Terik mentari menembus ujung jilbabmu. Aku menatapmu. Dengan dua telapak tangan, kau sangga dagumu menutupi sisi wajahmu. Dua sikumu kau letakkan di atas meja. Matamu menatap jauh ke laut lepas. Tepat di hadapmu. Kubiarkan beberapa saat.
Kau terusik, saat pelayan kantin sudah di sisiku. Tersenyum, tak bersuara. Menyerahkan kertas pesanan juga pulpen, dan berlalu. Kau menatapku. Kuajukan kertas dan pulpen padamu. Kau tersenyum, membaca menu.
"Mas pesan apa?"
"Mie kuah!"
"Itu terus! Makan nasi, ya? Nasi goreng?"
"Iya."
"Minumnya?"
"Air!"
"Haha..."
"Kopi aja!"
"Udah dua kali!"
"Oh! Teh?"
"Pake es?"
"Jangan! Malah jadi tes!"
"Haha..., Nik mau jus alpokat."
"Bukan fanta susu?"
"Lagi pengen alpokat!"
"Makan?"
"Siomay aja!"
"Eh? Makan nasi!"
"Nanti, Nik cicipi nasi goreng Mas!"
"Iya. Mas sisakan sepiring!"
"Haha..."
Aku tersenyum. Tanganku terlambat. Kau lebih cepat. Memegang erat. Kertas dan pulpen itu. Segera berdiri. Berjalan menuju kasir. Dan kembali. Duduk dikursimu. Disisiku. Kau tertawa. Aku garuk kepala.
"Haha! Nik sudah tahu!"
"Apa?"
"Senyum Mas! Nik curiga..."
"Eh...?"
"Pesanan itu. bakalan Mas ubah, kan?"
Aku tertawa. Siang itu, taktikku terbaca. Tiga tahun, nyaris usai. Kau jadi tahu usilku. Apatah lagi, tentang makan minum. Beberapa kali berhasil. Tapi setahun terakhir, lebih banyak gagal. Aku harus mencari cara baru. Siang itu, harimu. Kau rayakan gagalku dengan tawa. Tapi aku suka.
Meja sudah kembali bersih. Ada dua gelas, bersisa setengah. Berisi teh manis dan jus alpokat. Tasmu dan rokok serta korekku. Piring sudah diambil pelayan. Kantin sudah mulai sepi. Kau lirik jam di tangan kirimu. Kau ajukan ke hadapku, aku tersenyum. Kau menatapku.
"Sudah jam satu. Gak jadi kuliah?"
"Simulasi sidang! Kelompok Mas minggu depan!"
"Eh! Tapi harus hadir, kan?"
"Tidak! Nunik yang harus hadir!"
"Hah?"
"Nunik diam dan lihat aja, ya?"
"Kenapa?"
"Mas lagi menunggu teman kelompok!"
Aku tersenyum. Matamu menuntut penjelasan. Kubiarkan tetap begitu, dan aku selamat. Temanku datang. Dua laki-laki dan tiga perempuan. Masing-masing ambil kursi, duduk melingkar. Kukenalkan dirimu pada anggota kelompok. Saling sapa, bertukar salam. Teman lelakiku, sudah mengenalmu. Tapi tidak yang perempuan.
Tak lama. Diskusi dimulai. Menentukan kasus, analisa kasus, berbagi tugas dan berbagi peran. Semua mencatat. Aku tidak. Kau segera keluarkan bukumu juga pulpen. Kau serahkan padaku, tanpa suara. Aku tersenyum. Kuambil bukumu tapi tak mencatat. Kuabaikan kerut keningmu.
Lebih satu jam. Diskusi usai. Anggota kelompok bubar. Yang laki-laki meninggalkan kantin. Tiga perempuan memesan makanan. Tapi duduk memisahkan diri dari sudut biru. Aku tersenyum. Kau tidak. Tapi menatapku.
"Kenapa Mas tak mencatat? Semua mencatat! Kan ada buku Nunik?"
"Wuih...! Kalau nanya, satu-satu! Mereka mencatat, takut lupa!"
"Nanti, kalau Mas lupa?"
"Tak akan!"
"Hah?"
"Mas malas mengingat! Jadi takkan lupa."
"Iiih...!"
Kubiarkan cubitanmu. Aku tertawa. Kepalamu sibuk, memutari kantin. Khawatir dilihat orang. Tiba-tiba wajahmu memerah. Aku menatapmu.
"Ketahuan, ya?"
"Iya..."
"Haha..."
"Perasaan Nunik, Dari tadi teman cewek Mamas. Lihat Nunik terus!"
"Mas tahu!"
"Hah!"
#Nik
 #GetMarried #PowerofLove #BecauseofYou #SayLovewithLetter #LoveJusaintEnoughÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H