Oleh: Zaki Mubarak
HADIRNYA acara musik langsung sebuah televisi swasta nasional di Tasikmalaya mengundang kontroversi. Selain panggungnya yang berdekatan dengan mesjid agung Kabupaten Tasikmalaya, acara inipun dipastikan dibawakan oleh artis-artis nasional yang mengumbar aurat. Satu orang yang menjadi bullyan media sosial adalah orang nomor satu di kabupaten Tasikmalaya yakni bupati Uu Ruzhan.
Mayoritas postingan orang Tasik dalam media sosial mereka adalah bentuknya kritik. Saya pun tidak tahu, apakah tulisan ini merupakan analisis kritis, analisis deskriptif ataupun hanya curahan hati-subjektif. Yang jelas, walaupun saya tidak secara langsung menonton acara tersebut, saya akan menggunakan tiga analisis itu secara sekaligus.
Tasik, Benarkah Kota Santri?
Terminologi kota santri yang tersemat di Tasikmalaya bukan tanpa sebab. Lahirnya pesantren besar-kharismatik di empat sudut arah angin Tasik dengan ditambah puluhan pesantren medioker dan ratusan pesantren skala kecil adalah alasan Tasik dipanggil kota santri. Terminologi ini lebih mengacu kepada kuantitas santri yang begitu banyak dan menjadi destinasi pendidikan Islam bukan kepada kualitas semacam kota Cirebon sebagai Kota Wali.
Di Cirebon dikatakan kota wali, karena adanya satu wali mulia Syeh Sunan Gunung Jati. Dengan satu saja wali, Cirebon dalam sisi istilah level, lebih tinggi dari sekedar kota santri. Ini menunjukan kota santri kalah level (dalam terminologi) dibanding kota wali, walaupun sebenarnya Tasik memiliki wali agung bernama Syeh Abdul Muhyi Pamijahan. Para penziarah mengatakan wali ini adalah penyempurna dari wali songo setelah Ziarah ke Bangkalan Madura.
Saya melihat, santri kota santri adalah fakta sejarah yang telah berubah. Seorang budayawan Tasik senantiasa mengkritik istilah ini. Tasik bukan lagi menjadi kota santri, tetapi telah menjadi "Kota Cina". Ada dua sudut pandang, pertama istilah kota santri mengacu kepada fungsi, bahwa Tasik menjadi salah satu pusat destinasi pendidikan pesantren, yang kedua mengacu kepada struktural dimana demographi kota Tasik sudah dikuasai oleh Cina keturunan. Bukan saja penguasaan lahan, distribusi barang pun sudah dikuasai oleh mereka. Jadi pantas saja disebut kota Cina.
Istilah 'santri' bagi dunia Islam Indonesia adalah sakral. Ia mengacu kepada identitas pelajar Islam yang patuh (submission/taslim). Kepatuhan ini ditujukan kepada agama, otoritas agama (ulama), pengabdian masyarakat muslim dan norma Islam. Santri adalah istilah sakral bagi pelajar yang akan, sedang atau sudah tunduk atas Islam dalam dimensi pengetahuan, prilaku, dan keterampilan. Ketika disebut santri maka secara eksplisit sudah dapat diterka bahwa identitas ini adalah identitas Islam yang sangat militan dan mengagungkan nilai-nilai Islam.
Jadi, secara faktual apakah Tasik masih layak disebut kota santri? Atau sudah berubah dengan degradasi nilai kesantrian Tasik yang kian hari kian menurun? Menurun dalam istilah ini dapat diamati berdasarkan banyak aspek, seperti kehidupan tradisi pesantren yang menurun, meningkatnya kelas ekonomi menengah yang lebih memilih gaya hidup modern ketimbang sederhana ala pesantren, munculnya tipologi pesantren baru yang mengintegrasikan persekolahan dengan pesantren dengan istilah pesantren modern pesantren komprehensif. Untuk menjawabnya, agak sedikit susah. Perlu kajian mendalam sebelum menyimpulkannya.
