Sulitnya Post-Kolonialisme
Post-kolonialisme sejatinya adalah paham untuk membantu para mantan negeri jajahan untuk move on dari kolonialisme dan dampak-dampaknya. Isme ini hadir untuk mengcounter attack para warga terjajah agar melupakan semua yang negatif tentang budaya, warisan, kebiasaan, karkter, dan semua yang menempel pada penjajah.
Dulu, kita penjajah kita Belanda. Mereka dari Eropa, berkulit putih, berambut pirang, berbahasa asing, tinggi besar, mancung, dan berpakaian yang kaku. Saya bisa memprediksi bahwa bangsa kita masih sangat menghormati kepada “bule”. Mereka akan mempersepsikan bahwa bule adalah orang kelas satu, harus berpakain kaku, berdasi bersepatu dan pasti pekerjaannya dan gajinya bagus. Bila saja bule ini bekerja di pasar, jadi kuli pikul, maka itu dipandang mustahil.
Bila saja orang Indonesia mewakilinya negaranya di Eropa atau di luar Indonesia, sekalipun itu di Asia, bisa dipastikan akan merasa rendah dan tidak memiliki percaya diri. Untuk berbahasa Indonesia saja di hadapan para bule di negeri sendiri, kita lebih memilih bahasa Inggris daripada bahasa kita. Bila kita ke Singapura dan Malaysia saja, warga di sana sedikit nyinyir tentang kita. Itulah kita, bangsa yang belum tuntas post kolonialismenya.
Gengsi adalah Gen Kita
Satu faktor internal yang menyulitkan kita adalah gengsi. Parahnya gengsi itu bukan gengsi kita sebagai bangsa Indonesia, tetapi gengsi untuk menjadi WNI dengan keunggulan negri lain. Bagaimana apartemen Singapur yang khusus dijual untuk orang kaya Indonesia. bagaimana pasar Arab saudi begitu pasih berbahasa Indonesia karena sudah tahu konsumen terbonafidnya orang Indonesia. Bagaimana para elit politikus dan selebritis kita melancong ke luar negeri untuk sekedar menghabiskan uang. Bagaimana pula merk mobil di Indonesia tak satupun yang nasional.
Gambaran itu adalah gambaran gengsi kita. Betapapun miskinnya kita, kita memiliki gengsi tinggi. Gengsi ini bukan untuk meninggikan kita, justru untuk menjatuhkan diri kita dengan cara meninggikan orang lain. Produk orang lain yang dianggap lebih “tinggi” kualitasnya dapat menjatuhkan harga diri produk kita. Namun, kita mengamininya. gengsi kita terlalu besar untuk ketidak majuan kita, sehingga rasa gengsi ini dimanfaatkan oleh negeri lain untuk memajukan negerinya. Kita selalu jadi penonton.
Dimana Pendidikan Kita?
Bagi saya dan kemungkinan besar Anda setuju, obat untuk mengobati virus ini adalah pendidikan. Dengannya, bisa dipastikan nostalgia, dampak kolonialisme dan gengsi akan teratasi dengan baik. Namun, syaratnya pendidikan kita harus paham itu semua. Bagaimana kita bisa merubah bangsa ini bila saja gurunya masih lebih kagum kepada negara lain daripada dirinya sendiri. Bagaimana kita bisa bangga bila saja guru masih menunjukan ketidak percayaan dirinya atas bangsa lain.
Jadi, syarat utama untuk memperbaiki itu semua harus bermula dari ruang-ruang kelas dengan guru-guru yang hebat. Ada beberapa hal yang perlu guru lakukan dalam membina siswa agar menjadi generasi penerus bangsa yang hebat.
Pertama, guru yang berpengetahuan.Guru berpengetahuan bukan berarti guru yang hanya tahu tentang pengetahuan yang akan diajarkannya, tapi guru yang tahu tentang ide bangsa yang maju. Guru yang tahu arah bangsa untuk segera meninggalkan warisan negatif dari pendahulunya. Guru yang tidak terjebak pada ritual mengajar ala pengajaran yang tidak memajukan. Mereka harus tahu apa sebenarnya yang harus dilakukan di ruang kelas untuk memajukan bangsa.