Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Ketika Ayah Tak Lagi Boleh Memelukmu Saat Ultah!

3 September 2019   20:39 Diperbarui: 3 September 2019   22:56 495
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

air mata itu hanya bersisa linangan, tangis itu telah bertukar senyuman. dipandanginya ruas jari manis itu. tertinggal sepercik warna merah darah. dari setitik luka bekas duri mawar, yang tertancap tadi sore.

"Masih sakit?"

sambil gelengkan kepala. Telapak tangan kanan gadis kecil itu, perlahan menghapus sisa airmata. Manik matanya menatap wajahku. Getar bibir mungil itu, berusaha membalas senyumku. Tak perlu menunggu, tubuh itu tenggelam dalam rengkuhku.

Tak sengaja, aku kembali membaca potongan kisah di atas. Catatan pendek itu, tersimpan di ponselku sejak 3 tahun lalu. Satu sketsa sore, saat Uni Tya, gadisku berusia 8 tahun. Dan, dengan berbagai hal. Belum juga selesai kutulis tuntas. Ahaaay..

Hari ini, tepat 11 tahun usianya. Sudah kelas 6 SD. Uni Tya, panggilan gadisku, tak lagi menangis gegara tertusuk duri. Pun, mulai sungkan jika ingin kupeluk. Padahal hanya pelukan seorang ayah. Hiks..

Jadi? Aku mau tuliskan, bagaimana cara dan rasaku sebagai ayah saat gadisku ulang tahun, ya? Boleh, kan?

Begini, sejak usia satu tahun. Setiap pertambahan usia, akan ada perayaan kecil-kecilan untuk gadisku. Dan, kebiasaan itu terhenti atas permintaan sendiri tahun lalu. Dengan alasan, Uni Tya sudah merasa malu jika hari lahirnya dirayakan.

Kupikir, itu keputusan tergesa dan sesaat dari gadisku. Ternyata tidak! Hingga pagi tadi, saat Uni Tya bangun tidur.

"Selamat Ulang Tahun, Uniii..."
"Makasih, Ayah!"
"Peluk, boleh?"
"Gak!"
"Cium?"
"Malam tadi. Ayah cium kening Uni, diam-diam, kan?"
"Eh? Ketahuan, ya?"
"Besok-besok, gak boleh lagi!"

Begitulah Percakapan pagi tadi! Aku hanya tersenyum. Sekilas mengusap kepalanya. Aku harus menghormati keputusan gadisku yang mulai beranjak remaja. Tapi, aku sudah mengantisipasi itu. Makanya, malam tadi. Saat pergantian hari. Diam-diam, kukecup dahinya saat tidur. Eh, ternyata ketahuan! Bwahaha...

Ini pelajaran bagiku sebagai Ayah. Walau hitungan usia, gadisku baru beranjak di 11 tahun. Tapi sudah membuat batasannya sendiri. Aku tak bisa lagi sesukanya, dengan alasan Uni Tya anakku, kan? Hiks...

Akupun tak mungkin mengubah itu, kan? Hanya berharap, itu adalah "defensive line" yang akan tetap kukuh hingga dewasa nanti.

"Uni mau hadiah apa?"
"Tak usah, Yah!"
"Atau kita makan-makan di..."
"Gak mau!"

Nah! Itu adalah percakapan singkat di atas motor. Saat mengantar gadisku ke sekolah. Tak lagi ada percakapan sesudah itu. Hanya diam. Aku, juga semua anakku punya rumus yang sama. Sekali tidak, tetap tidak. Hidup tidak! Haha...

Hingga sampai di sekolah, gadisku mengajukan tangan bertukar salam. Tanpa percakapan, hanya ajukan senyuman. Dan segera berbalik badan menuju kelas.

Bukan juga kebiasaanku memberi kado saat ultah anakku. Jadi, kalau mau berikan hadiah, langsung aja! Tanpa menunggu momen. Terkadang, itu menguntungkan! Apalagi, jika isi kantong terserang kekeringan. Hihi...

Tapi, saat di tempat kerja. Aku masih memikirkan kejadian pagi itu. Sebagai Ayah, ternyata aku terkejut, dan belum siap menerima "penolakan" dari anakku. Padahal hari ini, menurutku adalah hari istimewa baginya. Aku ingin dia merasakan keiatimewaan itu dariku sebagai ayah. Walaupun dengan cara sederhana.