Paling tidak, fenomena goyang syariah di Tasik yang terjadi dalam rangka menyambut Ulang Tahun NKRI ke 72 itu menjadi pertimbangan untuk memutuskan. Bukan memutuskan bahwa Tasik bukan lagi kota santri, tapi memutuskan apakah Tasik masih layak menjadi kota Santri. Semua daerah berhak mengidentifikasi dan mengklaim daerahnya dengan sebutan beragam. Sumedang dengan "Tandang"nya, Purwakarta dengan "Istimewa"nya, Garut denga 'Intan"nya, Ciamis dengan "Dinamis"nya, Bandung dengan "Bermartabat"nya dan Tasik dengan "Resik"nya. Jadi tidak salah Tasik masih disebut kota Santri, walaupun dalam tahap persepsi.
Goyang Syariah dalam Dangdut Islami?
Tidak dipungkiri bahwa jenis musik Dangdut adalah indigenous musik Indonesia. Entah itu modifikasi dari Melayu-India-Arab atau memang aseli milik Indonesia. Yang jelas kita sepakat bahwa "Dangdut is my country". Perkembangan dangdut pun dari masa ke masa jauh sangat dinamis. Diawali dengan dangdut gaya cengeng, gaya kritik sosial, gaya romantis, dan gaya asik (hedonis).
Gaya yang terakhir adalah gaya yang sedang ngetrend saat ini. Dangdut didestinasikan untuk gaya hidup vulgar dan meng "asyik" an. Maka tidak heran bila dangdut itu harus seksi, harus enerjik dan harus mengumbar sahwat. Joget-joget yang beragam adalah bagian tidak terpisahkan dari koreografi musik ini. Bahkan untuk memudahkan identitas serta kepopuleran, para penyanyi berinovasi dengan gaya joget khusus.
Nama joget atau goyang disesuaikan dengan gaya atau mencari nama yang out of the box (aneh). Goyang ngebornya Inul, goyang gergaji, goyang bebek, goyang itik, goyang duo macan, goyang dumang, goyang duyung dan seabreg goyang lainnya adalah contoh konkrit dalam dunia perdangdutan. Tidak disangkal, membuat nama goyang akan menjadi bagian terpenting dalam pencitraan, tidak jarang orang akan senang mengidentifikasi pedangdut dengan goyangannya. Sepertinya itu adalah fenomena sosial yang baru.
Lalu bagaimana dengan goyang syariah? Sepuluh tahun terakhir istilah syariah semakin populer. Sejak Habibie membangun Bank Muamalat dengan konsep Syariah, orang banyak menghubungkan syariah dengan terminologi lain. Ada ojek syariah, dimana jok pengemudi dihijab dengan kayu. Ada pacaran syariah, dimana percintaan yang sudah dikotori dengan liberalisme kehidupan dihindari. Ada penggoreng syariah, dimana materialnya diklaim 'halal". Yang paling populer adalah Bank. Hampir semua bank konvensional membuat anak perusahaan bank dengan menyebutkan syariah di belakangnya.
Syariah ini sejatinya ditujukan sebagai pengganti dari implementasi nilai-nilai Islam (terutama fikih, islamic jurisprudence) dalam konsep, praktik dan produk. Jika itu sudah disebut syariah, maka nilai Islam sangat dominan dan tidak bisa dihindari. Lalu mungkinkah goyang syariah dibentuk?
Goyang syariah sah saja dibikin. Kalau goyang itu bertujuan untuk olah raga, maka pakaian seksi bukan instrumen penting di dalamnya. Kalau goyang itu bertujuan untuk menyemangati dan mengikuti irama, maka pakaian mengundang birahi tidak terlalu penting. Nah, jadi goyang syariah itu boleh-boleh saja, asal harus sesuai dengan nilai-nilai Islam. Nah bagaimana dengan goyang syariah yang menggunakan instrumen umum?
Sepertinya ada konversi menarik dari pergoyangan.Umumnya, goyang itu harus (1) wanitanya cantik, kalau untuk laki-laki harus lucu dan enerjik. (2) baju wanita harus seksi, mengundang birahi dan cocok buat laki-laki nakal. Bila tidak, maka goyangnya tidak lagi menarik. (3) baju laki-laki harus rapih, keren dan kalau tidak, harus aneh dan berafiliasi kepada tema yang diusung. (4) suaranya harus nyaring dan kadang mendesah ala penguat nafsu. (5) panggungnya harus lengkap, mulai dari kamera yang mengambil berbagai angle dan dibuat fantastik agar terlihat mewah dan glamour.
Nah, kriteria umum itu sepertinya antitesa dari syariah. Jadi agak sulit untuk mengadopsi goyang dengan syariah, atau sebaliknya mengadopsi syariah dengan goyangnnya. Bila itu dilakukan sepertinya tujuan goyang sebagi instrumen untuk menarik orang agak tidak tercapai. Lihat saja goyang syariah di Arab Saudi, tidak menarik dan tidak banyak ditonton. Saking bosennya goyang syariah di Arab, orang Arab sendiri banyak menggunakan goyang seperti tari perut, streaptease, dan lainnya sebagai hiburan. Artinya, tidak bersyariah.
Halalkah Goyang "Syariah" di Kota Santri?
Pertanyaan ini menyudutkan para pengagum goyang dangdut. Seolah goyang itu haram dan berupaya mencari alasan untuk dihalalkan. Karena banyak instrumen syariah yang sulit dipraktikan dalam goyang dangdut, sepertinya sulit mencari penghalalan goyang dangdut untuk dihalalkan. Ya, paling tidak halal dengan prilaku yang berdosa. Bisa dosa syahwat, dosa glamour, dosa lupa kepada Tuhan, dan dosa lainnya.
Kehalalan sebuah goyang "syariah" dapat dibela dengan cara-cara yang liberalis. Kehalalannya dapat diarahkan dengan berbagai tujuan, baik itu tujuan popularitas, tujuan politis, tujuan menghibur atau tujuan yang tidak orang bisa menerkanya. Untuk kasus Tasik, saya melihat ada beberapa alasan bertujuan acara goyang "syariah" itu dilakukan.
Pertama, alasan politis. Sebagaimana kita tahu bahwa proses pemilihan gubernur Jawa Barat akan dan sedang berlangsung panas. Bupati Tasik, sejak dilantik menjadi bupati periode kedua hasil referendum telah mendeklarasikan menjadi calon gubernur Jabar. Melalui acara televisi nasional ini, diharapkan Tasik bisa terkenal dan pada akhirnya pimpinannya juga terkerek naik. Hal ini bukanlah fitnah, karena memang dalam acara itu, sang Bupati sangat support dan melindungi acara ini dari berbagai serangan.
Kedua alasan sosiologis-politis. Sebagaimana karakter orang Sunda, memberikan hiburan kepada masyarakat akan dipilih untuk menjadi "pemimpin". Menghibur dengan mendatangkan acara musik nasional akan membuat "bangga" orang Tasik dan pada akhirnya akan menjatuhkan pilihan politiknya. Acara inipun akan menyampaikan sinyal kepada orang Jabar bahwa Tasikmalaya "Siap" untuk memperebutkan Jabar satu.
Ketiga alasan geografis-politis. Tasikmalaya sebagai daerah timur-selatan tidak memiliki bergaining politik yang baik. Sejauh ini, gubernur Jabar lahir dari wilayah Barat Jabar. Sekarang pun lawan yang paling kuat adalah derah Bogor, Bekasi, Depok yang semuanya sudah di kuasai oleh Ahmad Syaehu pendamping Dedi Mizwar. Dengan goyang syariah yang ditunjukan secara nasional memunculkan persepsi bahwa orang Tasik pun bisa berkiprah secara nasional dan berkonstribusi "positif. Pendirian panggung yang bersampingan dekat dengan masjid agung adalah sinyal bahwa di Tasikmalaya ada integrasi syariah (mesjid) dan non-syariah (joget dangdut) yang pas. Angle geografis masjid-panggung adalah bertujuan politis.
Keempat alasan menghibur dan menaikan citra Tasik. Alasan ini yang mungkin tidak dikaitkan dengan politis. Alasan ini lebih kepada pemilihan stasiun TV kepada Tasik sebagai bagian dari NKRI yang harus dikunjungi. Tidak ada embel-embel politis di dalamnya. Dampak dari dilangsungkan acara ini, Tasik akan dicitrakan sebagai daerah yang "pantas" untuk dikenal secara nasional dan memiliki posisi strategis dalam lingkup nasional. Walaupun itu tidak menjamin.
Jadi, alasan politis sangat mendominasi goyang "syariah" di Tasikmalaya. Bila ditanyakan kehalalannya, apa sih yang tidak halal dalam politik? Dalam dimensi politik, segala cara bisa dihalalkan, baik itu tidak ada manfaatnya, apalagi hal yang ada manfaatnya. Silahkan Anda simpulkan sendiri.{}
Bumisyafikri, 23/08/17
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H