Teknologi pendukung post-truth ini bisa kita jumpai pada smartphone yang kita pegang sehari-hari. Untuk lebih memudahkan perlu saya paparkan secara ringan.Â
Di dalam smartphone kita yang didukung dengan koneksi internet terdapat semacam kecerdasan buatan/artificial intelligence (AI) yang melakukan pemrograman algoritma, sehingga tampilan smartphone kita akan menampilkan hal-hal yang sering kita akses saja demi memberikan customize kepada pengguna smartphone, berdasarkan yang sering kita akses dan yang kita suka.Â
Karena AI mencoba melakukan hal secara efisien sesuai apa yang kita mau, bukan menampilkan hal yang sia-sia yang tidak sesuai keinginan pengguna yang ini kemudian dimanfaatkan untuk menampilkan iklan yang sesuai dengan apa yang sering kita akses. Sistem algoritma seperti ini yang biasa kita kenal dengan Filter Bubble.Â
Contoh gampangnya mungkin kita sering melihat-lihat barang di toko online tertentu yang ingin kita beli misal sepatu, maka ketika kita masuk pada browser iklan sepatu akan muncul, kita masuk di sosial media kita iklan-iklan sepatu muncul lagi, dsb. Dan hal-hal lainnya yang mungkin sering kita alami.
Filter Bubble ini juga berlaku pada berita-berita yang sering kita akses, termasuk berita politik, ekonomi, pemerintahan, semua berita yang dimunculkan kepada kita apalagi di media sosial adalah informasi-informasi yang memang adalah berita yang kita sudah percayai, sukai, nyaman dengan berita itu, dsb.Â
Sehingga kalau kita sering mengakses berita atau opini yang mendukung kelompok tertentu akan muncul terus berita itu-itu saja yang sifatnya mendukung, sebaliknya apabila yang diakses adalah sifatnya mengkritisi dan mencela kelompok tertentu ya muncul terus begitu. Ini yang kemudian membuat sistem algoritma Filter Bubble dalam smarthone atau gawai kita menyebabkan revolusi masyarakat Indonesia yang inklusif menjadi eksklusif.
Adanya Filter Bubble ini menjadikan masyarakat seolah melakukan doktrin terhadap dirinya sendiri. Ia memilih dan mengakses informasi yang menurut dia suka dan percaya, sehingga yang Ia dapatkan hanyalah informasi yang mendoktrin pikirannya.Â
Ini membuat masyarakat tidak lagi terbuka dengan informasi dari sudut pandang lainnya, kalaupun ada informasi dari sudut pandang lain maka secara cepat akan dinilai sebagai informasi hoax meskipun dari sumber media massa kredibel. Sungguh ironis melihat kenyataan yang seperti ini, kenyataan bahwa masyarakat tidak berpijak pada kebenaran (truth) tapi berpijak pada nafsu, kepentingan, doktrin kepercayaan, dan fanatisme (post-truth).
Menyimak kenyataan seperti ini di dalam masyarakat Indonesia tentu tidak bisa dibiarkan, apalagi Presiden Jokowi dalam periode keduanya ini memiliki visi Indonesia maju pada tahun 2045 yang setelah dilantik pada bulan Oktober lalu presiden langsung mengencangkan ikat pinggang untuk mengeksekusi kebijakan pada penguatan Sumber Daya Manusia (SDM) unggul sebagai penggerak utama Indonesia Maju.Â
Keinginan untuk menjadi SDM Indonesia yang unggul tentu tidak akan realistis apabila manusianya nyaman dalam kubangan nafsu, kepentingan, doktrin kepercayaan, dan fanatisme (post-truth) yang bukan lagi menjadikan kebenaran (truth) sebagai landasan sikap menjadi SDM unggul Indonesia.Â
Maka visi kebijakan pada penguatan SDM ini perlu kerja keras yang lebih keras lagi mengingat tantangan era post-truth ini menjadi batu besar yang perlu dihancurkan. Kita perlu optimis dengan tim kementerian Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) yang dipilih oleh presiden, terutama yang perlu mendapat notice adalah mas menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim, memberikan energi positif pada pembangunan manusia.