Mohon tunggu...
Zaki Mubarak
Zaki Mubarak Mohon Tunggu... Dosen -

Saya adalah Pemerhati Pendidikan tinggal di Tasikmalaya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Wisuda TK, Gontor dan Mimpi

21 Mei 2017   06:44 Diperbarui: 14 Agustus 2017   01:19 1262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagi saya, selama itu membaikan, tidak masalah. Disertasi di SMP kalau itu membaikan, kenapa tidak. Wisuda bagi pra-sekolah (PS) bila itu memiliki hal yang luar biasa, kenapa tidak didukung. Jangan sampai ada pem”bid’ah”an istilah sehingga mengalahkan dampak hebat di belakangnya. Saya setuju dengan wisuda PS, tentu saja dengan segala dimensi yang menyertainya, walaupun sakralitasnya tidak sesakral wisuda di PT.

Ada beberapa kehebatan wisuda TK/PS. (1) secara edukatif, anak sudah diperkenalkan dengan adagium lifelong education. Wisuda itu tidak untuk menghentikan belajar. Ada level pendidikan yang tinggi setelahnya. Mereka akan paham, semakin pendidikannya lebih tinggi maka semakin sulit ujian yang dilalui. Ini sangat bagus, sehingga mereka sadar bahwa pendidikan itu tidak one shot training. Tapi berkelanjutan.

(2) secara psikologis, anak dan orang tuanya harus berbahagia untuk keberhasilan pendidikannya. Setiap pencapaian, apapun itu bentuknya, psikologi manusia memiliki kecenderungan untuk merayakannya. Wisuda PS adalah bagian penting dari psikologi siswa dan khususnya orang tua untuk merayakan sejenak perjuangan yang telah dicapai. Kalau Anda naik tangga yang tinggi, butuh sekali tangga berukuran lebar sebagai tempat istirahat. Nah, wisuda itu adalah tangga lebar itu untuk melepas lelah dan bersiap melanjutkan tangga lainnya yang lebih tinggi.

(3) secara sosiologis, wisuda PS memiliki dampak yang luar biasa hebatnya untuk mempromosikan PS. Saya adalah orang yang kurang beruntung yang tidak bisa mengenyam PS, sehingga generasi saya bisa dipastikan sedikit sekali yang masuk dan diwisuda di PS. Dengan wisuda yang didesain sedemikian rupa, sepuluh tahun terakhir hampir semua wilayah dapat dipastikan memiliki lambaga PS. Dan apa yang bisa Anda lihat di ruang tamu tetangga Anda? Saya pastikan tuan rumah memasang foto wisuda anaknya di PS. Tidak semua, tapi lumayan banyak, kan?.

Bila kita sepakat bahwa pendidikan itu lifelong education (pendidikan sepanjang hayat), maka apa yang mesti dilakukan setelah wisuda PS?. Memasukan kepada lembaga pendidikan (LP) terbaik adalah keinginan setiap orang tua. Definisi terbaik bisa dijelaskan oleh setiap persepsi orang tua. Ada yang merasa bahwa sekolah Islam Terpadu (IT) adalah jalan yang paling rasional, ada yang berpikir bahwa global school (Internasional) itu adalah cara paling ampuh, ada juga yang mengatakan bahwa sekolah SD harus lebih memasyarakat dan harus dilakukan di SD yang biasa biasa saja. Itu terserah kepada orang tua. Mereka pasti punya planning tersendiri untuk pendidikan anaknya.

Karena saya telah terinspirasi oleh guru saya yang profesor itu, saya akan berupaya untuk mempersiapkan anak ke pesantren, ya kalau tidak ke PG ke pesantren yang lebih kurang memiliki model yang sama. Namun ada beberapa tantangan yang harus saya siapkan. (1) kesiapan mental anak. Bagi saya yang jebolan pesantren tradisional dan keluarga pesantren, memasuki pesantren adalah seperti memasuki rumah sendiri. Namun, bagi anak saya yang dibesarkan di komunitas perkotaan menjadi sebuah tantangan tersendiri. Anak tidak bisa begitu saja lepas dari tradisi perkotaan yang sedikit memiliki perbedaan dalam dunia pesantren. TV sudah jadi makanan tiap hari, download dan dimensi lain dari HP telah menjadi aktivitas sehari-hari, berkendara motor-mobil telah menjadi rutinitas sepanjang hari. Jadi apakah mereka mampu masuk ke dunia pesantren yang serba didesain dengan kontrasnya hidup diperkotaan?.

(2) kesiapan mental orang tua. Jauhnya orang tua dari anak kadang tidak mudah dibayangkan oleh orang tua. Rasa sayang berlebih akan membuat mereka tidak tega meninggalkan anaknya. Tidak jarang alasan tidak masuk pesantren karena mental orang tuanya yang lemah. Mereka tidak rela anaknya tidur tanpa kasur, makan yang seadanya, mandi bersama satu kamar mandi, dan uang jajan yang kurang. Nah, kalau begitu, siapa yang tidak siap masuk pesantren, anaknya atau orang tuanya?.

(3) harus percaya 100% terhadapa pesantren. Di pesantren, 24 jam diawasi, diasuh dan dilindungi oleh semua komponen di pesantren. Ada pihak yang memiliki peran langsung kepada anak kita ketika di pesantren; kyai dengan ketokohannya, asatid (guru-guru) dengan metode pembelajaran dan keluasan ilmunya, teman sebaya dengan segala solidaritasnya, para pembatu pesantren dengan sajian makannya, para masayarakat sekitar dengan segala perlindungannya. Nah pihak inilah yang menjadi bagian hidup baru bagi anak kita. Nah, apakah kita percaya 100% kepada mereka? Kalau tidak, ini akan menjadi sebuah masalah. Masih banyak tantangan, tapi saya cukupkan saja.

Bila saya kelak memilih PG atau yang sejenis, maka saya harus analisis perbedaan yang mencolok antara PG dan Pesantren Salaf Tradisional (PST). Perbedaannya bisa dalam konteks kelembagaan, pembelajaran dan dampak. (1) dalam kelembagaan, PG memiliki manajemen yang lebih modern (maka disebut pesantren modern). Modern ini diartikan sebagai sistem yang mengadopsi klasikal (sistem kelas), written curriculum (kurikulum yang terdokumentasikan), kualifikasi pengajar yang berstandar. Hal ini kebalikan dari PST. Dalam beberapa analisis PST dengan caranya memiliki nilai yang lebih dari PG. Untuk membahasnya perlu tulisan tersendiri.

(2) pembelajaran berbahasa bukan tentang bahasa. PG mengajarkan untuk berbahasa, bukan tentang bahasa seperti kebanyakan dipraktikan oleh PST. PG memilki bi’ah (lingkungan) bahasa yang lebih baik dari PST. Hal inilah yang mencirikan PG berbeda dengan PST dan banyak ditiru oleh pesantren yang mengatas namakan Pesantren Modern (PM). Karena proses ini sangat sulit, maka PM membuat sebuah regulasi untuk menciptakan lingkungan bahasa yang sangat baik untuk santrinya. Inilah yang membuat mereka unggul dari PST. Dalam beberapa dimensi, lulusan PST lebih handal kajian agamanya dibanding PM yang hebat dalam berbahasa.

(3) dampak kehebatan berbahasa menjadikan PG dan PM meletakan fondasi bahasa (Arab-Inggris) sebagai gerbang untuk melanjutkan ke perguruan tinggi dunia. Memang PG tidak mempromosikan sebagai pesantren kelas internasional seperti yang dulu di gaungkan pemerintah melalui Sekolah bersekala internasional (RSBI) atau World Class University, tapi output PG sudah terbukti internasional. Pendeknya PG berstatus internasional walaupun tanpa promosi dan nama. Inilah dampak dari PG sebagai sebuah institusi. Ada banyak PST yang melakukan hal yang sama, tetapi sepertinya PG masih dominan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun