Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

NIK | "Just The Way I Am" [14]

26 September 2019   08:30 Diperbarui: 26 September 2019   08:55 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Illustrated by pixabay.com

Usai azan mahgrib. Tinggalkan Pantai Padang. Naiki angkot jurusan Air Tawar. Berhenti di simpang Jalan Cendrawasih. Terburu berjalan ke masjid. Berakhir, saat masuki pagar rumah kostmu. Tiba di beranda. Kau tersenyum menatapku.

"Kopi, kan?"

Aku tertawa. Segera duduk. Kau masuk ke dalam rumah. Agak lama, aku nikmati sunyi. Senja berganti malam. Kuulangi ingatan hari itu. Nyaris duabelas jam bersama. Tak usai waktu pengganti adamu.

Pun tak kusadari hadirmu, ketika gelas berkopi. Kau ajukan di atas meja. Dua tanganmu di lengan kiriku.

"Mikirkan apa?"


Tak bersuara. Kutatap lekat matamu. Kau sudah berganti baju. Wajahmu segar. Kukira kau jengah, hingga tundukkan wajahmu. Kunyalakan sebatang rokok. Kau diam menunggu. Kuusap kepalamu.

"Mas pulang besok!"

"Nik tahu!"

"Mas mesti ngajar, kan?"

Perlahan kau anggukkan kepala. Sandarkan tubuhmu ke bangku. Kau menatapku. Kuubah posisi duduk menghadapmu.


"Mas gak bisa lama!"

"Nik ngerti."

Tak menunggu. Kau raih tanganku. Kau ajukan ke wajahmu. Beningmu terasa hangat. Kukira seharian kau bertahan. Tapi usai malam itu. Dalam diam ada tangismu. Aku tahu rasamu juga inginmu. Belum kutemukan cara untuk satukan itu. Kubiarkan tangismu.


Bertahun lalui waktu bersama. Merangkai dan membingkai cerita. Menjadi pelaku berbagai peristiwa. Berdua hadapi bermacam keterbatasan. Terkadang air mata. Kau dan aku menjaga rasa dan asa. Agar berwujud cinta. Itu tak mudah.

Beranda sejak tadi hening. Kau usap beningmu. Kau raih gelas berkopi. Kau serahkan padaku. Tak bicara, aku menatapmu. Kau anggukkan kepala. Kureguk sedikit. Tanpa aba-aba, gelas sudah berpindah tangan. Kau berusaha tersenyum. Mereguk isinya. Matamu lurus menatapku.

"Kurang gula, Mas?"

"Gak!"

"Manis?"

"Nunik? Iya, kalau gak nangis!"

Kau terlatih hadapi dan redakan emosimu. Tapi tidak padaku. Kau tak bisa sembunyi. Caramu ajari aku. Bagaimana menghadapimu.

"Mas..."

"Hah?

"Makasih, ya?"

"Untuk?"

Pertanyaanku keliru. Tangismu kembali hadir tertahan. Kau biarkan aku, kembali melihat beningmu. Bibirmu bergerak pelan. Tapi tak ada suaramu. Aku mengerti maksud ucapanmu. Kuusap kepalamu.

"Menangislah..."


Tak lagi kau tahan. Kau hempaskan rasamu. Telapak tanganmu tutupi wajah. Bahumu bergerak, ikuti irama resahmu. Kunikmati asap rokokku. Saat itu, diam tetaplah pilihan terbaik.


Cuaca cerah malam itu. Tapi tidak di beranda. Kau dan aku, berdua nikmati sunyi. Azan isya terdengar. Saat kureguk kopi di gelasku. Kau angkat wajahmu ke arahku. Aku tersenyum.

"Sudah?"

"Eh? Apa Mas?"

"Nangisnya?"

"Udah!"

"Kalau masih mau..."

"Gak!"

"Mas betah, kalau nunggu!"

"Iiih..."

zaldychan

get married | a man of the world | just for you | those three words | just the way I am

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun