Tak lama, kau keluar. Di tanganmu membawa nampan kecil. Ada dua gelas berkopi, kau ajukan ke hadapku juga Ayah Gaek. Kurasakan gugupmu. Semua mata memperhatikan caramu. Semua wajah tersenyum, saat kau duduk di sebelah Amak Gaek. Aku juga menatapmu.
"Kenapa belum ditawari?"
"Hah? Ooh! Di minum, Yah! Tapi airnya masih..."
"Mas tidak ditawari?"
Pahaku ditepuk pelan Amak Gaek. Ayah Gaek tersenyum. Semua yang hadir tertawa melihat sikapmu. Wajahmu kembali memerah. Tapi Amak Gaek segera memelukmu. Aku menahan tawa, Ayah Gaek memandangku.
"Si Upik, memanggilmu Mas?"
"Iya, Yah! Kan Jawa Sunda?"
"Oh! Kalau Mas, pasti mahal!"
"Kan berharga, Yah?"
"Sudaaah! Jangan ganggu cucu Amak!"
Terdengar nada pembelaan dari Amak Gaek. Menengahi bincangku dan Ayah Gaek. Itu menyelamatkanmu. Tapi tidak dari serbuan tawa yang penuhi ruang udara siang itu. Kau hanya terdiam menunduk, menikmati pelukan Amak Gaek.