"Kantin, yuk!"
"Lanjut dulu!"
"Lah? Pagi tadi gak ikut! Sekarang..."
"Mesti ke fakultas! Masih rapat!"
Aku mengerti. Pipinx dan Ajo. Duo aktivis senior Fakultas Sastra juga universitasku. Kupeluk keduanya. Akhirnya, Aku tahu. Hari itu, harus hadir air mata laki-laki di ruang sidang. Tak bisa kucegah. Kubiarkan.
Agak lama. Tak lagi bicara. Hampir bersamaan. Empat pasang kaki. Berjalan keluar ruang sidang. Pipinx dan Ajo ke Dekanat Sastra. Kau ikuti langkahku menuju kantin. Kulihat Pak Il bicara dengan Da Zul. Pak Il segera berpaling ke arahku.
Kuhentikan langkah. Kuraih tangan pembimbingku. Berbisik ucapkan terima kasih. Kuajukan tangan Pak Il ke dahiku. Tak hanya pembimbing skripsi. Bagiku, Pak Il adalah mentorku. Mengajar sekaligus menghajarku. Mendidik juga menghardikku. Serta mengasuh asah naluri sidik dan lidikku. Sekali itu, kurasakan usapan tangannya di kepalaku.
"Kau bikin malu penguji!"
"Maaf, Pak!"
"Tadi bukan ujian! Itu interview!"
"Tapi..."