Aku belum tahu sebab tangismu malam itu. Pilihanku menunggu. Hingga kau tenangkan hatimu. Kuhisap dalam rokok, kuhempas pelan. Kepulan asap warnai beranda. Hujan semakin deras. Gemericik butiran air, temani sunyi.
Kau bergerak dari dudukmu. Meraih gelas berkopi. Kau ajukan padaku. Ada senyummu untukku. Kuraih dan kureguk isinya. Masih sedikit panas. Kau perhatikan gerikku. Kuletak gelas berkopi ke atas meja. Aku menatapmu.
"Nik menunggu Mas?"
"Iya!"
"Rindu?"
Biasanya, akan ada pengingkaran darimu. Tidak malam itu. Kau anggukkan kepala. Aku tertawa. Kau tundukkan wajahmu.
"Tumben?"
"Apa?"
"Rindu?
"Biar!"
"Baru dua hari?"
"Biar!"
"Biasanya..."
"Gak boleh?"
Jawabanmu sengit. Aku terkejut. Kau kembali sandarkan tubuhmu. Aku tak tahu bagi lelaki lain. Tapi bagiku, situasi malam itu susah dimengerti. Kuubah posisi dudukku ke hadapmu.
"Nik ingin Mas datang malam ini, kan?"
"Iya!"
"Mas ada salah?"
"Gak!"
"Kenapa ada tangis?"
Hening sesaat. Dan, mengalir ceritamu. Aku diam. Mendengar kisahmu. Dua hari tanpa kabar dariku.
"Itu, mimpi, kan?"
"Iya! Tapi..."
"Nik percaya?"
"Gak tahu!"
"Lah? Terus, kenapa menangis?"
"Pengen aja!"
"Hah?"
"Karena Mas pergi tinggalkan Nunik!"
Aku tertawa. Kuacak kepalamu. Kau menahan tawa. Kukira kau memikirkanku. Hingga terbawa dalam mimpimu. Kurasa wajar, jika aku di posisimu.
"Mas masih ingat cerita teman Nunik, kan?"
Aku ingat, cerita teman sekamarmu dulu. Kau trauma. Temanmu pernah alami kisah pahit. Jalani kisah bersama sejak semester dua. Dan, ditinggal usai wisuda. Karena ditentang keluarga.
"Terus?"
"Mas tidak akan..."
"Tidak!"
"Mas mau tunggu Nunik?"
Kalimatmu terhenti. Tetiba, dua tanganmu. menggenggam erat tangan kiriku. Aku tersenyum. Anggukkan kepala. Matamu lekat menatap mataku. Kukira mencari sesuatu di mataku. Kubiarkan inginmu.
Udara malam terasa dingin. Hujan mulai reda. Tapi tidak di beranda. Mendung menggantung genting di pelupuk matamu. Aku jadi tahu. Kau sudah fikirkan lampaui waktu. Kebersamaan kau dan aku.
"Mas mengerti kalau Nik khawatir! Sekarang, Nik selesai dulu..."
"Kuliah Nunik..."
"Harus selesai!"
"Mas!"
"Itu tanggungjawab Nunik sebagai anak! Mau, kan?"
"Iya."
"Mas akan tunggu! Tapi Mas gak mau lagi sembunyi!"
"Nunik..."
"Nik selesaikan kuliah. Kenalkan Mas ke Ayah dan Mamak!"
"Tapi Ayah dan Mamak..."
"Nik mau?"
Hening sesaat. Perlahan, kau anggukkan kepala. Tangan kiriku tak kau lepas. Wajahmu menghadapku. Mataair matamu kembali hadir. Sekilas, kuusap beningmu.
"Mas sudah memilih Nunik!"
Kubiarkan, kau renungi dan renangi kalimatku. Kau menahan senyum. Melihatku kesulitan meraih gelas berkopi. Kau lepas genggammu. Kembali kuraih dan kureguk kopiku. Aku tersenyum menatapmu. Tak lagi ada beningmu. Kusentuh hidungmu dengan telunjuk kanan.
"Jangan nangis lagi. Jadi jelek!"
#Nik
#GetMarried #PowerofLove #BecauseofYou #SayLovewithLetter #LoveJustaintEnough #BorntoFight #ThereisaWay #SpeakYourMind #UnforgettableMoment # AManofTheWorld
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H