Perkembangan teknologi dan informasi saat ini telah berkembang secara eksponensial. Di era perkembangan industri 4.0, era disrupsi, era post-truth, dan konsep/teori lain yang menggambarkan kondisi era saat ini menunjukkan segala kemajuan dan tantangan di era yang serba dimanjakan oleh teknologi.Â
Bagaimana tidak, dulu masyarakat yang kesulitan mengakses informasi yang hanya mengandalkan media koran, majalah, dan televisi, kini semua penyebaran informasi menerapkan teknologi bahkan dalam genggaman kita sendiri melalui smartphone yang kini semua manusia Indonesia punya mulai dari kawula muda hingga tua tak luput mengoperasikannya.Â
Dulu masyarakat seolah "dipilihkan" berita oleh pemimpin redaksi masing-masing media massa untuk menentukan agenda masalah publik mana yang perlu ditonjolkan, tapi kini sebaliknya justru masyarakat yang memilih informasi dan beritanya sendiri dan justru berbalik masyarakat yang "memilihkan" topik utama yang harus dibahas dalam halaman depan oleh para pemimpin redaksi media massa.Â
Apabila para pemimpin redaksi tak menaruh dalam topik utama tentu menjadi dilema karena seolah menolak permintaan pasar (masyarakat), pasar akan "memboikot", karena mereka tahu apa yang seharusnya mereka dapatkan. Lebih baik cari media massa lainnya yang sesuai keinginan mereka.
Dunia sekarang seolah berbalik. Masyarakat lebih mengedepankan hasrat yang menurutnya benar tanpa mengedepankan fakta, realitas ini bahasa kerennya era kini dilihat sebagai konsep era post-truth. Post-truth sendiri dalam kamus Oxford Dictionary dijelaskan sebagai Describing situations in which objectives fact are less influential in shaping public opinion that appeals to emotion and personal belief.Â
Dengan gamblang ditunjukkan bahwa pada era saat ini merupakan situasi dimana fakta-fakta obyektif memberikan pengaruh yang minim dalam membentuk opini publik yang lebih menekan pada emosi dan kepercayaan personal. Ini berarti masyarakat lebih mengedepankan emosi dan kepercayaan kolotnya dibanding menerima suatu kebenaran fakta yang obyektif.Â
Kemudian pandangan ini akan melahirkan suatu pembelaan yang luar biasa terhadap anggapan satu-satunya kebenaran yang Ia anggap benar sendiri, yang memberikan implikasi pada kebenaran yang dimiliki oleh orang lain dinilai sebagai keliru sehingga muncul tindakan untuk memusnahkan. Maka selamat datang di era post-truth, era yang melampaui kebenaran, bukan pada kebenaran yang lebih benar, tapi masuk dalam kubangan emosi kepercayaan yang menutup pandangan lain terhadap fakta yang ada.
Kenyataannya era saat ini sangat terlihat, khususnya di Indonesia ini. Sejak masa kampanye pilgub DKI Jakarta akhir 2016 lalu, kampanye pilpres 2018 hingga 2019, bahkan hingga kini kenyataan post-truth terus saja kita rasakan. Di satu sisi masyarakat mendukung habis-habisan calon A sehingga Ia hanya mencari informasi bagus-bagusnya calon A kemudian buruk-buruknya calon B. Begitu pula sebaliknya masyarakat yang mendukung calon B melakukan hal yang demikian.Â
Maka saat ini seolah terjadi perpecahan dalam masyarakat Indonesia dalam dua spesies, yakni spesies kampret dan cebong. Tiap hari terus kita merasakan gaungnya permusuhan di antara sesama rakyat Indonesia. Konkret dan nyata sudah efek post-truth pada kehidupan kita, di mana masyarakat yakin dan percaya dengan satu-satunya sumber informasi yang mengafirmasi kepercayaannya dan mengafirmasi bahwa kelompok yang lain salah.Â
Lengkap sudah, lama-lama masyarakat Indonesia yang dulu dikenal inklusif, saling menghargai, mengedepankan musyawarah, terbuka, kini akan berevolusi menjadi masyarakat eksklusif, masyarakat yang sengaja menutup dirinya sendiri.Â
Mengapa diksi revolusi yang saya pakai? Karena perubahan ini berlangsung dengan cepat, bahkan teknologi yang diterapkan sangat mendukung untuk revolusi masyarakat Indonesia yang inklusif menjadi masyarakat eksklusif. Tak perlu repot-repot pula menjelaskan sebenarnya, karena toh masyarakat eksklusif sudah terjadi saat ini.
