Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK) didirikan pada tanggal 13 Agustus 2003 sebagai salah satu lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. MK memiliki peran penting dalam menjaga supremasi konstitusi dan melindungi hak-hak konstitusional rakyat Indonesia. Fungsi dan peran MK mencakup aspek kebijakan, hukum, dan sosial yang berpengaruh terhadap negara dan masyarakat secara keseluruhan.
Fungsi dan Peran Mahkamah Konstitusi.
Mahkamah Konstitusi berfungsi sebagai wadah untuk menyelesaikan sengketa konstitusional antara lembaga negara, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Presiden, Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Mahkamah Agung (MA), dan pemerintah daerah. Mahkamah Konstitusi juga memiliki wewenang uji materil untuk menguji konstitusionalitas undang-undang yang dikeluarkan oleh DPR sebelum diundangkan menjadi undang-undang.
Peran Mahkamah Konstitusi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia sangat vital karena Mahkamah Konstitusi berfungsi sebagai penjaga konstitusi dan penafsir konstitusi. Mahkamah Konstitusi bertugas memastikan bahwa setiap tindakan pemerintah dan lembaga negara tidak melanggar prinsip-prinsip konstitusi dan hak-hak asasi manusia. Dengan demikian, Mahkamah Konstitusi berperan dalam mencegah penyalahgunaan kekuasaan dan mengawal prinsip negara hukum.
Dampak Kehadiran Mahkamah Konstitusi bagi Negara dan Masyarakat.
Mahkamah Konstitusi memiliki dampak yang luas terhadap negara dan masyarakat. Putusan Mahkamah Konstitusi dalam sengketa perkara mempengaruhi kebijakan pemerintah, keadilan sosial, dan perlindungan hak-hak rakyat. Dalam beberapa kasus, putusan Mahkamah Konstitusi mengubah atau membatalkan undang-undang yang dianggap tidak sesuai dengan konstitusi.
Dampak positif Mahkamah Konstitusi terlihat dalam meningkatnya kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum dan keadilan. Mahkamah Konstitusi telah membuktikan diri sebagai lembaga independen yang berkomitmen untuk menjalankan fungsi dan perannya dengan adil dan transparan. Masyarakat merasa lebih terjamin hak-haknya karena adanya Mahkamah Konstitusi sebagai pengayom dan penjaga konstitusi.
Meskipun begitu, Mahkamah Konstitusi juga menghadapi tantangan dalam menjalankan tugasnya. Beberapa kritik mengenai kinerja internal dan transparansi Mahkamah Konstitusi menjadi perhatian publik. Namun, secara keseluruhan, Mahkamah Konstitusi tetap dianggap sebagai lembaga yang sangat relevan dan krusial dalam menegakkan supremasi konstitusi dan melindungi hak-hak rakyat.
Tantangan Mahkamah Konstitusi Saat Ini.
UU Cipta Kerja (Ciptaker).
Mahkamah Konstitusi telah mengeluarkan Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan bahwa UU Cipta Kerja terbukti inkonstitusional, untuk menghindari ketidak pastina hukum serta dampak lain yang ditimbulkan maka Mahkamah Konstitusi ikut menyatakan UU Cipta Kerja masih tetap berlaku secara bersyarat.Â
Inskonstitusional bersyarat itu dimaknai bahwa dalam 2 tahun yaitu dari tanggal 25 November 2021 hingga 25 November 2023, DPR dan pemerintah harus melakukan perubahan sesuai dengan perintah dari Putusan Mahkamah Konstitusi antara lain: Menyusun kembali UU Cipta Kerja sesuai azas pembentukan peraturan perundang-undangan, membuka partisipasi masyarakat secara luas terhadap revisi UU Cipta Kerja, dan menghindari adanya perubahan mendadak di sela-sela bersama Presiden dan DPR serta pengesahannya.
Setelah Putusan Mahkamah Konstitusi untuk UU Cipta Kerja keluar, keputusan tersebut memiliki sisi multi tafsir berhubungan dengan amar angka 7 putusan a quo karena tidak disertai penjelasan pada makna "Tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas", hal tersebut dapat memunculkan kebingungan pada pemerintah yang hendak melaksanakan UU Cipta Kerja dan masyarakat pada umumnya.Â
Saat ini dan ke depannya Putusan Mahkamah Konstitusi akan membawa dampak signifikan terhadap implementasi UU Cipta Kerja, oleh sebab itu penting untuk menyeimbangkan kepentingan antara pemerintah, buruh, dan kelompok sipil dalam merumuskan kebijakan yang berkaitan dengan ketenagakerjaan dan regulasi pasar kerja. Undang-Undang Cipta Kerja menjadi kesempatan bagi Mahkamah Konstitusi untuk mengkaji dengan seksama dan obyektif serta memberikan keputusan yang berkeadilan bagi masyarakat secara keseluruhan.
