Mohon tunggu...
Zaki Mubarak
Zaki Mubarak Mohon Tunggu... Dosen -

Saya adalah Pemerhati Pendidikan tinggal di Tasikmalaya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Obama dan Pendidikan Kita

3 Juli 2017   11:14 Diperbarui: 3 Juli 2017   12:04 449
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: www.tribunjabar.com

ENTAH kenapa orang Indonesia selalu bangga dengan orang lain. Mungkin alam bawah sadar bangsa ini belum move on dengan kolonialismenya. Mulai dari hiruk pikuk penyambutan Raja Salman yang fantastis sampai pemberitaan yang heboh atas datangnya Obama ke negeri kita. Seolah, kita adalah bangsa yang maju yang dengannya kita dikunjungi para pesohor negeri seberang. Entahlah, obat apa pula yang bisa menyembuhkan alam bawah sadar kita ini.

Satu hal yang selalu saya bandingkan, negara maju macam Inggris -misalnya- tak terlalu heboh atas kedatangan orang-orang penting itu. Mereka menganggap mereka adalah orang biasa yang kebetulan saja beruntung hidupnya. Mereka tidak terusik hidupnya hanya karena kedatangan para pesohor. Mereka adem ayem. Cuek bebek. Mereka fokus kepada diri mereka. Mereka hanya ingin memajukan dirinya, bukan larut dengan hingar bingar yang tidak penting.

Bagi saya, itulah hidup yang ideal. Dengan tidak terlalu memikirkan orang lain yang belum tentu memajukan, hidup akan lebih maju apabila fokus pada diri sendiri dan berupaya untuk menghebatkan kemampuan diri sendiri. Bila saja semua itu dilakukan, tentu saja secara kolektif, kita akan maju bersama. Bukan maju-majuan ala penyambutan hipokrit para pesohor yang tidak penting itu.

Analisis saya, ada beberapa hal yang perlu dirubah dari mindset kita tentang kebiasaan yang tergambar di atas. Paling tidak saya membagi nya menjadi empat hal. Hal ini adalah virus yang masih mengakar dan bahkan bisa jadi menjadi budaya “buruk” kita sebagai sebuah bangsa. Dengannya kita sulit untuk maju. Karena, secara logis kemajuan itu bangsa berawal dari perubahan mindset (paradigm shift) warganya.

Nostalgia Kebablasan

Salah satu kelemahan kita sebagai sebuah bangsa adalah nostalgia yang berlebihan. Nostalgia bisa berarti mengingat kembali masal lalu yang indah. Saya setuju dengan ungkapan Soekarno tentang Jasmerah (Jangan sekali-kali melupakan sejarah), namun harus diletakan dalam proporsi yang ideal. Tidak usah kita menghabiskan pikiran kita ke belakang. Ingat, kaca spion mobil itu sangat kecil dan hanya dilirik bila perlu saja, nih kaca yang depan itu besar dan harus dipandang tanpa henti agar tidak menabrak yang mencelakakan.

Nostalgia akan masa-masa indah itu penting sebagai motivasi, bukan destinasi. Masa lalu adalah sejarah yang perlu kita jadikan referensi dan bahkan dua hari ke depan, besok pun akan menjadi kemarin. Artinya kemarin itu penting, namun energi kita tidak usah dihabiskan untuk memikirkannya. Banyak hal yang sangat membanggakan bagi kita atas prestasi dulu, namun apalah arti semua itu kalau besoknya kita tidak lebih baik dari hari ini.

Nah, saya melihat bangsa kita itu sangat terobsesi dengan masa lalu. Bagaimana media meramaikan istilah Gajah Mada berapiliasi Hindu menjadi Gaj Ahmada dengan nama muslim yang kental. Bagaimana kita sangat menghormati Raja Salman yang datang dengan menunjukan kekayaan yang luar biasa itu. Walau banyak kasus TKW kita yang disiksa di negaranya, kita menganggap beliau adalah Raja “Islam”. bagaimana kita sangat terpesona karena Obama anak menteng itu yang menjadi presiden negara Adidaya. Kita langsung bernostalgia. Lho buat kita apa untungnya?

Feodalisme berkepanjangan

Feodalisme yang mengakar bagi bangsa kita sulit untuk dicerabut dari akarnya. Sejak masa kerajaan yang panjang, kemudian politik dinasti yang diterima telah menancapkan alam bawah sadar kita untuk tidak memerdekakan bangsa ini dalam kemerdekaan yang hakiki. Feodalisme ala monarki, ala psedo demokrasi, atau ala dinasti modern sangat mudah ditancapkan dan diterima sebagai hal yang perenial di negeri kita. Tentu saja ini berakibat menjadi sebuah budaya yang sangat penjang dan menular. Untuk memutuskannya pun tidak mudah.

Dalam sisi negatif, feodalisme ini sangat membodohkan. Hubungan patron-klien ala bangsa timur yang sangat patuh dan takdim, sangat berbeda dengan Barat yang bebas dan kadang kebablasan. Dalam sisi negatif itu, feodalisme Indonesia kadang menjadi faktor lemahnya move on bangsa Indonesia untuk mempercepat kemajuannya. Tradisi feodalisme ini ada baiknya, tapi dalam beberapa faktor harus ada perbaikan sistem yang negatif.

Sulitnya Post-Kolonialisme

Post-kolonialisme sejatinya adalah paham untuk membantu para mantan negeri jajahan untuk move on dari kolonialisme dan dampak-dampaknya. Isme ini hadir untuk mengcounter attack para warga terjajah agar melupakan semua yang negatif tentang budaya, warisan, kebiasaan, karkter, dan semua yang menempel pada penjajah.

Dulu, kita penjajah kita Belanda. Mereka dari Eropa, berkulit putih, berambut pirang, berbahasa asing, tinggi besar, mancung, dan berpakaian yang kaku. Saya bisa memprediksi bahwa bangsa kita masih sangat menghormati kepada “bule”. Mereka akan mempersepsikan bahwa bule adalah orang kelas satu, harus berpakain kaku, berdasi bersepatu dan pasti pekerjaannya dan gajinya bagus. Bila saja bule ini bekerja di pasar, jadi kuli pikul, maka itu dipandang mustahil.

Bila saja orang Indonesia mewakilinya negaranya di Eropa atau di luar Indonesia, sekalipun itu di Asia, bisa dipastikan akan merasa rendah dan tidak memiliki percaya diri. Untuk berbahasa Indonesia saja di hadapan para bule di negeri sendiri, kita lebih memilih bahasa Inggris daripada bahasa kita. Bila kita ke Singapura dan Malaysia saja, warga di sana sedikit nyinyir tentang kita. Itulah kita, bangsa yang belum tuntas post kolonialismenya.

Gengsi adalah Gen Kita

Satu faktor internal yang menyulitkan kita adalah gengsi. Parahnya gengsi itu bukan gengsi kita sebagai bangsa Indonesia, tetapi gengsi untuk menjadi WNI dengan keunggulan negri lain. Bagaimana apartemen Singapur yang khusus dijual untuk orang kaya Indonesia. bagaimana pasar Arab saudi begitu pasih berbahasa Indonesia karena sudah tahu konsumen terbonafidnya orang Indonesia. Bagaimana para elit politikus dan selebritis kita melancong ke luar negeri untuk sekedar menghabiskan uang. Bagaimana pula merk mobil di Indonesia tak satupun yang nasional.

Gambaran itu adalah gambaran gengsi kita. Betapapun miskinnya kita, kita memiliki gengsi tinggi. Gengsi ini bukan untuk meninggikan kita, justru untuk menjatuhkan diri kita dengan cara meninggikan orang lain. Produk orang lain yang dianggap lebih “tinggi” kualitasnya dapat menjatuhkan harga diri produk kita. Namun, kita mengamininya. gengsi kita terlalu besar untuk ketidak majuan kita, sehingga rasa gengsi ini dimanfaatkan oleh negeri lain untuk memajukan negerinya. Kita selalu jadi penonton.

Dimana Pendidikan Kita?

Bagi saya dan kemungkinan besar Anda setuju, obat untuk mengobati virus ini adalah pendidikan. Dengannya, bisa dipastikan nostalgia, dampak kolonialisme dan gengsi akan teratasi dengan baik. Namun, syaratnya pendidikan kita harus paham itu semua. Bagaimana kita bisa merubah bangsa ini bila saja gurunya masih lebih kagum kepada negara lain daripada dirinya sendiri. Bagaimana kita bisa bangga bila saja guru masih menunjukan ketidak percayaan dirinya atas bangsa lain.

Jadi, syarat utama untuk memperbaiki itu semua harus bermula dari ruang-ruang kelas dengan guru-guru yang hebat. Ada beberapa hal yang perlu guru lakukan dalam membina siswa agar menjadi generasi penerus bangsa yang hebat.

Pertama, guru yang berpengetahuan.Guru berpengetahuan bukan berarti guru yang hanya tahu tentang pengetahuan yang akan diajarkannya, tapi guru yang tahu tentang ide bangsa yang maju. Guru yang tahu arah bangsa untuk segera meninggalkan warisan negatif dari pendahulunya. Guru yang tidak terjebak pada ritual mengajar ala pengajaran yang tidak memajukan. Mereka harus tahu apa sebenarnya yang harus dilakukan di ruang kelas untuk memajukan bangsa.

Kedua, guru dengan kesadaran abad 21. Guru yang sadar dengan habitat 21 akan mampu membina siswa menjadi warga yang siap. Siap untuk hidup, siap untuk berkolaborasi, siap untuk berkreasi dan inovasi, dan siap untuk memajukan negerinya. Hal ini tidak bisa dilakukan secara parsial, tapi semua guru harus sadar akan kemampuan ini. Sekolah harus didesain ulang untuk menjadi laboratorium kesiapan siswa, bukan penjara yang menjemukan.

Ketiga, guru harus menjadi role model. Guru yang memajukan adalah guru yang bukan memerintahkan membuat sesuatu, tapi yang bisa membuat sesuatu untuk ditiru. Bila saja guru itu harus inovatif, maka guru harus memulai inovasinya di ruang kelas dan ditunjukan kepada siswa bahwa ia adalah jaminan untuk ditiru. Guru inilah yang harus menjadi model bagi siswanya dan bagi guru yang lain. Pengethuan yang sifatnya abstrak, harus mampu dikonkritkan kepada sebuh produk, apakah itu teknologi, seni, budaya atau karya-karya tulisan. {} 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun