Awal ramadan, adikku meminjamkan buku karya John Grisham berjudul "The Innocent Man". Di alihbahasakan dengan judul  "Tak Bersalah" oleh Jonathan dan Hanna Lesmana. Buku ini cetakan ketiga per Maret 2019 dari penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama. Buku bahasa aslinya diterbitkan oleh Arrow Books tahun 2007.
Sosok John Grisham tentu tak asing bagi penyuka novel bergenre hukum atau mengenyam pendidikan berlatar belakang bidang hukum. Apatah lagi banyak dari karyanya bestseller, bahkan difilmkan. Semisal "The Firm" yang dibintangi oleh aktor ganteng Tom Cruise.Â
Tak bermaksud spoiler, aku Cuma mau berbagi dan merefleksikan hasil bacaanku. Karena, pada novel ini, John Grisham tidak lagi menulis fiksi, namun kisah nyata. Plus dikatkan dengan kondisi terkini negeri ini. boleh, ya?
Tokoh sentral dalam novel ini, adalah Ronald "Ronnie" Keith Williamson. anak bungsu dan lelaki satu-satunya dari tiga bersaudara. Lahir di Kota Ada, Negara Bagian Oklahoma pada 3 Februari 1953. dari ayah bernama Roy dan ibunya Juanita yang tinggal di Ada, Oklahoma. Ia memiliki dua kakak perempuan bernama Annette dan Renee.
Sejak kecil, Ronnie meyukai baseball. menjadi bintang baseball di sekolah hingga kotanya. Banyak yang percaya bahwa Ronnie kelak akan menjadi pemain baseball ternama. Setelah lulus SMA mendapat tawaran pencari bakat dari berbagai klub baseball. Namun karena persaingan yang berat, serta bebarapa kali mengalami cedera. Mimpi menjadi pemain baseball pela-pelan redup. Hal ini mempengaruhi mentalitas Ronnie yang sudah menganggap dirinya bintang besar baseball di kota Ada.
Ronnie pun bersentuhan dengan alkohol dan mabuk-mabukan di sejumlah Club malam. Tak ada klub malam di kota Ada yang tidak mengenal Ronnie. Hingga dikeluarkan dari klub baseball harapannya. Akibat stres dengan karirnya di baseball, pernikahannya dengan Putri daerah Ada juga berantakan. Dan bercerai setelah tiga tahun menikah tanpa memiliki anak. Hidup Ronnie semakin berat ayahnya meninggal akibat kanker.
Konflik hukum dari novel ini, berawal Pada tahun 1982, saat terjadi pemerkosaan sekaligus pembunuhan di kota Ada, Oklahoma. Seorang gadis 20 tahunan bernama Debra "Debbie" Sue Carter ditemukan tewas dalam kondisi telanjang dan luka-luka di apartemennya.
Kasus pembunuhan Debbie ditangani oleh kepolisian Ada. Penyelidikan pun berlangsung. Berdasarkan saksi, pada malam sebelumnya, Debbie terlihat di tempat kerjanya di club malam Coachlight bersama teman-temannya. Polisi mengambil sampel dan menginterogasi beberapa teman pria Debbie salah satunya Glen Gore, teman SMA Debbie.Â
Di interogasi yang kedua, Glen Gore menyinggung nama Ronnie. Meski Ronnie dikatakan oleh para saksi tidak terlihat di Coachlight pada malam pembunuhan Debbie. Namun Seluruh masyarakat kota Ada tahu bahwa Ronnie itu pemabuk dan 'sedikit gila'. Dan memiliki "potensi" sebagai pembunuh.
Penyelidikan pun berlangsung. Lima tahun kasus itu tertunda karena ketiadaan bukti, namun kepolisian dan jaksa bersikukuh bahwa Ronnie merupakan salah satu pembunuh Debbie. Pihak kepolisian dan jaksa memperoleh tekanan dari berbagai pihak untuk segera menyelesaikan kasus itu. Karena diyakini, pembunuhan itu tak mungkin dilakukan oleh satu orang. Akhirnya polisi mengirim surat penangkapan kepada Ronnie dan Dennis Fritz. Dennis Fritz merupakan teman lama Ronnie. Keduanya memang sering jalan-jalan dan minum-minum bareng.
Diberatkan oleh prasangka, serta ketidakadilan pengadilan dengan mengabaikannya kesehatan mental Ronnie, sekaligus ketidakadilan dalam memberikan pengacara yang pantas untuk kedua tersangka, serta menghadirkan saksi ahli dan bukti. Akhirnya  Dennis memperoleh hukuman penjara seumur hidup dan Ronnie memperoleh hukuman mati.
Ronnie dipindahkan ke McAlester. Yaitu penjara khusus untuk hukuman mati yang menanti eksekusi. Di sana, kesehatan mentalnya semakin parah. Kesehatan mental Ronnie semakin parah. Padahal jauh sebelum Ronnie tertimpa kasus, ia sudah didiagnosa mengidap personality disorder, schizophrenia, parkinson dan lain-lain.