Penambahan Masa Jabatan Pimpinan KPK.Â
Perkumpulan Masyarakat Anti Korupsi (MAKI) telah mengajukan gugatan terhadap penambahan masa jabatan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ke Mahkamah Konstitusi. Dalam sidang pendahuluan yang digelar, MAKI mewakili Koordinatornya, Boyamin Saiman, meminta Mahkamah Konstitusi melakukan uji materi terhadap Pasal 34 UU 30/2022 tentang KPK.
Gugatan ini berhubungan dengan putusan MK sebelumnya yang mengubah masa jabatan pimpinan KPK dari 4 menjadi 5 tahun melalui Putusan MK 112/PUU-XX/2022. Namun, perubahan pasal ini diterapkan secara retrospektif pada pimpinan KPK saat ini, termasuk Firli Bahuri, sehingga masa jabatan mereka ditambah satu tahun menjadi berakhir pada Desember 2024.
MAKI menginginkan agar Mahkamah Konstitusi tidak menerapkan penambahan masa jabatan tersebut pada periode Firli Bahuri yang seharusnya berakhir pada Desember 2023. Mereka meminta agar norma ini berlaku untuk masa jabatan selanjutnya, tidak berlaku surut. MAKI menegaskan bahwa hukum tidak boleh berlaku surut, sehingga masa jabatan pimpinan KPK yang berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 112/PUU-XX/2022 untuk periode tahun 2023-2028 tidak berlaku untuk pimpinan KPK saat ini.
MAKI mengemukakan kekhawatiran bahwa pemberlakuan penambahan masa jabatan dapat mempengaruhi kinerja pimpinan KPK saat ini, terutama dalam hal pelanggaran kode etik dan terpengaruh oleh kekuasaan politik. Oleh karena itu, MAKI meminta agar Mahkamah Konstitusi tidak menambah sisa jabatan satu tahun pada periode Firli Bahuri.
Sebelumnya, MK telah mengabulkan gugatan untuk mengubah masa jabatan pimpinan KPK menjadi lima tahun dan menyatakan syarat batas usia calon pimpinan KPK bertentangan dengan UUD 1945. Gugatan ini diajukan oleh Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron yang mempersoalkan Pasal 34 dan Pasal 29 huruf e UU KPK.
Dalam melihat perkara ini, penting bagi Mahkamah Konstitusi untuk mempertimbangkan prinsip keadilan dan konsistensi hukum. Penentuan masa jabatan pimpinan KPK haruslah berdasarkan pertimbangan yang cermat dan tidak dipengaruhi oleh kepentingan politik. Pengambilan keputusan yang adil dan obyektif oleh Mahkamah Konstitusi, di sisi lain dapat memperkuat integritas lembaga KPK dan memastikan penegakan hukum yang efektif dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.
Batasan Masa Jabatan Ketua Umum Partai Politik.
Dua warga Papua, Ramos Petege dan Leonardus O Magai, mengajukan gugatan terhadap Pasal 2 Ayat 1b dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik ke Mahkamah Konstitusi. Gugatan ini bertujuan untuk membatasi masa jabatan ketua umum partai politik maksimal 10 tahun, ketiadaan pembatasan masa jabatan pimpinan partai politik berdampak negatif pada demokrasi dan memungkinkan munculnya tindakan otoritarianisme dan dinasti politik.
Gugatan ini didasari juga atas pandangan bahwa pengurus partai politik berperan sebagai "juragan" bagi anggota parpol yang duduk di parlemen, di mana anggota dewan lebih tunduk pada kehendak pengurus partai daripada suara rakyat yang memilih mereka. Dalam gugatannya, mereka menyebutkan contoh dinasti politik di Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Partai Demokrat, di mana beberapa ketua umumnya telah menjabat dalam periode yang sangat lama.
Gugatan hadir mencerminkan kekhawatiran masyarakat terhadap konsolidasi kekuasaan yang berlebihan dan potensi penyalahgunaan kekuasaan dalam tubuh partai politik. Individu dan kelompok yang mewakili masyarakat berharap agar MK dapat mengakomodasi aspirasi mereka dengan membatasi masa jabatan ketua umum partai politik agar demokrasi lebih kuat dan partisipasi rakyat lebih nyata.
Masyarakat mengharapkan Mahkamah Konstitusi menjunjung tinggi prinsip konstitusionalisme dan menghindari excessive atau abuse of power yang dapat mengancam sistem demokrasi di dalam negara hukum. Masyarakat juga menginginkan MK untuk mempertimbangkan prinsip proporsionalitas dan hak-hak konstitusional yang dijamin oleh Pasal 28B ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (3), dan Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).
Dengan melibatkan masyarakat dan mendengarkan aspirasi rakyat, Mahkamah Konstitusi diharapkan dapat mengambil keputusan yang memperkuat demokrasi di dalam tubuh partai politik. Pembatasan masa jabatan ketua umum partai politik dianggap sebagai langkah penting untuk menghindari konsentrasi kekuasaan dan menjaga sistem demokrasi yang sehat dan berkeadilan.
Mahkamah Konstitusi perlu mempertimbangkan implikasi putusan ini bagi kehidupan politik dan demokrasi di Indonesia. Mahkamah Konstitusi diharapkan dapat memberikan kontribusi yang positif dalam memperkuat demokrasi dan memastikan perlindungan hak-hak konstitusional warga negara. Masyarakat tentunya berharap agar Mahkamah Konstitusi menjadi garda terdepan dalam menjaga keseimbangan kekuasaan dan mengawal prinsip konstitusionalisme untuk kemajuan demokrasi Indonesia yang lebih baik.
Gugatan Publik yang Menarik Lainnya.
UU Pemilu, Pasal Larangan Kampanye di Tempat Ibadah.
Anggota DPRD DKI Jakarta dari Fraksi PDIP, Ong Yenny, dan seorang karyawan swasta, Handrey Mantiri, telah menggugat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu ke Mahkamah Konstitusi. Gugatan ini terkait pasal larangan kampanye di tempat ibadah dan penjelasannya yang dianggap kontradiktif dan merugikan hak konstitusional mereka.
Pasal 280 ayat (1) huruf h UU Pemilu menyatakan bahwa "Pelaksana, peserta, dan tim kampanye Pemilu dilarang: h. menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat Pendidikan." Namun, penjelasan Pasal 280 ayat (1) huruf h menunjukkan bahwa fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan dapat digunakan jika peserta pemilu hadir tanpa atribut kampanye pemilu atas undangan dari pihak penanggung jawab fasilitas tersebut.
Dalam sidang perdana yang digelar, dua penggugat meminta Mahkamah Konstitusi untuk mempertegas aturan mengenai larangan kampanye di tempat ibadah agar tidak menimbulkan kontradiksi dan memastikan hak-hak konstitusional mereka terjamin. Mereka mengungkapkan kekhawatiran bahwa penjelasan pasal tersebut dapat menghambat hak mereka untuk mendapatkan keadilan dalam memilih.
Salah satu anggota kuasa hukum pemohon, juga menyoroti aturan kampanye di fasilitas pemerintah yang khawatir akan ketidaknetralan pemerintah dalam memberikan fasilitas kampanye dapat merugikan peserta pemilu yang bukan pengusung atau pendukung pemerintah. Selain itu, penggunaan fasilitas umum sebagai tempat kampanye dapat menyebabkan persepsi negatif terhadap proses politik dan mengurangi partisipasi masyarakat.
Terhadap tempat pendidikan sebagai area kampanye, para penggugat dan kuasa hukumnya menilai aturan tersebut berpotensi mengakibatkan ketidaknetralan para pendidik. Pendidikan memiliki tugas untuk mencerdaskan bangsa, sehingga para pendidik seharusnya netral dan tidak berpihak pada kekuasaan politik tertentu. Kampanye di tempat pendidikan berpotensi membagi institusi pendidikan ke dalam berbagai aliran politik.
Dalam petitumnya, para pemohon juga meminta Mahkamah Konstitusi menyatakan penjelasan Pasal 280 ayat (1) huruf f UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat.
Dalam upaya untuk menjaga demokrasi yang sehat dan berkeadilan, masyarakat berharap Mahkamah Konstitusi dapat mempertimbangkan pentingnya pembatasan kampanye di tempat ibadah dan fasilitas pemerintah agar tidak ada penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran hak-hak konstitusional.
Masyarakat melalui individu-individu yang menggugat, menyoroti urgensi untuk menjaga netralitas pemerintah dan institusi pendidikan dalam proses pemilu, semua ingin agar kampanye pemilu dilaksanakan di tempat-tempat netral dan non-religius, sehingga partisipasi masyarakat dapat lebih maksimal dan tidak terpengaruh oleh kepentingan politik tertentu.
Selain itu, pengajuan gugatan tersebut juga menekankan perlunya penegasan dari Mahkamah Konstitusi mengenai aturan larangan kampanye di tempat ibadah agar tidak ada penafsiran ganda dan kontradiksi dalam implementasinya, di mana setiap aturan yang berkaitan dengan proses pemilu sesuai dengan prinsip konstitusionalisme dan tidak merugikan hak-hak konstitusional warga negara.
Gugatan dan Tuntutan untuk Penerbitan SIM oleh Kementerian Terkait.
Seorang warga Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, Leon Maulana Mirza Pasha, mengajukan gugatan terhadap Pasal 87 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Jalan (LLAJ) ke Mahkamah Konstitusi. Gugatan ini diajukan dengan harapan agar MK menghapus pasal tersebut dan memberikan kewenangan penerbitan Surat Izin Mengemudi (SIM) kepada menteri terkait.
Pada Pasal 87 Ayat 2 UU LLAJ, saat ini disebutkan bahwa SIM diterbitkan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia. Namun, Leon berpendapat bahwa proses penerbitan SIM seharusnya dilakukan oleh menteri terkait, sebagaimana yang umumnya berlaku di berbagai negara lain.
Dalam gugatannya, Leon mengutip beberapa negara sebagai contoh, di mana penerbitan SIM dilakukan oleh badan atau departemen atau kementerian di bidang transportasi, perhubungan, infrastruktur, atau secara khusus kendaraan bermotor. Negara-negara yang dijadikan contoh antara lain: Amerika Serikat, Australia, Malaysia, dan Jepang, di mana kewenangan penerbitan SIM diberikan kepada pihak atau kementerian terkait.
Dalam permohonannya, pemohon meminta agar Mahkamah Konstitusi mengabulkan gugatannya dengan mengikuti kelaziman penerbitan SIM seperti yang dilakukan oleh negara-negara lain di dunia, sehingga proses penerbitan SIM akan lebih efisien dan sesuai dengan praktek internasional. Dengan mengikuti praktik negara-negara maju dalam penerbitan SIM diharapkan dapat meningkatkan kualitas dan profesionalisme layanan publik terkait dengan urusan lalu lintas dan transportasi. Mengandalkan menteri terkait untuk penerbitan SIM dapat memberikan kepastian hukum dan standar yang lebih tinggi, serta memastikan proses yang transparan dan akuntabel.
Mahkamah Konstitusi diharapkan dapat mempertimbangkan argumen pemohon dengan seksama dan melakukan penilaian objektif terhadap tuntutannya. Keputusan Mahkamah Konstitusi dalam gugatan ini dapat membuka peluang untuk perubahan positif dalam pengelolaan SIM di Indonesia dan menjadi contoh bagi praktik-praktik inovatif lainnya yang dapat meningkatkan kualitas pelayanan publik.
Gugatan atas Ketentuan Bunga Bank.
Dua warga negara, Utari Sulistiowati dan Edwin Dwiyana, menggugat Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) ke Mahkamah Konstitusi karena ketentuan tentang bunga bank yang terkandung di dalamnya. Gugatan ini didasarkan pada keyakinan bahwa pasal-pasal terkait menyepakati adanya perjanjian utang-piutang yang dikenakan bunga dalam pinjaman uang atau barang lainnya, yang mereka anggap bertentangan dengan agama dan merugikan hak konstitusional mereka.
Pasal 1765 KUHPerdata menyatakan bahwa diperbolehkan untuk memperjanjikan bunga atas pinjaman uang atau barang yang habis karena pemakaian. Pasal 1766 menyatakan bahwa jika peminjam telah membayar bunga yang tidak diperjanjikan sebelumnya, maka bunga tersebut tidak dapat diminta kembali atau dikurangkan dari pinjaman pokok, kecuali jika bunga yang telah dibayar melebihi jumlah bunga yang ditetapkan dalam undang-undang. Pasal 1767 dan 1768 membahas tentang bunga yang ditetapkan menurut undang-undang dan yang diperjanjikan dalam perjanjian.
Para pemohon merasa bahwa mengambil bunga dalam utang-piutang adalah haram karena mengandung riba, yang bertentangan dengan keyakinan agama mereka. Mereka merujuk pada Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 1 Tahun 2004 tentang Bunga Interest, yang menyatakan bahwa mematok bunga dalam urusan utang-piutang dianggap sebagai riba nasiah yang diharamkan dalam agama.
Para pemohon berpendapat bahwa ketentuan bunga bank dalam KUHPerdata melanggar hak konstitusional mereka untuk memeluk dan melaksanakan agama sesuai dengan kepercayaan masing-masing. Konstitusi menjamin kemerdekaan bagi setiap penduduk untuk memeluk agamanya dan beribadah sesuai keyakinannya, sebagaimana diatur dalam Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.
Mereka memohon agar Mahkamah Konstitusi mengabulkan gugatan mereka dan menyatakan bahwa materi muatan Pasal 1765, Pasal 1766, Pasal 1767, dan Pasal 1768 KUHPerdata bertentangan dengan Pasal 1 ayat (1) dan Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 serta tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Selain itu, mereka meminta agar putusan Mahkamah Konstitusi diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Dengan hadirnya gugatan ini akan membuka ruang dialog antara hukum dan agama yang penting untuk dilakukan untuk mencapai keadilan sosial bagi seluruh warga negara. Mahkamah Konstitusi diharapkan dapat menjadi lembaga yang sensitif terhadap isu-isu keagamaan dan memberikan keputusan yang adil dan seimbang untuk menjaga harmoni dan keselarasan antara hukum positif dan nilai-nilai agama.
Supremasi Konstitusi dan Keadilan di Indonesia.
Transparansi dan Akuntabilitas.
Mahkamah Konstitusi diharapkan meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam proses pengambilan keputusan. Masyarakat berharap agar putusan Mahkamah Konstitusi dapat dijelaskan secara lebih terbuka dan mudah dipahami oleh publik. Selain itu, Mahkamah Konstitusi diharapkan lebih aktif berkomunikasi dengan masyarakat tentang perkembangan dan peranannya dalam menyelesaikan sengketa perkara melalui ruang publik secara offline maupun melalui kanal online.
Independensi dan Integritas.
Terhadap Mahkamah Konstitusi yang juga menjadi catatan adalah mengenai independensi dan integritas. Terutama sejak ketua periode 2013-2015, Akil Mochtar, mencoreng nama institusi Mahkamah Konstitusi dengan menjadi terdakwa kasus suap sengketa pemilu Kabupaten Lebak. Masyarakat menginginkan Mahkamah Konstitusi tetap berdiri tegak sebagai lembaga yang bebas dari tekanan politik, kepentingan pribadi, ataupun kepentingan pihak tertentu. Terjaganya independensi lembaga menjadi kunci dalam menjamin keadilan dan netralitas dalam putusan yang diambil Mahkamah Konstitusi.
Pemberdayaan Masyarakat dan Edukasi Hukum.
Mahkamah Konstitusi juga diharapkan turut berperan dalam pemberdayaan masyarakat dalam hal memberikan pemahaman tentang konstitusi dan hukum. Program edukasi hukum serta penyediaan informasi yang mudah diakses dapat membantu meningkatkan kesadaran hukum dan partisipasi warga negara dalam melindungi hak-hak mereka.
Memperkuat Perlindungan HAM dan Lingkungan.
Terakhir, Masyarakat mengharapkan Mahkamah Konstitusi terus menjadi harapan dalam memperkuat perlindungan hak asasi manusia di Indonesia. Putusan Mahkamah Konstitusi yang berhubungan dengan kepentingan hukum, sosial, dan ekonomi diharapakan berlandaskan pada prinsip-prinsip hak asasi manusia, keadilan bagi semua, termasuk terhadap perlindungan alam dan lingkungan.
Perjalanan 20 tahun Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia menunjukkan pentingnya peran lembaga ini dalam menjaga supremasi konstitusi dan keadilan di Indonesia. Dengan mendengarkan dan mengakomodasi aspirasi masyarakat, Mahkamah Konstitusi dapat terus berupaya menjadi lembaga yang independen, adil, dan berdaya guna dalam melindungi hak-hak konstitusional serta hak asasi manusia warga negara Indonesia. Ke depannya, dalam menghadapi masa depan, Mahkamah Konstitusi diharapkan menjadi pilar utama dalam menegakkan hukum dan memberikan perlindungan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H