Kau ambil alih komando. Kuikuti langkahmu. Berjalan dalam diam. Lewati pintu belakang Terminal Andalas, menyusuri lorong Blok B Pasar Raya. Seberangi jalan arteri, memasuki Blok A, persis di belakang Matahari Mall. Berhenti di satu toko, yang menjual alat-alat dan kebutuhan menjahit.
Agak lama, kembali berjalan. Kau berdiri sesaat di dekat elevator Matahari Mall. Kau menatapku. Aku tersenyum, kembali menarik tas kecilmu. Menyeberangi jalan, menuju Masjid Taqwa. Tak bicara. Kubiarkan rasa, memenuhi rongga asa. Kau juga aku.
Nyaris jam setengah tiga. Udara Kota Padang, tak lagi menyengat. Kutunggu dirimu, di tempat penitipan sandal dan peminjaman mukenah. Ada senyummu untukku. Raut tenang tersirat di wajahmu. Saat mengembalikan mukenah dan mengenakan sendal. Kau berdiri di hadapku. Menatap manik mataku.
"Nik, gak mau pulang!"
"Iya. Tapi, makan dulu!"
"Masih kenyang!"
"Eh?"
"Kalau mau makan. Biar Nik temani!"
"Terus kita kemana?"
"Ke Taman!"
"Taman?"
Tanyaku kau jawab dengan senyuman. Kau bergerak mendahuluiku. Bergegas, kujejeri langkahmu kembali menyeberang jalan. Menuju lapangan bola. Sudah banyak orang, tak hanya pengunjung. Tapi penjual mainan anak, penjual buah juga penjual makanan. Berdiam di bawah rindang pohon-pohon besar, yang tumbuh di setiap sisi lapangan.Â
Mataku tertuju ke tengah lapangan. Kulihat ada pertandingan bola. Tiba-tiba kau berhenti. Aku nyaris menabrakmu. Kau tersenyum.
"Duduk disini, yuk?"
"Bilangnya ke taman?"
"Ini taman!"
"Hah?"
"Taman Imam Bonjol!"
"Haha..."
"Mau?"
"Sebentar!"
Kau masih berdiri. Aku bergegas pergi, menuju gerobak penjual buah. Cara berjualan yang unik. Bermacam buah dipotong kecil, disusun rapi. Beberapa es batu menemani. Dalam kotak kecil berkaca bening. Aku membeli beberapa potong. Seorang ibu melayani. Kukira suaminya, sibuk mengupas buah nanas. Sesaat menatapku dan tersenyum.
Aku kembali. Dengan kantong plastik di tanganku. Segera duduk di rumput, beralaskan sandal. Kau mengikuti, duduk di sisiku. Kuajukan kantong plastik padamu. Kau raih, matamu menatapku.
"Tadi bilang apa sama ibu itu?"
"Beli buah..."
"Bukan penjual buah!"
"Lah! Ibu yang mana?"
"Pemilik Bofet di terminal!"
"Haha..."
"Bilang apa?"
"Bilang Nunik cantik!"
"Bukan itu! Nik dengar. Ibu itu bilang Undangan, kan?"
"Tanyain Nik pacarku? Aku bilang bukan!"
"Eh?"
"Kujawab, calon istri! Ibu itu minta diundang..."
"Hah! Serius bilang begitu?"
"Iya!"
"Tapi bohong, kan?"
"Iya!"
"Iiih..."
Tak lagi kuhindar. Kubiarkan, jari jempol dan telunjukmu. Bersekutu di pinggang kiriku. Kuat, lama dan perih. Kukira, dua jemarimu mewakili. Rasamu, amarahmu juga asamu padaku. Kau terdiam, melihat reaksiku. Tak lagi ada teriakan dari mulutku. Jemari tanganmu, masih melekat di pinggangku. Aku menatapmu.
"Kau mau?"
"Eh?"
"Jadi istriku?"
"Hah? Kan kita..."
"Tak usah jawab!"
"Nik belum..."
"Simpan jawabmu. Hingga nanti!"
#Nik
#GetMarried #PowerofLove #BecauseofYou #SayLovewithLetter
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H