Wisuda TK, Gontor dan Mimpi
Oleh: Zaki Mubarak
Bagi keluarga kami, kemarin adalah hari yang istimewa. Anak kami yang cikal memakai baju wisuda biru yang tak kalah kerennya ketika ayahnya wisuda enam tahun yang lalu. Dalam dimensi pikiran orang tua, saat itu terbersit beberapa pikiran yang terus mengganggu. Mau jadi apa ia kelak? Mau dimana belajarnya ia kelak? Pendidikan seperti apa yang harus ia ikuti kelak?. Pikiran ini kadang melampaui rangkaian takdir yang sudah didesain sempurna di lauhil Mahfudz.
Sebenarnya, saya kecewa. Saat wisuda putra pertama saya itu, seperti biasa saya harus berangkat mengajar di program magister. Jadi saya minta istri untuk mem-video seluruh penampilan yang berhubungan dengan dia dan adiknya. Saya melihat keceriaan yang mendalam dalam tarian India yang menggelikan. Saya bangga melihat tampilan mereka tentang hafalan surat pendek yang setiap magrib kami latihkan. Kami juga sedih, karena betapa saya tidak tahu apakah bisa mendidik mereka dengan baik atau tidak. Paling tidak apakah ke”sukses”an orang tua kami mendidik hingga sekarang bisa menular kepada anak kami. Saya harus mencari inspirasi.
Ketika makan siang kemarin, saya mendapatkan inspirasi yang luar biasa. Setiap minggu saya botram (makan bersama) di sebuah rumah makan bersama seorang guru besar dan kolega lainnya. Guru besar yang pernah menjabat rektor di universitas Islam terbesar di Jawa Barat itu memiliki tampilan unik dan tidak wah. Mungkin bagi orang belum kenal, tidak akan menyangka bahwa ia seorang professor. Ia bercerita panjang lebar kesana kemari.
Sambil menunjukan Handphone Galaxy nya, ia bacakan WhatsApp (WA) anaknya yang sedang belajar di Maroko dan Francis. Dengan kalimat yang kurang dimengerti karena menggunakan bahasa Spanyol, saya paham bahwa intinya Anak beliau memberitahu bahwa ia telah berhasil membuat kamus bahasa Indonesia-Francis-Spanyol dengan dua pilihan menggunakan aplikasi android atau paper. Luar biasa. Dua tahun yang lalu, kami mengobrolkan anak ini sepulang dari pesantren Gontor Ponororogo dan saat itu pulalah awal planning untuk men-dunia-kan tempat belajar anak. Dan kini, dua tahun yang singkat itu, anak beliau sudah jadi hebat.
Hebat karena anaknya bermetamorfosis melebihi sang ayah. Ia mampu menjadi pendamping Menteri Agama ketika ke Timur tengah dan Francis, pendamping gurunya yang di Gontor untuk ditemua kafilah Eropa datang ke Indonesia, Ia menjadi motor penggerak untuk Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) di timur tengah dan sebagian Eropa. Ia hebat. Benar-benar hebat.
Cerita kedua adalah anak perempuan profesor ini. Hari ini adalah hari kedua anak beliau untuk tinggal dirumahnya. Dua hari yang lalu ia pulang dari pesantren Gontor (PG). Kehebatan anak ini adalah bisa melompat dari kelas pendidikan melalui akselerasi karena kecerdasannya. Kelulusannya telah menyamai kakak seniornya di PG sehingga ia memiliki tabungan usia tiga tahun untuk melanjutkan ke perguruan tinggi. Apa yang ia minta dari orang tuanya?. Ia minta untuk dikirim ke Makasar untuk menjadi Hafidz (penghapa Al Qur’an) sebelum berangkat kuliah ke luar negeri.