Sore, selesai sholat ashar. Kujemput gadisku di sekolah yang memang fullday school. Wajah sumringah menyambutku. Sepanjang perjalanan pulang, ragam cerita dilontarkan. Tetang teman-teman serta ustadzah yang mengucapkan selamat. Serta ada beberapa teman-teman yang memberikan hadiah.

Sesekali kutimpali ceritanya. Hingga tanpa aba-aba kuhentikan motor di Warung Bakso. Gelengan kepala tanda penolakan kembali kudapatkan. Motor pun kembali bergerak pelan menuju jalan pulang.

Sampai di rumah. Aku masuk ke kamar. Membuka ponsel ingin membuat puisi untuk gadisku. Sebagai hadiah ulang tahun dariku sebagai Ayah. Akan kutayangkan di Kompasiana, dan akan aku tunjukkan pada Uni Tya. Caraku merayakan ulang tahunnya.

Tapi gagal! Kepalaku penuh dengan refleksi diri. Sekaligus mengingat pesan kakekku dulu. Saat aku masih kuliah. Awalnya, aku tertawa tak percaya. Hari ini. Ucapan itu, pelan-pelan kurasakan sebagai kebenaran.

"Jika nanti kau miliki anak perempuan. Tanpa disadari, kau akan akan segera menjadi orang asing! Sebelum itu terjadi, berusahalah menjadi seorang ayah bagi dirinya!"

Apakah secepat itu? Padahal baru menginjak usia 11 tahun? Aku mulai merasa ada sedikit ganjalan, atau mungkin cemburu? Gadisku antusias bercerita, menerima dan membuka kado dari teman sekelasnya. Tapi menolak semua tawaranku.

"Ayah minum teh atau kopi?"
"Teh aja, Nak!"

Aih, aku tersenyum. Gadis kecil itu, ternyata masih milikku. Aku menyakinkan diri. Bahwa yang kualami hanya perasaan seorang ayah yang egois. Terlalu banyak prasangka. Hingga Uni Tya mengajukan segelas teh hangat di hadapku.

"Minum, Yah?"
"Makasih, Cantik!"

Aku lagi membaca beberapa postingan Kompasianer. Termasuk berita perginya Kompasianer senior Pak Thamrin Sonata. Hingga tak lagi melihat gadisku beranjak dari hadapku.

Tak lama, saat ingin menjangkau gelas. Mataku terhenti pada gulungan kertas buku tulis di samping gelas berisi teh hangat. Bersampul kertas buku tulis yang dilipat seperti amplop. Diberi lakban kertas dengan tulisan gadisku.

Foto : Dokpri
Foto : Dokpri
"Sederhana tapi berharga. Uni Tya"

Kukira, semua akan tahu perasaanku. Perlahan kubuka amplop darurat itu. Di dalamnya, ada gulungan kertas yang diberi pita. Itu adalah sepucuk surat untukku.

Ditulis seperti larik-larik puisi. Sejak kelas 3 SD, gadisku sudah mulai menulis diary termasuk puisi.  Aih, aku tak bisa menuliskan disini isinya. Namun, hari ini aku ingin membenarkan ucapan orang-orang.

"Cinta pertama perempuan itu, untuk Ayahnya."

Dan, kalimat itu ada di dalam lirik tulisan gadisku. Tak usah tanya, apa yang kulakukan selesai membaca surat itu. Aku tak mungkin memaksa diri untuk memeluk gadis kecilku. Aku tak mau mendapat penolakan lagi.

Akhirnya, yang kulakukan adalah membuka gallery foto di ponselku. Memandang satu-persatu perubahan di wajahnya dari kecil hingga hari ini. Akhirnya, membuka catatan singkat tentang tangisannya sore itu 3 tahun lalu. Saat jemarinya tertusuk duri bunga mawar.

Peristiwa hari ini adalah rahasia Tuhan. Pada hari ulang tahunnya. Gadisku bukan mendapatkan kado tanda cinta dariku sebagai ayah. Tapi, aku yang mendapatkan tanda cinta itu.

Satu lagi pelajaran hari ini untukku sebagai seorang ayah. Suatu saat nanti, mungkin aku akan ditinggalkan! Tapi aku tahu. Gadisku telah memberitahu, agar aku tak pernah merasa kehilangan.

Dokpri. Uni Tya
Dokpri. Uni Tya
Selamat ulang tahun, Nak! Terima kasih, sudah mengajari ayah mencintai dengan makna dan cara. Tak sekedar kata-kata!


Tak ada maksud lain. Tulisan ini diniatkan untuk berbagi. Hayuk salaman..

Curup. 03.09.2019
zaldychan
[ditulis untuk Kompasiana]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun