Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Wajah-wajah yang Tertempel di Gelas

14 April 2019   13:29 Diperbarui: 14 April 2019   14:42 324
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Illustrated by. live.staticflickr.com

Di kamar Kerja ini. Aku bukan setangkai edelweis. Yang terkunci pada pigura kecil, di bingkai ranting kayu jati. Tergeletak rapi di sudut meja berbahan kayu mahoni hitam. Redup cahaya lampu pijar 5 watt bertengger di tengah langit-langit kamar. Tidak di tempatku. Gelap dan pengap.

Danu, membebaskan sehelai kertas dari laci. Segera terhampar di telapak meja. meraih spidol besar berwarna merah. mencacah dua garis diagonal. Angka 17 sudah bersilang merah. Belum sempat kulihat matahari. Dingin aura kamar menjelaskan. Hari masih pagi.

17 April 2019 (05.35 WIB)

"Minum kopi, Tuan?"

Tak ada suara. Hanya anggukan pelan. Mata Danu, tak bergerak dari atas meja. Imah, pengasuh sekaligus pembantu rumah. Menghilang dari pintu kamar. Bergegas menyeduh kopi. Puluhan tahun bersama, Imah mengerti takaran kopi yang disukai Danu. Air mendidih, kopi pekat dan sedikit gula.

Imah terpaku di rak piring. Mematut ulang susunan gelas. Kecemasan mulai hadir di benak Imas. Matanya menatap dinding dapur. Mengikuti daftar nama yang tertempel. Kembali memeriksa di rak piring. Kecemasan berubah menjadi rasa takut. Tapi, Danu pasti sudah menunggu.

17 April 2019 (05.55 WIB)

"Diminum, Tuan!"

"Kenapa lama, Bi?"

Pertanyaan singkat dan dingin. Danu tak menatap wajah Imah. Matanya, masih menatap deretan angka-angka pada sehelai kertas. Yang terdampar di atas meja. Kaki Imah terpaku di lantai. Berdiri kaku disamping meja. Tak ada keberanian menatap Danu. Bola matanya menatap Edeleweis, yang terpenjara pigura bingkai reranting jati.

"Ta...Ta...Tadi..."

"Tadi apa? Gula dan kopi habis? Atau... "

Suara Danu yang meninggi, tiba-tiba terhenti. Matanya membeliak menatap gelas berkopi. Sesaat beralih pada helai kertas di atas meja. Tanpa suara, meraih gagang gelas. Danu bangkit dari duduknya. Berdiri di hadapan Imah yang menunduk. Tubuh Imah bergetar. Menanti ledakan amarah Danu.

"Tukar gelasnya, ya?"

Imah terkejut! Bukan amarah yang didengar. Tapi permintaan sopan penuh kelembutan. Gelas berkopi, masih di tangan Danu. Agak ragu, Imah menyambut gelas bertulis angka 16 tersebut. Belum beranjak dari kamar.

"Tapi, Tak ada gelas yang..."

"Aku tahu!"

"Makanya tadi lama. Bibi bingung! Kan gelas..."

"Pakai gelas peninggalan Bapak aja, ya?"

Danu tersenyum. Tertegun sejenak. Imah pelan anggukkan kepala, segera berbalik badan. Bukan menuju dapur, tapi kamar tidur Danu. Di kotak kecil dekat lemari baju. Gelas yang diinginkan Danu tersimpan.

17 April 2019 (11.55 WIB)

Imah sudah tiga kali mengantarkan kopi, dengan gelas yang sama. Tak lagi ragu. Tak juga bertanya. Mengerti, Danu pasti sibuk hari ini.

Sejak pagi, Kamar itu dipenuhi suara-suara berdesibel tinggi. Lima layar dari lima stasiun televisi menayangkan berita terkini. Sesekali ditingkahi nada dering dari 3 hp milik Danu. Pun, berkali makian dan hardikan dari Danu terdengar.

"Sialan!"

"Bodoh!"

"Dungu!"

"Sampah!"

Bergantian, kata-kata itu mengisi telinga Imah.

17 April 2019 (15.25 WIB)

Sejak Bapak dan Ibu meninggal dalam kecelakaan pesawat. Dan jenazah keduanya tak pernah ditemukan. Danu yang periang, berubah dingin. Sikap kasar acapkali terlihat oleh Imah. Tapi, Danu sudah dianggap anak sendiri. Rasa sayang, mengalahkan kesalahan-kesalahan yang dilakukan Danu.

"Bi Imah!"

Butuh lima menit, Imah menemui Danu. Wajah keras Danu serta merta lenyap. Menatap Imah yang berdiri dihadapnya. Masih menggunakan mukenah. Tersenyum, Danu berdiri sambil meraih gelas. Diajukan ke wajah Imah.

"Bibi tahu sejarah gelas ini, kan?"

"Hadiah ibu untuk Bapak, Tuan!"

"Ibu yang ceritakan?"

"Bapak, Tuan."

Danu tersenyum. Perlahan meraih Edelweis berpigura di sudut meja. Dengan cara yang sama. Diajukan ke wajah Imah.

"Tahu bunga ini?"

"Bunga gunung, Tuan!"

"Haha..."

"Ibu bilangnya begitu."

"Ini Bunga Edelweis, Bi! Betul, ambilnya di gunung!"

"Oh! Bibi cuma diceritain, itu mas kawin Bapak untuk Ibu!"

"Bibi mengerti makna bunga ini?"

Tak butuh waktu lama. Gelengan kepala adalah jawaban yang sudah diduga Danu. Perlahan, tangan Danu merengkuh pundak Imah. Mengajak ke ruang tamu. Duduk bersisian. Gelas bersisa ampas kopi dan Edelweis, sudah berpindah tangan ke tangan Imah.

"Tadi Bibi sholat?".

"Iya, Tuan!"

"Doakan Ibu dan Bapak?"

"Iya. Bibi juga doakan Tuan!"

17 April 2019 (18.15 WIB)

Imah baru selesai berdo'a. Danu sudah duduk di belakangnya. Tergesa Imah berbalik badan. Danu sudah berpakaian rapi lengkap dengan jas abu-abu. Itu, jas peninggalan Bapak.

"Tuan mau pergi?"

"Wajah-wajah yang tertempel di gelas itu, menungguku!"

"Tapi ini baru..."

"Tolong buatkan kopi. Ya, Bi? Aku tunggu di kamar kerja."

Imah tahu, permintaan Danu itu adalah perintah. Imah bergegas ke Dapur. Meraih dengan hati-hati gelas peninggalan Bapak. Menyeduh dengan sepenuh hati, racikan kopi untuk Danu. Sekilas terdengar nada dering dari arah kamar kerja.

"Dor!"

Terkejut. Kaki Imah tercekat di pintu kamar. Aku pun terkejut. Terpaku menatap ekorku yang melayang lurus. Jatuh tepat ke dalam gelas berkopi.

Curup, 14.04.2019

zaldychan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun