Dalam permohonannya, pemohon meminta agar Mahkamah Konstitusi mengabulkan gugatannya dengan mengikuti kelaziman penerbitan SIM seperti yang dilakukan oleh negara-negara lain di dunia, sehingga proses penerbitan SIM akan lebih efisien dan sesuai dengan praktek internasional. Dengan mengikuti praktik negara-negara maju dalam penerbitan SIM diharapkan dapat meningkatkan kualitas dan profesionalisme layanan publik terkait dengan urusan lalu lintas dan transportasi. Mengandalkan menteri terkait untuk penerbitan SIM dapat memberikan kepastian hukum dan standar yang lebih tinggi, serta memastikan proses yang transparan dan akuntabel.
Mahkamah Konstitusi diharapkan dapat mempertimbangkan argumen pemohon dengan seksama dan melakukan penilaian objektif terhadap tuntutannya. Keputusan Mahkamah Konstitusi dalam gugatan ini dapat membuka peluang untuk perubahan positif dalam pengelolaan SIM di Indonesia dan menjadi contoh bagi praktik-praktik inovatif lainnya yang dapat meningkatkan kualitas pelayanan publik.
Gugatan atas Ketentuan Bunga Bank.
Dua warga negara, Utari Sulistiowati dan Edwin Dwiyana, menggugat Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) ke Mahkamah Konstitusi karena ketentuan tentang bunga bank yang terkandung di dalamnya. Gugatan ini didasarkan pada keyakinan bahwa pasal-pasal terkait menyepakati adanya perjanjian utang-piutang yang dikenakan bunga dalam pinjaman uang atau barang lainnya, yang mereka anggap bertentangan dengan agama dan merugikan hak konstitusional mereka.
Pasal 1765 KUHPerdata menyatakan bahwa diperbolehkan untuk memperjanjikan bunga atas pinjaman uang atau barang yang habis karena pemakaian. Pasal 1766 menyatakan bahwa jika peminjam telah membayar bunga yang tidak diperjanjikan sebelumnya, maka bunga tersebut tidak dapat diminta kembali atau dikurangkan dari pinjaman pokok, kecuali jika bunga yang telah dibayar melebihi jumlah bunga yang ditetapkan dalam undang-undang. Pasal 1767 dan 1768 membahas tentang bunga yang ditetapkan menurut undang-undang dan yang diperjanjikan dalam perjanjian.
Para pemohon merasa bahwa mengambil bunga dalam utang-piutang adalah haram karena mengandung riba, yang bertentangan dengan keyakinan agama mereka. Mereka merujuk pada Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 1 Tahun 2004 tentang Bunga Interest, yang menyatakan bahwa mematok bunga dalam urusan utang-piutang dianggap sebagai riba nasiah yang diharamkan dalam agama.
Para pemohon berpendapat bahwa ketentuan bunga bank dalam KUHPerdata melanggar hak konstitusional mereka untuk memeluk dan melaksanakan agama sesuai dengan kepercayaan masing-masing. Konstitusi menjamin kemerdekaan bagi setiap penduduk untuk memeluk agamanya dan beribadah sesuai keyakinannya, sebagaimana diatur dalam Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.
Mereka memohon agar Mahkamah Konstitusi mengabulkan gugatan mereka dan menyatakan bahwa materi muatan Pasal 1765, Pasal 1766, Pasal 1767, dan Pasal 1768 KUHPerdata bertentangan dengan Pasal 1 ayat (1) dan Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 serta tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Selain itu, mereka meminta agar putusan Mahkamah Konstitusi diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Dengan hadirnya gugatan ini akan membuka ruang dialog antara hukum dan agama yang penting untuk dilakukan untuk mencapai keadilan sosial bagi seluruh warga negara. Mahkamah Konstitusi diharapkan dapat menjadi lembaga yang sensitif terhadap isu-isu keagamaan dan memberikan keputusan yang adil dan seimbang untuk menjaga harmoni dan keselarasan antara hukum positif dan nilai-nilai agama.
Supremasi Konstitusi dan Keadilan di Indonesia.
Transparansi dan Akuntabilitas.