Dari rangkaian cerita itu, saya iri kepada guru saya yang satu ini. Sudah beliau menjadi guru besar di usia muda, eh sekarang memiliki anak yang melebihi bapaknya. Saya melihat ada banyak variabel dalam memahami keluarga hebat ini. Bila itu diteliti dengan pendekatan kuantitatif asosiatif dengan analisis jalur, maka ada tiga variabel; (1) variabel endogennya adalah upaya pendidikan orang tua beliau yang telah bersusah payah menyekolahkan anaknya. Saya sempat ngobrol bahwa orang tua beliau adalah orang tua yang kurang mampu, bahkan keluarga kakak dan adiknya pun bisa digolongkan kurang beruntung. (2) variabel moderatornya adalah pendidikan pesantren Gontor yang telah mengantarkan anaknya meraih apa yang dicita-citakan. PG inilah variabe yang menjadi antara kesuksesan orang tuanya dan anaknya. (3) variabel eksogennya adalah kesuksesan anaknya yang luar biasa di manapun berada. Walaupun banyak variabel yang bisa diteliti, tapi sepertinya variabel itu sedikit berpengaruh karena hanya menjadi variabel Epsilon.
Dengan begitu, saya jadi berpikir. Saat itu anak saya di wisuda PAUD yang saya tidak ikuti, dan di sisi lainnya saya bertemu dengan orang yang mengobrolkan masa depan anak. Nah, saya harus berpikir keras untuk paling tidak menyamai prestasi guru besar yang satu ini. Walaupun, bagi saya itu adalah mimpi. Tapi, inovasi besar yang lahir kedunia ini pasti berawal dari mimpi. Iya, kan? Iya sajalah. Jadi, saya melihat ada relasi wisuda TK (untuk mengganti PAUD dan pra-sekolah lainnya, karena lebih mudah dipahami), PG dan mimpi. Saya akan coba bahas secara sederhana.
Wisuda TK, apakah benar diwisuda?. Bagi kalangan perguruan tinggi, wisuda adalah proses terakhir dan pengakuan terselesainya acara perkuliahan. Dengan wisuda, maka mahasiswa menunjukan kemampuan melewati proses akademiknya yang berliku. Selembar ijazah bisa dijadikan bukti dan penjamin kehidupannya kelak. Wisuda adalah sakral dan menjadi gerbang mahasiswa untuk berkarya, mencipta dan berkehidupan mandiri. Di SD, SMP dan SMA, setiap lulus tidak diwisuda. Kenapa? Karena akumulasi pendidikan dari dasar, menengah dan perguruan tinggi itu diakui hanya pada saat wisuda. Pendeknya wisuda itu pengakuan semua rangkaian pendidikan selama hidupnya.
Lho, jadi wisuda TK untuk apa?. Dalam dimensi yang serius, wisuda ini sangat berlebihan. Hal ini serupa dengan lulusan SMP Qoryah Thoyyibah, sekolah alternatif hebat di Salatiga, yang memilki syarat kelulusan untuk menulis desertasi. Bila siswa sudah membuat sebuah produk dan tulisan desertasi, maka dia berhak lulus SMP. Kan aneh? Desertasi itu karya ilmiah yang tinggi untuk mendapatkan doktor (untuk Indonesia, karena di Australia disertasi untuk S2, Tesis untuk S3). Ada semacam desakralisasi istilah.
Bagi saya, selama itu membaikan, tidak masalah. Disertasi di SMP kalau itu membaikan, kenapa tidak. Wisuda bagi pra-sekolah (PS) bila itu memiliki hal yang luar biasa, kenapa tidak didukung. Jangan sampai ada pem”bid’ah”an istilah sehingga mengalahkan dampak hebat di belakangnya. Saya setuju dengan wisuda PS, tentu saja dengan segala dimensi yang menyertainya, walaupun sakralitasnya tidak sesakral wisuda di PT.
Ada beberapa kehebatan wisuda TK/PS. (1) secara edukatif, anak sudah diperkenalkan dengan adagium lifelong education. Wisuda itu tidak untuk menghentikan belajar. Ada level pendidikan yang tinggi setelahnya. Mereka akan paham, semakin pendidikannya lebih tinggi maka semakin sulit ujian yang dilalui. Ini sangat bagus, sehingga mereka sadar bahwa pendidikan itu tidak one shot training. Tapi berkelanjutan.
