Jika membaca dua larangan ini, adalah hal yang normal dan biasa tah? Juga hal lumrah, sebagai salah satu upaya menjaga budaya kita sebagai ciri orang timur.
Nah, yang bikin patah hati adalah tulisan yang menyertai meme itu. Ada dua tulisan "ajaib" yang menjelaskan tentang pemaknaan dari dua larangan tersebut.
1. Artinya boleh telanjang.
2. Artinya boleh minum minuman keras. Asal tidak mabuk.
Tuh? Ada kreatifitas emejing dalam memaknai larangan itu. Kengeyelan tersebut, tak bisa dicegah, tah? Sehingga hadir kalimat-kalimat "ajaib" lainnya, semisal; dilarang melarang atau peraturan itu dibuat untuk dilanggar. Pernah dengar, kan?
Aku memiliki rumus. Seumpama ada seseorang yang mau belajar berenang. Yang kulakukan adalah, melemparkannya ke kolam renang! Jika tenggelam, artinya aku juga dia jadi tahu, jika memang benar tak bisa berenang. Sadis, ya? Tapi ada syaratnya!
Orang yang melempar harus bisa berenang dan menyelamatkan. Kendalanya? Dia akan menganggap aku kejam. Manfaatnya? Dia jadi mengerti alasan kenapa harus belajar berenang. Agar tak lagi tenggelam!
Rumus itu, pernah kuterapkan pada anakku yang sulung. Saat itu, usianya belum genap dua tahun. Usia segitu, rasa ingin tahu terhadap sesuatu sangat besar, kan? Suatu pagi, kulihat si Sulung asyik bermain pisau cutter! Aku larang? Gak! Kubiarkan saja, sambil melihat dari kejauhan.
Dan, tak butuh waktu lama. Tentu saja hadir jeritan dan tangisan. Dua jarinya terluka dan berdarah walau tak parah. Sambil mengobati, akupun ikutan menangis! Dan dia heran, aku menangis tanpa alasan.
Selesai acara pengobatan dan tangisan. Akupun, kembali mengajak si sulung bermain pisau cutter. Dia mau? Kapok! Tapi, sejak saat itu, si Sulung mulai memperhatikan caraku, ketika memegang dan menggunakan pisau.
Begitulah! Terkadang, tanpa disadari dan tanpa perlu ada kata larangan, setiap orang memiliki sekat dan batas sendiri, tah? Seperti halnya si Sulung, yang tak butuh waktu lama, mulai berani lagi memegang pisau. Ahaaay...