"Mas ngerti! Tapi, Nik sekarang lagi gak mikir skripsi, kan?"
Kau terdiam. Wajahmu semakin ditekuk. Beberapa saat sunyi hadir di beranda. Perlahan, kau angkat wajahmu ke hadapku. Beningmu hadir. Tak kau usap. Bulir itu ada untukku.
"Nik belum siap. Kalau Mas..."
Udara malam itu. Tak lagi hangat. Begitu juga di beranda. Kubiarkan kau nikmati tangismu. Aku tahu, itu bukan karena lemahmu. Tapi perempuanmu. Kau bertahan dengan caramu.
"Tahu kenapa Mas memilih Nunik?"
"Hah?"
"Pernah Nik tanya, kan?"
"Iya! Tapi Mas gak mau jawab!"
"Sekarang Mas jawab!"
Kau usap sisa beningmu. Kau diam menunggu. Kutatap matamu. Kau segera menunduk. Kuraih kertas dan pena di atas meja. Kutulis kalimat singkat dengan huruf kapital. Kuserahkan padamu. Segera kau baca.
"Nik mau?"