Seminggu sebelum jadwal Ronnie dieksekusi mati, pengadilan memutuskan adanya pengadilan ulang dalam kasus pembunuhan Debbie. Hal ini dilakukan oleh pengacara baru, sebagai upaya terakhir menyelamatkan Ronnie. Para saksi ahli membuktikan bahwa DNA Ronnie dan Dennis tidak sama dengan DNA barang bukti yang ada di tempat kejadian. Dan saat itu, DNA masih belum digunakan.
Tanggal 15 April 1999, dua belas tahun setelah Ronnie dan Dennis dipenjara, keduanya dinyatakan bebas dan tidak bersalah. Hampir dua belas tahun lamanya waktu dua orang tak berdosa direnggut oleh ketidakadilan hukum. 7 Desember 2004, Ronnie meninggal. Tanggal yang sama 22 tahun lalu, saat Debbie terakhir kali dilihat hidup. Ironis, ya?
Kasus Ronnie yang dinyatakan bersalah melakukan pembunuhan, hampir duabelas tahun kemudian dinyatakan bebas tak bersalah. Setelah menjalani hukuman penjara dan seminggu lagi nyaris dihukum mati. Apa kira-kira yang kita rasakan? Dipaksa mengakui bersalah terhadap apa yang tidak kita lakukan. Tak mungkin ada ukuran kerugian Materiil dan Immateril untuk rasa keadilan seorang Ronnie, kan?
Dalam kasus ini. Ronnie masuk ke ranah Prisoner of Conscience (POC). Istilah ini pertama kali digunakan oleh Peter Benenson di sebuah artikel koran Observer terbitan london dengan judul "The Forgotten Proisoners". Tulisan yang mengungkap derita tawanan yang ditahan tanpa kejelasan dan kepastian hukum. Secara bahasa, POC diterjemahkan sebagai tahanan hati nurani.
Jadi, POC ini adalah "korban" dari sistem hukum. Baik secara tak sengaja atau jejangan disengaja. Adakah kasus ini di Indonesia? Jika menilik dari Laporan Amnesty Indonesia tanggal 22 Februari  2018. Indonesia dianggap negara gagal dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM.
Banyak entry point, yang diungkapkan dari laporan tersebut. Semisal penggunaan kekuatan secara berlebihan. Ada banyak contoh di berita baik cetak maupun elektronik. Perihal kematian "bandar narkoba" saat proses penangkapan. Juga kematian "teroris" dalam beberapa penggerebekan. Aparat, biasanya menyatakan upaya membela diri, atau yang bersangkutan melawan dan mengancam keselamatan petugas. Dari sisi hukum, kematian mereka adalah penemuan kesalahan sebelum mereka dibuktikan bersalah. Tragis!
Jika Prisoner of Conscience (POC) seperti halnya Ronnie adalah "Korban". Maka Impunitas adalah  Pembiaran atau melindungi "Pelaku" atas kesalahan atau kejahatan dari jerat hukum. Sama halnya dengan Kepolisian, Jaksa dan Hakim di kota Ada, Oklahoma pada kasus Ronnie. Padahal, "kecerobohan" mereka, Maka Ronnie mengalami hal yang luar biasa mengerikan.
Di Indonesia, banyak kasus hukum yang hingga saat ini masih belum selesai. Beberapa kasus yang menyita perhatian publik semisal Peristiwa 1965, peristiwa 1998, Peristiwa Semanggi, penembakan misterius (petrus), Konflik Poso, Wiji Thukul  juga Munir. Adakah dan kapankan pelaku dan pemicu peristiwa itu diketahui dan terungkap ke publik? Masih butuh waktu?
Hingga kita pelan-pelan dianggap melupakan dan memaafkan. Atau malah kita sedang berhadapan dengan Impunitas yang masif dan diam-diam, yang dilakukan oleh para elite negara bagi pelaku dari peristiwa tersebut. Ada "Aksi Kamisan" Â yang dimulai sejak 17 januari 2007, dengan berpakaian hitam-hitam. Untuk menampik atau menolak Impunitas. Hingga beberapa komunitas juga membawa jargon "Melawan Lupa".
Dari novel The Innocent Man, John Grisham itu. Kupetik pelajaran. Orang yang dinyatakan bersalah, dan tak terbukti bersalah. Dan harus menjalankan hukuman. Begitu juga sebaliknya. Orang yang benar-benar bersalah, bisa saja lolos dari hukuman. Karena tak terbukti bersalah. Terkadang, kesalahan memang tergantung pada pembuktian.
Curup, 21.05.2019
[ditulis untuk Kompasiana]
Taman Baca
- The Innocent Man, Jhon Grisham, 2019. Jonathan&Hanna Lesmana; PT. Gramedia Pustaka Utama. Cetakan Ketiga.
- https://en.wikipedia.org/
- https://www.amnestyindonesia.org
- https://tirto.id/bahaya-laten-impunitas-bHHd
- https://naeliltheclimber.wordpress.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H