Gerimis sudah turun, basahi dedaun dan bunga di halaman. Aku masih di beranda. Duduk sendiri. Menunggu. Rokok kedua, kuhidupkan. Sejak kau masuk ke rumah. Heboh. Teriakan dan tawa terdengar. Kemudian hening. Tak lagi kudengar. Riuh suara dari dalam.
Sudah agak lama. Kau muncul dari balik pintu. Sudah berganti baju. Tak ada senyummu. Ada teh bergelas di tanganmu. Asap tipisnya, memutari bibir gelas. Kau taruh di meja di hadap dudukku. Kau duduk di sisiku. Pandanganmu lepas ke halaman. Menikmati titik gerimis. Tak lama, kau menunduk ke arahku. Matamu memerah saat kau menatapku.
"Mas tak marah?"
"Tentang?"
"Kan, nunggunya lama?"
"Haha..."
"Teman-teman gak tahu, Nunik bakal keluar lagi. Jadi pas ke dalam langsung...."
"Dan Nunik marah, kan?"
"Eh? Nik bukan..."
"Dari heboh. Langsung diam?"
"Pakaian Nunik kotor semua! Musti mandi. Padahal, Mas..."
Aku tertawa. Kuacak kepalamu. Dan terhenti saat tanganmu menutup wajah. Seperti mendung, tak mampu menahan hujan. Kau pun begitu. Aku tahu. Sejak tadi, bening itu kau tahan. Kubiarkan kau hempas rasamu, dengan beningmu.
Beranda sepi. Alam pun menikmati. Saat rinai hadir, pengganti gerimis. Aku memandangmu. Menunggu. Kau masih diam. Tanganmu tutupi wajahmu. Kunikmati rokokku. Kau menoleh padaku. Aku tersenyum.
"Sudah?'
"Eh?"
"Nangisnya?"
Kau tersenyum. Kau usap sudut matamu. Dengan punggung tanganmu. Kau menunggu. Kutunjuk jari kananku ke atas meja.
"Itu. Belum boleh minum?"
"Masih panas!"
"Oooh!"
Kusandarkan tubuhku. Aku tertawa. Kau membaca gelagatku. Segera kau raih teh bergelas di atas meja. Kau cicipi. Plak! Tangan kananmu. Sudah singgah di bahu kiriku. Aku tertawa. Segera kau serahkan gelas itu padaku. Kureguk isinya. Kuserahkan lagi gelas itu padamu. Kau taruh di meja.
"Kok tehnya bisa langsung dingin?"
"Haha..."
"Kan, airnya baru Nik masak?"
"Pakai apa?"
"Kompor? Kalau bukan kompor, pakai apa?"
"Hati?"
"Hah!"
"Barusan hati Nunik dingin. Jadi tehnya segera dingin!"
"Memang bisa?"
"Gak!"
"Iiih!"
Tak lagi berminat, kuhitung duet jarimu. Kubiarkan semaumu. Rinai usai. Tak jadi hujan. Hanya senja tak tampak jingga. Sisa gerimis masih mengusik udara. Aku tertawa menatapmu.
"Tadi kenapa menangis?"
"Ga tahu!"
"Oh! Makanya serius?"
"Hah!"
"Sampai gak tahu teh-nya udah dingin?"
Alunan ayat suci. Sudah terdengar dari masjid. Waktu maghrib akan tiba. Kau diam menatapku. Kureguk minumku, kuraih rokok dan korek. Aku segera berdiri. Kau terkejut.
"Nanti Mas jemput, sudah maghrib! Siap-siap..."
Aku beranjak menuju pintu pagar. Berjalan pelan menyusuri jalan Cendrawasih. Tak lagi menoleh ke belakang. Aku tahu. Kau pasti menungguku.
#Nik
#GetMarried #PowerofLove #BecauseofYou #SayLovewithLetter #LoveJustaintEnough
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H