Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

NIK | "Just The Way I Am" [3]

11 September 2019   08:15 Diperbarui: 11 September 2019   08:19 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Senin malam. Usai isya. Aku tiba di studio. Iir bersiap di ruang siar. Pukul delapan hingga pukul sepuluh. Sesi pertama. Masuki ruang siar. Kulihat tumpukan kertas atensi yang mesti dibaca. Berisi pesan, salam atau sekedar meminta lagu. Iir sibuk memilah kertas atensi. Aku tertawa.

"Wah! Banyak, tah?"

"Seratus lebih!"

"Kan, Penyiar favorit?"

"Terpaksa main cepat, Bang!"

"Haha..."

"Kertas atensi cuma tersisa untuk besok, Bang!"

"Langsung ke Bang Dayat! Cetak lagi!"

"Iya."

"Duit Kas ada, kan?"


Iir ajukan jempol. Kemudian menunjuk ke jam dinding. Tepat di angka delapan. Aku mengerti. Tanda iir mau opening. Tak lagi bersuara. Aku keluar ruang siar. Duduk di depan studio di jalan Kartini. Malam itu sepi.


Kunikmati rokok. Memandang langit kota Curup. Dan terkejut. Tetiba Endi sudah ajukan segelas kopi. Baru diseduh. Terlihat kepulan asap tipis di bibir gelas. Aku tersenyum. Segera meraih gelas.

"Makasih, ya?"

"Mampus Iir, Bang! Seratus atensi!"

"Haha..."

"Banyak anak SMA, Bang!"

"Bisa dimaklumi!"

"Jamrud lagi naik! Dua puluhan atensi!"

"Yang penting. Jangan putar Surti Tedjo!"

"Bukan! Nah, itu diputar Iir!"


Dari speakercontrol. Terdengar intro musik. Lagu Pelangi Di Matamu. Endi tertawa. Aku tersenyum. Kureguk kopi di gelas sambil menikmati lagu. Tak sampai selesai. Iir kembali membaca atensi berikutnya. Endi tertawa.

"Pasti banyak yang ngomel. Kalau lagu tak sampai habis, Bang!"

"Resiko New release!"

"Bakal protes besok!"

"Biarlah! Kan, Iir juga yang baca?"

"Besok giliran Abang!"

"Hah?"


Endi tertawa. Melihat reaksiku. Udara malam itu cerah. Aku diam. Sesekali tersenyum. Menyimak Iir balapan dengan waktu. Tak lagi menggunakan titik koma. Juga kesulitan mengatur nafas saat membaca atensi.

"Besok, jadi beli kaset, Bang?"

"Lah? Tapi kertas atensi habis?"

"Masih sisa. Bilang Iir, bisa beli satu!"

"Oh! Kaset apa?"

"Padi atau Sheila on 7!"

"Ok! Langsung pilih lagu unggulan. Harus beda dengan radio lain!"

"Siap!"

Kureguk lagi kopi. Segera berdiri. Endi menatapku. Dengan wajah ingin tahu. Aku tertawa.

"Ke Telkom dulu, ya?"

"Abang mau..."

"Nelpon Uni!"

Endi anggukkan kepala. Aku berjalan keluar pagar. Telusuri jalan Kartini. Lewati pertigaan kantor pos. Masuki kantor Telkom. Disambut senyum yang sama. Dari operator berbeda. Kutuju meja operator sambil melirik bilik telpon.

"Kosong?"

"Kemana, Bang?"

"Padang!"

"Tunggu sebentar, Bang! Masih dipakai."

Kuanggukkan kepala. Menuju kursi tunggu. Belum sempat duduk, pintu bilik telpon interlokal terbuka. Tak jadi duduk. Kuangkat tangan memberi tanda. Sambil menunjuk bilik telpon. Kulihat operator anggukkan kepala.

Tak butuh waktu lama. Dua kali nada dering. Gagang tepon segera diangkat. Terdengar suara dari ujung telpon.

"Salaam, Bu!"

"Hei! Kenapa baru telpon sekarang?"

"Iya, Bu! Bisa bicara sama Nunik, kan?"

"Sejak kemarin, Nunik menunggu telponmu! Tunggu sebentar!"

"Iya! Makasih."


Aku tak yakin. Ibu kost mendengar kalimat terakhirku. Tak lama menunggu. Kudengar gagang telpon diangkat. Juga riuh suara di ujung telpon.

"Mas?"

zaldychan

getmarried | amanoftheworld | justforyou | thosethreewords | justhewayiam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun