Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Mang Dul

20 Januari 2019   21:36 Diperbarui: 20 Januari 2019   21:47 166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Usai mengantar Anakku ke sekolah. Kebiasaanku sebelum berangkat kerja, singgah sebentar di Kedai Kopi. Memesan segelas kopi. Sambil menikmati cerita pagi ala Kedai Kopi. Kukira karena sejak subuh hujan. Maka kedai kopi sepi. Pangkalan ojek di sebelah kedai pun sunyi dari keramaian. 

Dari jauh, Mang Dul dan ciri khasnya. Tas kain warna biru berisi pakaian ganti. Ajukan senyum dan Ayunkan langkah kaki ke arahku. Sekilas kulirik jam ditangan. Sudah pukul delapan. Kubalas senyum itu dengan anggukan kepala. Sesaat berdiri, ajukan tangan mengajak bertukar salam. Mang Dul menggenggam erat tanganku. 

"Telat, Mang?"

"Iya,  Bang! Malam tadi, kurang tidur. Anak si Onih..."

"Andi atau Rio?"

"Rio! Luka bekas sunat kemarin infeksi!"

"Hah!  Udah dua minggu,  belum sembuh juga. Sudah di obati?"

Mang Dul anggukkan kepala. Dan segera geleng kepala, saat kutawari segelas kopi. aku kembali duduk. Mang Dul tidak. 

"Maaf,  Bang! Belum bisa... "

"Jangan pikirkan!"

"Tapi..."

"Butuh ojek?  Aku antar,  ya?"

Segera kualihkan alur pembicaraan. Kembali gelengan kepala hadir. suasana pagi seusai hujan, akan semakin suram jika harus membahas hutang, kan? 

Aku mengenal  dan akrab dengan Mang Dul. Sejak sepuluh tahun lalu. Saat ikut menggali kuburan istrinya. Usianya enampuluh tiga tahun. Lebih tua duapuluh tahun dariku. Kupanggil Mang Dul, karena semua orang begitu. Dan Aku dipanggil Abang, karena orang-orang  pun memanggilku begitu. 

Bagiku, Mang Dul adalah sosok tangguh dan bertanggungjawab. di usia senja, mesti bekerja. Milik tiga orang anak perempuan. Semua sudah menikah. Dua anak pertama sudah ikut suami. 

Kecuali Onih, anak bungsu yang tinggal di rumah kontrakan bersama Mang Dul. Onih, janda yang memiliki dua orang anak. Andi dan Rio. Seperti Mang Dul, Suami Onih dulu adalah pembuat batu bata. Tiga tahun lalu, dua hari jelang lebaran. Suami ditemukan tewas tertimbun longsoran tanah. Bahan pembuat batu bata. Sejak saat itu, beban tertanam di pundak Mang Dul. 

"Bang... "

Aku terkejut. Mang Dul masih berdiri dihadapku. Wajah tulus itu menatapku. 

"Kenapa,  Mang?"

"Maaf,  ya? Mamang belum bisa..."

"Oh! Kan tadi sudah..."

"Musim hujan! Kayu basah. Susah membakar bata. Jadi Mamang belum terima... "

"Itu ada ojek,  Mang! Nanti malah tambah telat!"

Dua kali kualihkan pokok bicara. Mang Dul tersenyum paksa. Sesaat anggukkan kepala. Kembali bertukar salam. 

"Pergi dulu, Bang!"

"Hati-hati, Mang"

"Iya,  Bang! Sepertinya akan hujan lagi!"

"Hujan juga rahmat, Mang!"

Mang Dul tertawa mendengar ucapanku. Bagi sebagian orang, hujan adalah rahmat. Tidak bagi Mang Dul. Hujan berarti tertunda membakar batu bata yang sudah dicetak. Juga bermakna tertunda menerima gaji. 

Akh...! Aku lupa bilang ke Mang Dul. Sudah dua minggu kusiapkan untuk Mang Dul, kain sarung, baju koko beserta kopiah hitam. Kudengar dari tukang ojek temanku. Entah bercanda atau serius. Mang Dul mengaku mirip Calon Wakil Presiden jika berpakaian seperti itu. 

kureguk habis gelas berkopi. Bergegas membayar kopi. terpikir olehku, untuk menitipkan kain sarung, baju koko dan kopiah hitam itu di Kedai Kopi. Toh setiap hari, Mang Dul pasti lewati Kedai Kopi. Setidaknya, sore nanti saat pulang kerja. segera kuraih kunci motorku di atas meja. 

Hujan kembali hadir mengisi pagi. Pelan kujalankan motor menuju rumah. Dari jauh. Aku lihat kerumunan orang memenuhi simpang empat lampu merah. Pasti kecelakaan! Bathinku berbisik pelan. 

Rintik hujan dan jalanan Aspal yang masih baru membuat jalan licin. Perlahan kubawa motor mendekati kerumunan. Berbisik tentang korban yang temui kematian. Sedikit terhalang. Kulihat beberapa orang, menggotong sosok tubuh tak bergerak menuju satu angkot. Darah berceceran penuhi jalan beraspal. Aku mengingat tas kain biru  yang tergeletak ditengah jalan. Suaraku tercekat di kerongkongan. 

"Mang Dul!"

Curup,  20.01.2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun