"Mamaaas! Bangun..."
Awalnya, sayup kudengar. Hingga kubuka mata. Kau sudah duduk di sampingku. Tawamu jadi asupan energi. Kebiasaanku, tidur di depan televisi. Kulirik jam, sudah pukul setengah satu siang. Televisi sudah mati. Aku tersenyum menatapmu. Tak lagi bicara, kuacak kepalamu. Segera turun ke bawah, membasuh muka. Kenakan baju. Kembali ke lantai dua.
"Udah lama?"
"Dari setengah dua belas!"
"Hah? Kenapa gak..."
"Bilang Amak. Mamas malam tadi begadang?"
"Cuma sampai sahur!"
plak! plak! plak!
Aku tertawa. Terkadang, kuanggap pukulan itu wujud rindumu. Tinggal kutunggu cubitmu. Biar paket lengkap. Siang itu, hari kelima ramadhan. Sejak awal ramadhan. Jadual siarku bergeser. Berubah dari jam satu sampai jam tiga dinihari. Dan tertolong, hari itu jadualku di sekolah kosong.
"Tiap puasa. Mamas tidur terus!"
"Biar berpahala!"
"Alasan!"
"Iya!"
"Iiih..."
Lengkap! Paket rindumu siang itu. Dari pakaianmu, aku tahu kau dari sekolah. Hampir dua minggu tak bertemu. Dari Amak, aku juga tahu kau sudah di Curup. Tetiba kau raih tanganku. Kau ajukan ke dahimu. Aku terkejut. Kau tersenyum. Kubiarkan inginmu.
"Maafkan Nunik, Mas?"
"Kenapa?"
"Kemarin mau pamit. Mas sibuk!"
"Iya! Amak sudah cerita! Gak usah minta maaf!"
"Nik minta maaf karena mau ramadhan, Mas!"
"Lah? Kan udah lima hari?"
"Maksud Nunik..."
"Haha..."
"Mamaaas!"
"Iya! Mas tahu!"
Kuusap pelan kepalamu dengan tangan kiriku. Tangan kananku, tak kau lepas. Aku menatapmu. Kau balas tatapanku. Ada senyum di sudut bibirmu.
"Mas gak minta maaf?"
"Hah?"
"Ke Nunik?"
"Bentar! Nunik mau minta maaf atau ajak arisan?"
"Hah!"
Dahimu berkerut. Mencerna kalimatku. Aku tersenyum. Kukira tak kau temui jawaban untuk itu. Perlahan, kau lepas tanganku. Kau bersandar ke dinding. Diam. Aku menatapmu.
"Mamak sehat?"
"Iya!"
"Ayah?"
"Ayah? Oh! Hamdallah sehat juga!"
"Kakak?"
"Sehat!"
"Bidan desa?"
"Hah?"
"Tukang jual paku? Mamang bakso? Sekretaris Desa? Pak Hansip? Anak tetangga..."
plak!pluk!plak!
Matamu hilang! Bersisa garis. Tawamu pecah. Tak lagi kau tahan. Tak kuhindar pukulanmu. Aku tertawa, dan kau segera diam. Menatap lurus padaku.
"Mas kenal Bidan Desa di Ketenong?"
"Gak!"
"Sekretaris Desa?"
"Juga gak!"
"Terus, Kenapa nanya?"
"Biar dianggap akrab!"
"Haha..."
Kunikmati ceriamu siang itu. Naluriku bereaksi. Aku tahu getar nadamu. Saat kutanyakan tentang ayah. Dan akupun tahu. Mesti bersiap. Mendengar kisahmu.
get married | those three words | just the way i am | meeting you was fate
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H