Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

NIK | "Those Three Words" [1]

19 Agustus 2019   08:15 Diperbarui: 19 Agustus 2019   08:18 179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
illustrated by pixabay.com

Pagi itu jum'at. Pukul enam. Tigabelas oktober duaribu. Kujemput Amak dan Abak. Hampir setengah jam kutunggu. Hingga bus Putra Raflessia dari Curup, tiba di terminal Andalas Padang.

Bertiga, beranjak pelan. Lalui jalan tikus. Lewati Blok B Pasar Raya. Sampai di Bioskop Karya, naiki angkot merah jurusan Lubuk Lintah. Bertiga sudah di dalam angkot. Sesekali, kujawab tanya Abak dan Amak.

Kuhentikan angkot di gang masjid. Lima tahun, lalui jalan itu termasuk rumah kost. Tapi pertama buat Amak dan Abak. Aku tersenyum, melihat ibu kost juga uni warung ditemanii Pipinx. Menunggu di pintu rumah.

Pipinx mendahului. Ibu kost bergerak disusul uni warung. Bergantian bertukar salam. Aku ke kamar letakkan tas dan barang bawaan Amak juga Abak. Segera menuju dapur. Termos sudah terisi penuh. Kukira pipinx yang masak. Kubuat teh hangat setengah teko. Kubawa ke ruang tamu.

Abak, Amak, ibu kost juga uni warung sudah duduk. Hanya ada empat kursi di ruang tamu. Pipinx tuangkan minum ke dalam gelas. Aku dan Pipinx memilih duduk di lantai. Ibu kost mendominasi alur bicara. Sesekali ditimpali uni warung. Bertutur tentang ulah dan polahku juga pipinx.

"Hamdallah. Tidak nakal, kan?"

"Bukan! Tapi biang rusuh!"

"Hehe..."

"Tiap malam begadang!"

"Dari dulu!"

Pipinx tertawa. Aku terbatuk saat nyalakan rokok, mendengar jawaban Amak. Percakapan berlanjut. Abak izin ke kamar. Ketika amak menatapku.


"Rumah Nunik, jauh?"

"Dua kali angkot, Mak!"
Amak anggukkan kepala. Aku tahu. Itu bukan pertanyaan. Belum ada waktu, jelaskan tak hadirmu pagi itu. Tak lama, ibu kost dan uni warung pamit. Aku dan Pipinx pindah duduk ke kursi. Di sisi kiri dan kanan Amak. Tangan Amak memegang lenganku.

"Kenapa Nunik..."

"Pagi ini. Ada janji sama dosen."

"Ada masalah?"

"Urusan skripsi!"

"Oh! Bakal datang, kan?"

Mata Amak! Pagi itu. Sorot mata itu. Sosok perempuan tangguh bagiku. Tak pernah berniat kusakiti. Menatap dan menuntut jawaban. Aku tak menjawab. Wajah Amak beralih ke Pipinx. Sepertiku. Juga lebih memilih diam dan tersenyum.

Amak bangkit dari duduk. Ketika namaku di panggil ibu kost sambil menyebut namamu. Amak kembali duduk. Pipinx tertawa. Aku garuk kepala. Panggilan ibu kost terdengar lagi. Lebih keras. Amak menatapku

"Dipanggil kan?"

"Iya! Itu telpon dari Nunik!"

"Dimana?"

"Di sebelah! Rumah ibu kost."

"Pergi sana! Bilang kalau..."


Tak menunggu kalimat Amak selesai. Aku berlari ke sebelah. Ibu kost tertawa menggoda, saat aku masuk rumah. Segera meraih gagang telpon.

"Mas?"

"Salam dulu!"

"Haha..."

"Eh?"

"Assalamu'alaikum, Mas!"

"Mas juga salam! Ditambah rindu."

"Halah! Mas bohong, kan?"

"Dari Amak! Tanyain Nunik terus!"

"Kan? Kemarin, Nik mau ikut jemput. Mas gak boleh?"

"Sudah ketemu pembimbing?"

"Skripsi disuruh tinggal. Temui seminggu lagi!"

"Hah!"

Kubayangkan wajahmu hadapi situasi itu. Dua minggu, kau kejar dan kerjakan skripsi. Bermuara pada kata menunggu. Aku terdiam.

"Mas?"

"Eh? Iya!"

"Kenapa diam?"

"Mas lagi..."

"Nik ke situ, boleh?"

"Iya! Tapi bawa senyum!"

"Nik pagi tadi masak agar! Ini juga lagi pesan lontong!"

"Hah?"

"Kenapa? Mas udah beli sarapan?"

"Belum! Nik dimana?"

"Telpon Umum Kampus! Dekat kantin!"

"Mas gak bisa..."

"Gak usah jemput!"

Nada panjang berbunyi di ujung telpon. Tanda jatah bicara habis. Kututup telpon. Segera kembali ke rumah. Amak sudah masuk ke kamar. Pipinx duduk sendiri di ruang tamu. Terpampang wajah ingin tahu. Kuanggukkan kepala. Amak keluar kamar.


"Kenapa Nunik?"

"Mau kesini!"

"Gak dijemput?"

Itu Amak! Punya garis lurus. Perempuan harus dijemput. Aku terdiam sesaat. Kemudian berdiri. Berjalan menuju pintu.

"Kemana? Jemput Nunik?"

"Iya!"

"Pakai baju itu? Kenapa tidak..."

"Jemput di depan!"

Aku bergegas. Tinggalkan rumah. Aku tak ingin tahu reaksi amak. Kurasa terdiam. Sayup tawa pipinx kudengar.

zaldychan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun