Sabtu malam, usai maghrib. Aku bergegas. Sekilas mematut diri. Pipinx selesai sholat. Tersenyum menatapku.
"Ngapel?"
"Iya! Sekalian kasih tahu Nunik!"
"Jadi besok ke Padang Panjang?"
"Iya. Ikut?"
"Minggu depan! Besok Janjian sama pembimbing!"
Sejak kamis. Usai ujian skripsi. Kau belum kukabari. Pagi jumat, Kukirim surat ke Curup untuk Amak. Memberitahu tentang wisuda. Besok, aku ke Padang Panjang. Melaporkan hasil siding kepada Ayah dan ibu Santokola. Tersisa satu bulan waktuku untuk menyiapkan semua.
Kuucap salam. Pipinx kutinggal. Bergegas, aku berjalan keluar gang masjid. Udara sejuk. Langit gelap. Kuhentikan angkot, tak ada penumpang. Kupilih duduk di depan. Sopir tersenyum. Kubalas senyum sopir sambil keluarkan rokok.
"Rokok?"
"Boleh..."
"Sepi, ya?"
"Mau hujan, Bang! Padahal malam minggu!"
"Iya!"
Aku dan sopir angkot, menikmati perjalanan dengan diam. Ditemani kepulan asap rokok. Tak lagi bicara. Hingga berhenti di jalan Permindo. Kubayar ongkos, segera turun. Angkot berlalu. Tak perlu menunggu. Lagi, kuhentikan biskota. Masih ada satu bangku kosong. Aku segera duduk.
Berkali biskota berhenti di halte. Telusuri Khatib Sulaiman. Lalui Kantor Gubernur. Berbelok ke kanan, lewati jembatan. Berhenti sesaat di Simpang Labor. Bergerak lagi. Hingga kuhentikan di pertigaan Jalan Cendrawasih.
Gerimis sudah mulai turun. Tergesa langkah kakiku, menuju rumah kostmu. Adzan isya terdengar. Saat kumasuki pagar. Ibu kost melihatku, ketika akan menutup jendela namun batal. Ibu kost tersenyum, saat aku melangkah ke beranda dan berucap salam.
"Selamat, ya?"
"Makasih, Bu!"
"Wisuda bulan depan?"
"Insyaallah!"
"Syukurlah! Kalian berdua memang..."
Tak ada kalimat lanjutan. Hanya senyuman. Tak lagi bersuara. Ibu kos berbalik badan. Berjalan dan lenyap di balik pintu. Aku berdiri diam. Menduga arah kalimat yang terputus. Tetiba dari balik pintu, muncul kepala ibu kost. Berusaha menahan tawa.
"Lupa! Duduklah!"
"Makasih, Bu!"
"Ibu panggilkan Nunik!"
Aku segera duduk. Sudah lima tahun. Kecuali warna, meja dan kursi kayu tak berganti. Tapi gerimis berganti butir hujan bulan september. Kau keluar dari pintu. Sambil tersenyum.
Segelas kopi di tanganmu kananmu. Tangan kirimu membawa piring kecil. Aku tertawa melihat isinya. Beberapa potongan agar-agar kesukaanku. .
Kau letakkan kopi dan piring kecil berisi agar di meja. Kau ajukan tanganmu. Ajak bertukar salam. Kuusap kepalamu, dengan tangan kiriku. Kau duduk di sisiku.
"Mas dari rumah?"
"Iya!"
"Baju Mas gak basah, kan?"
Spontan, kau ulur tanganmu. memegang bajuku. Kemudian tersenyum lega. Kau ambil piring, ajukan padaku. Aku mengerti. Kuambil sepotong agar-agar, kuarahkan padamu. Kau gelengkan kepala. Sudah tiga potongan agar-agar berpindah tempat. Kau masih ajukan piring di tanganmu. Aku tertawa. Angkat dua tanganku. Kau pun tertawa.
"Kapan Nik buat?"
"Sore! Nik yakin, Mas datang!"
"Jika tidak?"
"Gak tahu!"
"Lah?"
"Pokoknya. Mas harus datang!"
Aku terkejut melihat reaksimu. Kau sandarkan tubuh ke bangku. Aku menatapmu. Kau menatap hujan yang memenuhi halaman. Kunyalakan rokok. Diam menunggu. Tapi tak ada suaramu. Kutatap wajahmu.
"Mas sudah datang, kan?"
Tak ada jawabmu. Aku baru tahu. Matamu sudah temani hujan. Kusandarkan tubuh. Kuikuti cara dudukmu. Berdua nikmati diam malam. Kau bersekutu mengurai waktu. membasuh rasa. Dengan air mata.
#Nik
#GetMarried #PowerofLove #BecauseofYou #SayLovewithLetter #LoveJustaintEnough #BorntoFight #ThereisaWay #SpeakYourMind #UnforgettableMoment # AManofTheWorld
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H