Teknologi pendukung post-truth ini bisa kita jumpai pada smartphone yang kita pegang sehari-hari. Untuk lebih memudahkan perlu saya paparkan secara ringan.Â
Di dalam smartphone kita yang didukung dengan koneksi internet terdapat semacam kecerdasan buatan/artificial intelligence (AI) yang melakukan pemrograman algoritma, sehingga tampilan smartphone kita akan menampilkan hal-hal yang sering kita akses saja demi memberikan customize kepada pengguna smartphone, berdasarkan yang sering kita akses dan yang kita suka.Â
Karena AI mencoba melakukan hal secara efisien sesuai apa yang kita mau, bukan menampilkan hal yang sia-sia yang tidak sesuai keinginan pengguna yang ini kemudian dimanfaatkan untuk menampilkan iklan yang sesuai dengan apa yang sering kita akses. Sistem algoritma seperti ini yang biasa kita kenal dengan Filter Bubble.Â
Contoh gampangnya mungkin kita sering melihat-lihat barang di toko online tertentu yang ingin kita beli misal sepatu, maka ketika kita masuk pada browser iklan sepatu akan muncul, kita masuk di sosial media kita iklan-iklan sepatu muncul lagi, dsb. Dan hal-hal lainnya yang mungkin sering kita alami.
Filter Bubble ini juga berlaku pada berita-berita yang sering kita akses, termasuk berita politik, ekonomi, pemerintahan, semua berita yang dimunculkan kepada kita apalagi di media sosial adalah informasi-informasi yang memang adalah berita yang kita sudah percayai, sukai, nyaman dengan berita itu, dsb.Â
Sehingga kalau kita sering mengakses berita atau opini yang mendukung kelompok tertentu akan muncul terus berita itu-itu saja yang sifatnya mendukung, sebaliknya apabila yang diakses adalah sifatnya mengkritisi dan mencela kelompok tertentu ya muncul terus begitu. Ini yang kemudian membuat sistem algoritma Filter Bubble dalam smarthone atau gawai kita menyebabkan revolusi masyarakat Indonesia yang inklusif menjadi eksklusif.
Adanya Filter Bubble ini menjadikan masyarakat seolah melakukan doktrin terhadap dirinya sendiri. Ia memilih dan mengakses informasi yang menurut dia suka dan percaya, sehingga yang Ia dapatkan hanyalah informasi yang mendoktrin pikirannya.Â
Ini membuat masyarakat tidak lagi terbuka dengan informasi dari sudut pandang lainnya, kalaupun ada informasi dari sudut pandang lain maka secara cepat akan dinilai sebagai informasi hoax meskipun dari sumber media massa kredibel. Sungguh ironis melihat kenyataan yang seperti ini, kenyataan bahwa masyarakat tidak berpijak pada kebenaran (truth) tapi berpijak pada nafsu, kepentingan, doktrin kepercayaan, dan fanatisme (post-truth).
Menyimak kenyataan seperti ini di dalam masyarakat Indonesia tentu tidak bisa dibiarkan, apalagi Presiden Jokowi dalam periode keduanya ini memiliki visi Indonesia maju pada tahun 2045 yang setelah dilantik pada bulan Oktober lalu presiden langsung mengencangkan ikat pinggang untuk mengeksekusi kebijakan pada penguatan Sumber Daya Manusia (SDM) unggul sebagai penggerak utama Indonesia Maju.Â
Keinginan untuk menjadi SDM Indonesia yang unggul tentu tidak akan realistis apabila manusianya nyaman dalam kubangan nafsu, kepentingan, doktrin kepercayaan, dan fanatisme (post-truth) yang bukan lagi menjadikan kebenaran (truth) sebagai landasan sikap menjadi SDM unggul Indonesia.Â
Maka visi kebijakan pada penguatan SDM ini perlu kerja keras yang lebih keras lagi mengingat tantangan era post-truth ini menjadi batu besar yang perlu dihancurkan. Kita perlu optimis dengan tim kementerian Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) yang dipilih oleh presiden, terutama yang perlu mendapat notice adalah mas menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim, memberikan energi positif pada pembangunan manusia.
Apabila pembangunan SDM unggul ini kita dasarkan pada konsep Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang dibentuk dalam 3 dimensi dasar yakni kesehatan, pendidikan, dan pendapatan. Maka untuk menggebuk penyakit post-truth ini perlu kita mengedepankan pendidikan sebagai solusi. Pendidikan bukan hanya yang formal juga non-formal, juga bagaimana usaha menjadikan manusia Indonesia lebih terbuka tapi tetap kritis, rasional, dan obyektif terhadap kebenaran.Â
Saya sepakat dengan pernyataan mas Menteri sebelum menjadi menteri pada saat menghadiri seminar Mendikbud tentang kebudayaan. Ia menyampaikan bahwa para siswa perlu untuk dilatih berpikir kritis dan skeptisisme perlu dikembangkan yang melihat segala permasalahan dari berbagai sisi sehingga kebenaran yang hakiki bisa ditemukan.
Memang begitulah seharusnya kita melihat suatu realitas, jangan hanya percaya dengan satu sisi yang kita lihat, jangan-jangan ada sisi lainnya yang belum kita ketahui. Kita mungkin seringkali mengetahui adagium lama tentang orang buta (tunanetra) dan gajah. Orang buta tentu tidak mengetahui bagaimana gajah itu sebenarnya.Â
Orang buta pertama meraba gajah pada bagian ekornya yang berbulu maka Ia menyimpulkan bahwa gajah seperti sapu, orang buta kedua meraba gajah pada bagian gadingnya maka Ia menyimpulkan gajah seperti pipa yang kokoh, orang buta ketika meraba pada bagian telinganya maka Ia menyimpulkan gajah seperti kipas yang besar.Â
Pandangan masing-masing mereka terhadap gajah adalah kesalahan, padahal kenyataan gajah yang sesungguhnya (das ding an sich) bisa kita temukan apabila melihat, meraba, mendengar, dan mengamati gajah dari berbagai sisi, itulah kebenaran yang sesungguhnya manusia kini pada era post-truth melihat suatu realitas hanya dari satu sisi lantas kemudian yakin itu sebagai satu-satunya kebenaran padahal Ia tidak melihat dari sisi yang lainnya.
Maka lihatlah semua realitas dan kenyataan apapun hal itu dari segala sisi, demikian tidaklah mudah harus dimulai dengan niat dan berpikir terbuka untuk menemukan kebenaran tanpa dikendalikan dengan hawa nafsu, kepentingan pribadi, dan doktrin kepercayaan.Â
Secara mudah misalkan dalam mengakses berita bacalah seluruh sumber-sumber berita yang kredibel, bandingkan satu informasi dengan informasi yang lain, karena penentu kesimpulan kebenaran dari suatu realitas adalah anda yang menganalisis berbagai data yang ada, jangan mengambil kesimpulan apabila data-data yang anda miliki kurang memadai yang seringkali terjebak dalam post-truth yang cenderung menjadi hoax, jadilah manusia Indonesia yang berkontrubusi dalam membentuk SDM yang unggul untuk Indonesia Maju.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H