(2) secara psikologis, anak dan orang tuanya harus berbahagia untuk keberhasilan pendidikannya. Setiap pencapaian, apapun itu bentuknya, psikologi manusia memiliki kecenderungan untuk merayakannya. Wisuda PS adalah bagian penting dari psikologi siswa dan khususnya orang tua untuk merayakan sejenak perjuangan yang telah dicapai. Kalau Anda naik tangga yang tinggi, butuh sekali tangga berukuran lebar sebagai tempat istirahat. Nah, wisuda itu adalah tangga lebar itu untuk melepas lelah dan bersiap melanjutkan tangga lainnya yang lebih tinggi.
(3) secara sosiologis, wisuda PS memiliki dampak yang luar biasa hebatnya untuk mempromosikan PS. Saya adalah orang yang kurang beruntung yang tidak bisa mengenyam PS, sehingga generasi saya bisa dipastikan sedikit sekali yang masuk dan diwisuda di PS. Dengan wisuda yang didesain sedemikian rupa, sepuluh tahun terakhir hampir semua wilayah dapat dipastikan memiliki lambaga PS. Dan apa yang bisa Anda lihat di ruang tamu tetangga Anda? Saya pastikan tuan rumah memasang foto wisuda anaknya di PS. Tidak semua, tapi lumayan banyak, kan?.
Bila kita sepakat bahwa pendidikan itu lifelong education (pendidikan sepanjang hayat), maka apa yang mesti dilakukan setelah wisuda PS?. Memasukan kepada lembaga pendidikan (LP) terbaik adalah keinginan setiap orang tua. Definisi terbaik bisa dijelaskan oleh setiap persepsi orang tua. Ada yang merasa bahwa sekolah Islam Terpadu (IT) adalah jalan yang paling rasional, ada yang berpikir bahwa global school (Internasional) itu adalah cara paling ampuh, ada juga yang mengatakan bahwa sekolah SD harus lebih memasyarakat dan harus dilakukan di SD yang biasa biasa saja. Itu terserah kepada orang tua. Mereka pasti punya planning tersendiri untuk pendidikan anaknya.
Karena saya telah terinspirasi oleh guru saya yang profesor itu, saya akan berupaya untuk mempersiapkan anak ke pesantren, ya kalau tidak ke PG ke pesantren yang lebih kurang memiliki model yang sama. Namun ada beberapa tantangan yang harus saya siapkan. (1) kesiapan mental anak. Bagi saya yang jebolan pesantren tradisional dan keluarga pesantren, memasuki pesantren adalah seperti memasuki rumah sendiri. Namun, bagi anak saya yang dibesarkan di komunitas perkotaan menjadi sebuah tantangan tersendiri. Anak tidak bisa begitu saja lepas dari tradisi perkotaan yang sedikit memiliki perbedaan dalam dunia pesantren. TV sudah jadi makanan tiap hari, download dan dimensi lain dari HP telah menjadi aktivitas sehari-hari, berkendara motor-mobil telah menjadi rutinitas sepanjang hari. Jadi apakah mereka mampu masuk ke dunia pesantren yang serba didesain dengan kontrasnya hidup diperkotaan?.
(2) kesiapan mental orang tua. Jauhnya orang tua dari anak kadang tidak mudah dibayangkan oleh orang tua. Rasa sayang berlebih akan membuat mereka tidak tega meninggalkan anaknya. Tidak jarang alasan tidak masuk pesantren karena mental orang tuanya yang lemah. Mereka tidak rela anaknya tidur tanpa kasur, makan yang seadanya, mandi bersama satu kamar mandi, dan uang jajan yang kurang. Nah, kalau begitu, siapa yang tidak siap masuk pesantren, anaknya atau orang tuanya?.
(3) harus percaya 100% terhadapa pesantren. Di pesantren, 24 jam diawasi, diasuh dan dilindungi oleh semua komponen di pesantren. Ada pihak yang memiliki peran langsung kepada anak kita ketika di pesantren; kyai dengan ketokohannya, asatid (guru-guru) dengan metode pembelajaran dan keluasan ilmunya, teman sebaya dengan segala solidaritasnya, para pembatu pesantren dengan sajian makannya, para masayarakat sekitar dengan segala perlindungannya. Nah pihak inilah yang menjadi bagian hidup baru bagi anak kita. Nah, apakah kita percaya 100% kepada mereka? Kalau tidak, ini akan menjadi sebuah masalah. Masih banyak tantangan, tapi saya cukupkan saja.
Bila saya kelak memilih PG atau yang sejenis, maka saya harus analisis perbedaan yang mencolok antara PG dan Pesantren Salaf Tradisional (PST). Perbedaannya bisa dalam konteks kelembagaan, pembelajaran dan dampak. (1) dalam kelembagaan, PG memiliki manajemen yang lebih modern (maka disebut pesantren modern). Modern ini diartikan sebagai sistem yang mengadopsi klasikal (sistem kelas), written curriculum (kurikulum yang terdokumentasikan), kualifikasi pengajar yang berstandar. Hal ini kebalikan dari PST. Dalam beberapa analisis PST dengan caranya memiliki nilai yang lebih dari PG. Untuk membahasnya perlu tulisan tersendiri.
(2) pembelajaran berbahasa bukan tentang bahasa. PG mengajarkan untuk berbahasa, bukan tentang bahasa seperti kebanyakan dipraktikan oleh PST. PG memilki bi’ah (lingkungan) bahasa yang lebih baik dari PST. Hal inilah yang mencirikan PG berbeda dengan PST dan banyak ditiru oleh pesantren yang mengatas namakan Pesantren Modern (PM). Karena proses ini sangat sulit, maka PM membuat sebuah regulasi untuk menciptakan lingkungan bahasa yang sangat baik untuk santrinya. Inilah yang membuat mereka unggul dari PST. Dalam beberapa dimensi, lulusan PST lebih handal kajian agamanya dibanding PM yang hebat dalam berbahasa.
(3) dampak kehebatan berbahasa menjadikan PG dan PM meletakan fondasi bahasa (Arab-Inggris) sebagai gerbang untuk melanjutkan ke perguruan tinggi dunia. Memang PG tidak mempromosikan sebagai pesantren kelas internasional seperti yang dulu di gaungkan pemerintah melalui Sekolah bersekala internasional (RSBI) atau World Class University, tapi output PG sudah terbukti internasional. Pendeknya PG berstatus internasional walaupun tanpa promosi dan nama. Inilah dampak dari PG sebagai sebuah institusi. Ada banyak PST yang melakukan hal yang sama, tetapi sepertinya PG masih dominan.
Jadi, tulisan ini adalah mimpi seorang ayah, dimana wisuda anaknya harus menjadi basis untuk belajar sepanjang hayat. Dalam prosesnya, anak ini harus didesain dengan pendidikan terbaik dan bukan hanya pendidikan yang biasa-biasa saja, namun harus yang luar biasa. Kalau bisa, jelajahilah dunia ini agar anak kita mengerti arti luasnya dunia dan dangkalnya pemikirannya. Inilah mimpi seorang ayah atas anaknya yang rumahan di perkotaan.
***
Nak, semoga suatu saat kau baca tulisan ini.
Nak, semoga tulisan ini kau pegang erat untuk kau jadikan cambuk.
Nak, kau adalah pewaris kami. Dalam dirimulah cita dan rasa kami tanamkan.
Nak, kau bukanlah dari kami, tapi kaulah yang kami cintai setelah yang Memilikimu
Nak, air mata ini hanya untuk kalian.
Nak, uang hasil kerja keras ini untuk kalian.
Nak, titip do’a, bila kelak kami tiada.
Di batu nisan kami menunggu kehadiranmu dengan berbagai kesuksean dan tentu saja kesolehanmu.
Berimanlah dengan teguh. Berislamlah dengan kaffah. Berihsanlah dengan ikhlas.
Semoga kau Nak.
Bumisyafikri, 21/05/17
[caption caption="zakimu2017"][/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H