Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Kenapa Hidup Dijadikan Toko Serba Larangan?

21 Desember 2019   13:43 Diperbarui: 22 Desember 2019   16:54 680
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
illustrated by pixabay.com

Selalu ada dialektika, ketika memperingati suatu momentum! Ada yang mengajak bahkan menganjurkan. Namun tak sedikit juga yang melarang. Kukira, tergantung pada pemahaman, kepentingan dan keinginan orang yang melakukan itu, tah?

illustrated by pixabay.com
illustrated by pixabay.com

Sepuluh hari ke depan. Setidaknya akan ada tiga momentum yang saling berdekatan. Tanggal 22 Desember jamaknya diperingati sebagai Hari Ibu, tanggal 25 Desember sebagai Perayaan Hari Natal, dan 1 Januari 2020 sebagai momen pergantian Tahun Baru.

Sebagaimana perayaan lainnya. Ketiga momentum itu akan tetap diwarnai dengan sikap dan tanggapan yang beragam. Dengan luas tak terbatas jangkauan media sosial sekarang, dan aneka ragam hayati yang betah dan bertahan di dalamnya. Dialektika itu akan selalu ada. Pro-kontra akan selalu tercipta. Lagi dan lagi...

Jadi, masalahnya apa? Begini, Aku malah riweh dengan semakin banyaknya kata "Larangan!"

Kerap Hadir Kelirumologi Memaknai Larangan

Dalam KBBI V, Arti kata larangan itu adalah perintah (aturan) yang melarang suatu perbuatan. artinya, larangan = perintah. Dan dimaknai, bahwa larangan adalah perintah untuk tidak melakukan sesuatu.

Idealnya, yang namanya perintah, itu berasal dari posisi yang lebih tinggi derajatnya dari yang diperintah. Bersifat mengatur atau memaksa, dan memiliki sanksi dari akibat melanggar larangan itu.

Namun, fenomena sekarang, larangan malah bermunculan dari beragam sumber. Tak lagi menyigi tentang hal itu sederajat atau lebih rendah, menjadikan gagal paham apakah bersifat himbauan atau anjuran. Pun, tak dijelaskan akibat atau sanksinya. Sing penting, melarang aja! 

Beberapa hari lalu, aku membaca sebuah meme yang diposting seorang teman di media sosial. Meme itu adalah gambar sebuah papan peringatan yang memuat dua larangan di suatu pantai. Aku tulis saja, ya?

1. Dilarang Memakai Bikini.
2. Dilarang Mesum, Mabuk dan Narkoba.

Jika membaca dua larangan ini, adalah hal yang normal dan biasa tah? Juga hal lumrah, sebagai salah satu upaya menjaga budaya kita sebagai ciri orang timur.

Nah, yang bikin patah hati adalah tulisan yang menyertai meme itu. Ada dua tulisan "ajaib" yang menjelaskan tentang pemaknaan dari dua larangan tersebut.

1. Artinya boleh telanjang.
2. Artinya boleh minum minuman keras. Asal tidak mabuk.

Tuh? Ada kreatifitas emejing dalam memaknai larangan itu. Kengeyelan tersebut, tak bisa dicegah, tah? Sehingga hadir kalimat-kalimat "ajaib" lainnya, semisal; dilarang melarang atau peraturan itu dibuat untuk dilanggar. Pernah dengar, kan?

illustrated by bioplasticnews.com
illustrated by bioplasticnews.com
Rumusku sebagai Ayah untuk Menghindari Kata Larangan

Aku memiliki rumus. Seumpama ada seseorang yang mau belajar berenang. Yang kulakukan adalah, melemparkannya ke kolam renang! Jika tenggelam, artinya aku juga dia jadi tahu, jika memang benar tak bisa berenang. Sadis, ya? Tapi ada syaratnya!

Orang yang melempar harus bisa berenang dan menyelamatkan. Kendalanya? Dia akan menganggap aku kejam. Manfaatnya? Dia jadi mengerti alasan kenapa harus belajar berenang. Agar tak lagi tenggelam!

Rumus itu, pernah kuterapkan pada anakku yang sulung. Saat itu, usianya belum genap dua tahun. Usia segitu, rasa ingin tahu terhadap sesuatu sangat besar, kan? Suatu pagi, kulihat si Sulung asyik bermain pisau cutter! Aku larang? Gak! Kubiarkan saja, sambil melihat dari kejauhan.

Dan, tak butuh waktu lama. Tentu saja hadir jeritan dan tangisan. Dua jarinya terluka dan berdarah walau tak parah. Sambil mengobati, akupun ikutan menangis! Dan dia heran, aku menangis tanpa alasan.

Selesai acara pengobatan dan tangisan. Akupun, kembali mengajak si sulung bermain pisau cutter. Dia mau? Kapok! Tapi, sejak saat itu, si Sulung mulai memperhatikan caraku, ketika memegang dan menggunakan pisau.

Begitulah! Terkadang, tanpa disadari dan tanpa perlu ada kata larangan, setiap orang memiliki sekat dan batas sendiri, tah? Seperti halnya si Sulung, yang tak butuh waktu lama, mulai berani lagi memegang pisau. Ahaaay...

illustrated by pixabay.com
illustrated by pixabay.com

Terkadang, Banyak Larangan Itu Menyebalkan!

Semakin banyak larangan, kita seolah-olah masuk ke dalam satu Toko Serba Larangan. Kemana pun berbelok bertemu larangan. Hingga ranah penjelajahan untuk mengeksplorasi diri, semakin menyempit. Atau kita malah seperti dimasukkan ke dalam satu taman labirin, dan dibiarkan tersesat di dalamnya. 

Biasanya, kalau sudah seperti itu, yang terjadi adalah hadirnya perlawanan untuk "mengakali" aneka larangan tersebut. Kenapa bisa begitu?

Bisa jadi, ada kesuntukan atau kebosanan dengan aneka larangan karena bersumber dari luar diri. Padahal, bisa jadi kita memiliki kemampuan melarang diri sendiri. Apatah itu untuk kebaikan diri sendiri atau orang lain.

Toh, banyak hal yang tak melulu berkenaan dengan larangan, tah? Entahlah, kalau melahirkan larangan itu adalah suatu prestasi dan kebahagiaan!

Tapi, jangankan larangan. Terkadang, tanpa disadari, kebahagiaan kita pun menjadi hal yang menyebalkan bagi orang lain! Contohnya?

Coba lihat, Jika ada acara pesta pernikahan di pinggir jalan raya. Bagi pemilik hajatan adalah hari bahagia. Namun, bagi pengguna jalan raya, itu menyebalkan! Karena mesti menemui alur macet atau harus mencari jalan alternatif! Hiks

Curup.21.12.2019

Zaldychan

[ditulis untuk Kompasiana]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun