Mahkamah Konstitusi telah mengeluarkan Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan bahwa UU Cipta Kerja terbukti inkonstitusional, untuk menghindari ketidak pastina hukum serta dampak lain yang ditimbulkan maka Mahkamah Konstitusi ikut menyatakan UU Cipta Kerja masih tetap berlaku secara bersyarat.Â
Inskonstitusional bersyarat itu dimaknai bahwa dalam 2 tahun yaitu dari tanggal 25 November 2021 hingga 25 November 2023, DPR dan pemerintah harus melakukan perubahan sesuai dengan perintah dari Putusan Mahkamah Konstitusi antara lain: Menyusun kembali UU Cipta Kerja sesuai azas pembentukan peraturan perundang-undangan, membuka partisipasi masyarakat secara luas terhadap revisi UU Cipta Kerja, dan menghindari adanya perubahan mendadak di sela-sela bersama Presiden dan DPR serta pengesahannya.
Setelah Putusan Mahkamah Konstitusi untuk UU Cipta Kerja keluar, keputusan tersebut memiliki sisi multi tafsir berhubungan dengan amar angka 7 putusan a quo karena tidak disertai penjelasan pada makna "Tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas", hal tersebut dapat memunculkan kebingungan pada pemerintah yang hendak melaksanakan UU Cipta Kerja dan masyarakat pada umumnya.Â
Saat ini dan ke depannya Putusan Mahkamah Konstitusi akan membawa dampak signifikan terhadap implementasi UU Cipta Kerja, oleh sebab itu penting untuk menyeimbangkan kepentingan antara pemerintah, buruh, dan kelompok sipil dalam merumuskan kebijakan yang berkaitan dengan ketenagakerjaan dan regulasi pasar kerja. Undang-Undang Cipta Kerja menjadi kesempatan bagi Mahkamah Konstitusi untuk mengkaji dengan seksama dan obyektif serta memberikan keputusan yang berkeadilan bagi masyarakat secara keseluruhan.
Penambahan Masa Jabatan Pimpinan KPK.Â
Perkumpulan Masyarakat Anti Korupsi (MAKI) telah mengajukan gugatan terhadap penambahan masa jabatan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ke Mahkamah Konstitusi. Dalam sidang pendahuluan yang digelar, MAKI mewakili Koordinatornya, Boyamin Saiman, meminta Mahkamah Konstitusi melakukan uji materi terhadap Pasal 34 UU 30/2022 tentang KPK.
Gugatan ini berhubungan dengan putusan MK sebelumnya yang mengubah masa jabatan pimpinan KPK dari 4 menjadi 5 tahun melalui Putusan MK 112/PUU-XX/2022. Namun, perubahan pasal ini diterapkan secara retrospektif pada pimpinan KPK saat ini, termasuk Firli Bahuri, sehingga masa jabatan mereka ditambah satu tahun menjadi berakhir pada Desember 2024.
MAKI menginginkan agar Mahkamah Konstitusi tidak menerapkan penambahan masa jabatan tersebut pada periode Firli Bahuri yang seharusnya berakhir pada Desember 2023. Mereka meminta agar norma ini berlaku untuk masa jabatan selanjutnya, tidak berlaku surut. MAKI menegaskan bahwa hukum tidak boleh berlaku surut, sehingga masa jabatan pimpinan KPK yang berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 112/PUU-XX/2022 untuk periode tahun 2023-2028 tidak berlaku untuk pimpinan KPK saat ini.
MAKI mengemukakan kekhawatiran bahwa pemberlakuan penambahan masa jabatan dapat mempengaruhi kinerja pimpinan KPK saat ini, terutama dalam hal pelanggaran kode etik dan terpengaruh oleh kekuasaan politik. Oleh karena itu, MAKI meminta agar Mahkamah Konstitusi tidak menambah sisa jabatan satu tahun pada periode Firli Bahuri.
Sebelumnya, MK telah mengabulkan gugatan untuk mengubah masa jabatan pimpinan KPK menjadi lima tahun dan menyatakan syarat batas usia calon pimpinan KPK bertentangan dengan UUD 1945. Gugatan ini diajukan oleh Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron yang mempersoalkan Pasal 34 dan Pasal 29 huruf e UU KPK.
Dalam melihat perkara ini, penting bagi Mahkamah Konstitusi untuk mempertimbangkan prinsip keadilan dan konsistensi hukum. Penentuan masa jabatan pimpinan KPK haruslah berdasarkan pertimbangan yang cermat dan tidak dipengaruhi oleh kepentingan politik. Pengambilan keputusan yang adil dan obyektif oleh Mahkamah Konstitusi, di sisi lain dapat memperkuat integritas lembaga KPK dan memastikan penegakan hukum yang efektif dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.