ikatan emosional yang lebih intim.

Silakan di cek! Jejangan malah ada anak yang lupa, semisal tanggal lahir orangtua atau saudaranya? Atau orangtua yang tak tahu, jika anaknya dimarahi guru gegara lupa buat PR, kan?

Kedua, Memotivasi dan menginspirasi. Seperti kisah temanku di grup parenting di atas. Bayangkan jika hal itu diceritakan. Penuh perjuangan, kerja keras dan kesungguhan orangtuanya saat belajar dulu. Ke sekolah jalan kaki dan tanpa uang jajan. Bisa jadi, Anaknya akan mengerti tak ada yang diraih dengan mudah.

Kemudian hal itu memicu rasa bangga dan kagum pada diri anak, terhadap sosok orangtua. Hingga memacu keinginan anak, suatu saat bisa seperti yang orangtuanya lakukan dan raih saat ini. Keren, ya?

Ketiga. Membentuk karakter anak dan karakter keluarga. Jika orangtua sering berbagi pengalaman yang diceritakan pada anak, apalagi jika hal itu nyata dan bisa dibuktikan langsung oleh anak. Mungkin saja, anak akan melakukan "tiruan" dalam bentuk lain.

Merasa ingin terlihat "sama" baik seperti orangtuanya atau berusaha lebih baik lagi. Tak hanya itu, namun juga meningkatkan kepercayaan anak pada orangtua sekaligus kepercayaan diri si anak.

Illustrated by pixabay.com
Illustrated by pixabay.com
Jadi...

Menceritakan pengalaman orangtua pada anak, akan menghadirkan keterbukaan antara orangtua dan anak. Kisah orangtua tak hanya memiliki hikmah dengan nilai-nilai positif yang bisa dipahami anak. Namun juga menjadi pembelajaran hidup bagi anak.

Jika sudah begitu, rasa saling asah, asih dan asuh akan berwujud kasih sayang dalam keluarga. Dan, tak perlu menunggu momen valentine day, untuk ungkapkan rasa sayang, kan?

Demikian, salam penuh cinta buat semua!

Kalau sepakat, hayuk salaman!

Curup, 15.02.2020
Zaldychan
[ditulis untuk kompasiana]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun