"Itu ada ojek, Â Mang! Nanti malah tambah telat!"
Dua kali kualihkan pokok bicara. Mang Dul tersenyum paksa. Sesaat anggukkan kepala. Kembali bertukar salam.Â
"Pergi dulu, Bang!"
"Hati-hati, Mang"
"Iya, Â Bang! Sepertinya akan hujan lagi!"
"Hujan juga rahmat, Mang!"
Mang Dul tertawa mendengar ucapanku. Bagi sebagian orang, hujan adalah rahmat. Tidak bagi Mang Dul. Hujan berarti tertunda membakar batu bata yang sudah dicetak. Juga bermakna tertunda menerima gaji.Â
Akh...! Aku lupa bilang ke Mang Dul. Sudah dua minggu kusiapkan untuk Mang Dul, kain sarung, baju koko beserta kopiah hitam. Kudengar dari tukang ojek temanku. Entah bercanda atau serius. Mang Dul mengaku mirip Calon Wakil Presiden jika berpakaian seperti itu.Â
kureguk habis gelas berkopi. Bergegas membayar kopi. terpikir olehku, untuk menitipkan kain sarung, baju koko dan kopiah hitam itu di Kedai Kopi. Toh setiap hari, Mang Dul pasti lewati Kedai Kopi. Setidaknya, sore nanti saat pulang kerja. segera kuraih kunci motorku di atas meja.Â
Hujan kembali hadir mengisi pagi. Pelan kujalankan motor menuju rumah. Dari jauh. Aku lihat kerumunan orang memenuhi simpang empat lampu merah. Pasti kecelakaan! Bathinku berbisik pelan.Â
Rintik hujan dan jalanan Aspal yang masih baru membuat jalan licin. Perlahan kubawa motor mendekati kerumunan. Berbisik tentang korban yang temui kematian. Sedikit terhalang. Kulihat beberapa orang, menggotong sosok tubuh tak bergerak menuju satu angkot. Darah berceceran penuhi jalan beraspal. Aku mengingat tas kain biru  yang tergeletak ditengah jalan. Suaraku tercekat di kerongkongan.Â