"Butuh ojek? Â Aku antar, Â ya?"
Segera kualihkan alur pembicaraan. Kembali gelengan kepala hadir. suasana pagi seusai hujan, akan semakin suram jika harus membahas hutang, kan?Â
Aku mengenal  dan akrab dengan Mang Dul. Sejak sepuluh tahun lalu. Saat ikut menggali kuburan istrinya. Usianya enampuluh tiga tahun. Lebih tua duapuluh tahun dariku. Kupanggil Mang Dul, karena semua orang begitu. Dan Aku dipanggil Abang, karena orang-orang  pun memanggilku begitu.Â
Bagiku, Mang Dul adalah sosok tangguh dan bertanggungjawab. di usia senja, mesti bekerja. Milik tiga orang anak perempuan. Semua sudah menikah. Dua anak pertama sudah ikut suami.Â
Kecuali Onih, anak bungsu yang tinggal di rumah kontrakan bersama Mang Dul. Onih, janda yang memiliki dua orang anak. Andi dan Rio. Seperti Mang Dul, Suami Onih dulu adalah pembuat batu bata. Tiga tahun lalu, dua hari jelang lebaran. Suami ditemukan tewas tertimbun longsoran tanah. Bahan pembuat batu bata. Sejak saat itu, beban tertanam di pundak Mang Dul.Â
"Bang... "
Aku terkejut. Mang Dul masih berdiri dihadapku. Wajah tulus itu menatapku.Â
"Kenapa, Â Mang?"
"Maaf, Â ya? Mamang belum bisa..."
"Oh! Kan tadi sudah..."
"Musim hujan! Kayu basah. Susah membakar bata. Jadi Mamang belum terima... "