Usai sholat jum'at. Aku segera pulang. Amak menyambutku di pintu. Kau tak ada. Aku beranjak ke kamar, bertukar baju. Saat keluar kamar. Amak berdiri di hadapku. Nyaris berbisik.
"Nunik duduk di beranda!"
"Kukira sudah pulang!"
"Belum! Nunik menangis!"
"Hah!"
"Kan, sudah Amak bilang! Jangan..."
Tak lagi kudengar kalimat Amak. Bergegas kujejaki anak tangga. Melangkah pelan ke beranda. Kulihat kau bersandar di kursi panjang. Wajahmu menghadap jalan. Perlahan aku bergerak ke arahmu. Segera duduk di sampingmu.
Ku usap kepalamu. Kau terkejut, menoleh padaku. Spontan. Dua tanganmu menuju matamu. Tapi telat! Tanganku lebih cepat. Kuusap beningmu. Sesaat kau tertunduk. Tak lama, kembali kau angkat wajahmu. Matamu menatapku. Kau coba hadirkan senyum.
"Udah lama pulang, Mas? Tadi ke masjid bukan pakai baju ini, kan?"
Aku menatapmu. Tak kujawab tanyamu. Jika situasi begitu. Kau takkan balas tatapanku. Kembali kau bersandar di kursi. Matamu memandang tanaman Amak. Sesaat kubiarkan beranda dikuasai sunyi.
"Tangisi apa?"
"Hah?"
"Amak juga lihat!"
"Gak ada apa-apa, Mas!"
"Nik!"
Kau tersentak. Segera menatapku. Nada itu, jarang kugunakan. Kau pun tahu adatku. Itu bermakna tuntutan. Harus kau ujarkan.
"Mas kecewa, kan?"
"Tentang apa?"
"Nik belum bilang ke ayah! Kalau..."
Kau hentikan kalimatmu. Aku diam. Kerutkan dahiku. Memutar ulang rekam benakku. Menyigi ujar juga sikapku. Sejak kau dating, hingga aku pulang dari masjid. Kukira tak sepatah katapun berbincang tentang ayahmu.
"Mas siaran malam kemarin, kan?"
"Iya!"
"Lagu terakhir itu, untuk Nunik, kan?"
"Eh? Lagu?"
"Mas tak pernah sebut Nama! Tapi Nik tahu. setiap lagu terakhir pasti untuk..."
"Iya!"
"Lagu itu..."
"Tic Band! Wahai Perempuanku!"
Kau anggukkan kepala. Kucoba susun alur fikirmu. Lagu terakhir siaranku dua hari lalu. Kemudian kau anggap aku kecewa. Karena kau belum bicara pada ayahmu. Tentang aku dan aku. Hingga bermuara tangismu.
"Tadi Mas sengaja, kan?"
"Apa?"
"Meminta Nunik menulis pertanyaan!"
"Gak! Nunik yang mau, kan?"
"Yang terakhir?"
"Hah?"
"Pertanyaan itu, untuk Nunik, kan?"
"Oh!"
"Mas sengaja, kan?"
Akhirnya, aku mengerti sebab tangismu. Soal essay tadi! Alasanku saja, itu pertanyaan cadangan. Kukira kau tak fikirkan itu, hingga aku pergi ke masjid. Tak ada tanda kau terpengaruh. Kau tatap mataku. Kembali hadir bulir bening di sudut matamu. Kuusap pelan kepalamu.
"Gak usah dipikir! Sambil bertahan. Kita cari jalan!"
"Nik merasa bersalah, Mas!"
"Mas juga belum bisa..."
Kau tutup mulutku dengan dua tanganmu. Aku terdiam. Kau gelengkan kepala. Bulir beningmu mengalir deras. Perlahan kulepaskan tanganmu.
"Gak usah dibahas, ya?"
"Mas..."
"Nanti bakal banyak yang salah!"
"Nik tak tahu caranya. Bagaimana..."
"Biar Mas yang bilang!"
"Hah?"
"Iya!"
"Tapi..."
"Kapanpun Nik izinkan. Mas akan datang!"
"Nik..."
"Tak usah jawab sekarang! Pikir dulu, baru putuskan!"
"Mas?"
"Berhentilah menangis!"
get married | those three words | just the way I am | meeting you was fate
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI