Kukira. Jagung rebus miliki rasa sama, jika jagung itu dibeli atau diberi. Berbanding jagung hasil jerih tanam sendiri. Akan berbeda pada makna dan nilainya. Begitu rasaku saat itu.
Tak lagi kutunggu ujaran lengkap ketua tim. Kakiku bergerak cepat. Salami Pak Il yang juga berdiri menepuk bahuku. Kusalami satu-satu aggota tim. Aku tak peduli. Termasuk ketua tim yang terhenti bicara. Juga Ni Yul.
Aku berbalik badan. Pipinx dan Ajo hampiri aku. Saling rengkuh erat. Keduanya tahu, bagaimana aku bertahan hingga ke titik itu.
Aku menatapmu. Kau tak bergerak dari kursimu. Tak juga memandangku. Kau pilih tundukkan wajahmu. Perlahan kulepas, rengkuhan Pipinx dan Ajo. Aku berjalan ke arahmu. Kau berdiri, mengangkat wajahmu menatapku. Tak saling bicara. Mata air matamu Adalah jawaban rasamu. Saat kuusap kepalamu..
Kudengar derap langkah kaki. Berbondong menuju pintu ruang sidang. Saat ketua tim penguji berteriak.
"Hei! Sidang belum kututup!"
Tak ada yang bersuara. Kuangkat kepal tinjuku ke udara. Terdengar tawa di kursi penguji. Tak lama, disusul tiga kali ketukan palu. Sidang ditutup. Kuabaikan tangan dan ucapan dari teman seangkatan dan gerombolan. Langkahku pasti. Menuju toilet, persis di samping ruang sidang. Kubanting pintu. Sisakan teriakan.
"Jangan masuk! Tunggu di kantin!"
Kuhidupkan kran air. Kubuka kopiah, kubasahi kepala. Kunikmati tiap tetesan air di ubunku. Kuhempas resahku juga kesah. Kubiarkan terurai. Biar usai.
Tak kusadari. Berapa lama waktuku di toilet. Ada bunyi ketukan di pintu. Dan suaramu memanggilku. Kumatikan kran air. Kuacak rambut sebisaku. Kubuka pintu toilet. Kau terkejut. Matamu menikam mataku.
"Mas..."