Mohon tunggu...
Zaki Fahminanda
Zaki Fahminanda Mohon Tunggu... Lainnya - Honesty is a very expensive gift. Do not expect it from cheap people

Kombinasi Semangat dan Etika

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Batas Daerah di Provinsi Sumatera Barat, Progres, Permasalahan, Resiko dan Mitigasi

8 Mei 2021   15:49 Diperbarui: 8 Mei 2021   21:10 1474
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dari aspek kewilayahan, Provinsi Sumatera Barat mempunyai luas daerah 42.297,30 Km2 (2,17% dari luas wilayah RI), sedikit lebih kecil dari Provinsi Jawa Timur yang luasnya 47.799.75 km. Sebagai daerah yang berada di pesisir pantai, Sumatera Barat mempunyai panjang garis pantai 375 Km, ditambah panjang garis pantai pada pulau Kabupaten Kepulauan Mentawai 1.003 km, sehingga total garis pantai keseluruhan 1.378 km. Perairan laut Sumatera Barat mempunyai 186 buah pulau-pulau kecil dan sebanyak 99 pulau diantaranya  berada di Kabupaten Kepulauan Mentawai.

Kemudian dari aspek geografis, Provinsi Sumatera Barat merupakan salah satu wilayah di Indonesia yang memiliki tatanan geologi kompleks. Kondisi ini disebabkan letaknya yang berbeda pada daerah tumbukan dua lempeng tektonik besar yaitu lempeng Indo-Australia di bagian selatan dan lempeng Euroasia di bagian utara yang ditandai dengan adanya pusat-pusat gerakan tektonik di Kepulauan Mentawai dan sekitarnya. Salah satu dampaknya adalah pada tahun 2007, 2009, dan 2010 terjadi gempa dengan kekuatan yang sangat besar yang mengakibatkan banyaknya korban jiwa, harta dan benda.

foto : raunsumatera
foto : raunsumatera
Aspek demografis, terutama pada jumlah penduduk Provinsi Sumatera Barat, secara kuantitatif menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. Hal tersebut dapat dicermati pada data BPS Sumatera Barat Tahun 2019 yang menyampaikan data jumlah penduduk Sumatera Barat sebanyak 5.534.472 jiwa, sangat jauh jika dibandingkan dengan penduduk salah satu provinsi di Indonesia, misalnya Provinsi Jawa Barat. Menurut Data BPS Jawa Barat Tahun 2020, penduduk Provinsi Jawa Barat berjumlah 49. 35.858 jiwa.

Dari aspek pemerintahan, Provinsi Sumatera Barat terdiri dari 12 Kabupaten dan 7 Kota. Dari jumlah tersebut, 4 Kabupaten adalah Kabupaten pemekaran, yaitu Kabupaten Kepulauan Mentawai yang dulu menjadi bagian Kab. Padang Pariaman, dan 3 Kabupaten lainnya yang dimekarkan dengan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2003 tanggal 18 Desember 2003, yaitu Kabupaten Dharmasraya, Kabupaten Solok Selatan dan Kabupaten Pasaman Barat. Dengan kondisi tersebut, Provinsi Sumatera Barat mempunyai 179 Kecamatan, 230 Kelurahan, 802 Nagari dan 126 Desa.

A. Progres Batas Wilayah

Secara administratif, Provinsi Sumatera Barat memiliki 4 segmen batas antar Provinsi yang telah ditegaskan melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri, yaitu : Provinsi Riau melalui Permendagri 44 Tahun 2013 , Provinsi Bengkulu melalui Permendagri 87 Tahun 2017, Provinsi Sumatera Utara melalui Permendagri No 53,54,55 Tahun 2018, Provinsi Jambi melalui Permendagri 70,71,72,73 Tahun 2018

Selain segmen batas antar Provinsi, Provinsi Sumatera Barat juga memiliki 33 segmen batas daerah Kabupaten/Kota yang 20 segmen diantaranya telah ditegaskan melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri. Menyisakan 13 segmen batas Kabupaten/Kota dengan progres pelaksanaan penegasan batas sebagai berikut :

Tahap Penerbitan Permendagri (Biro Hukum Kemendagri)

  • Kab. Padang Pariaman dengan Kota Padang
  • Kab. 5O Kota dengan Kota Payakumbuh
  • Kab. Tanah Datar dengan Kota Padang Panjang
  • Kab. Padang Pariaman dengan Kota Pariaman

Tahap Finalisasi oleh Tim Penegasan Batas Pusat (Selesai Agustus 2021)

  • Kab. Tanah Datar dengan Kab. Padang Pariaman
  • Kab. Agam dengan Kota Bukittinggi
  • Kab. Padang Pariaman dengan Kota Padang Panjang
  • Kab. Sijunjung dengan Kab. Solok
  • Kab. Sijunjung dengan Kab. Tanah Datar
  • Kab. Solok dengan Kab. Tanah Datar
  • Kab. Solok Selatan dengan Kab. Dharmasraya
  • Kab. Sijunjung dengan Kota Sawahlunto
  • Kab. Pasaman dengan Kab. Pasaman Barat

B. Permasalahan Penegasan Batas Di Provinsi Sumatera Barat

Meskipun secara gamblang telah diterangkan pada pasal 2, ayat (1) Permendagri Nomor 141 Tahun 2017 Tentang Penegasan Batas Daerah, bahwa Penegasan Batas Daerah bertujuan untuk menciptakan tertib administrasi pemerintahan, memberikan kejelasan dan kepastian hukum terhadap batas wilayah suatu daerah yang memenuhi aspek teknis dan yuridis, yang berarti kegiatan ini bertujuan untuk memberikan kepastian dan kejelasan, agar daerah bisa dengan leluasa menjalankan pelayanan publik dan menjalankan pemerintahan tanpa harus takut mengatur perencanaan pembangunan disetiap ruang dan wilayahnya.  

Namun hal ini tidak benar-benar terimplementasi dengan baik, terutama didalam pemahaman para stakeholders dan masyarakat di daerah. Berbagai macam kendala dan rintangan masih sering ditemui di dalam kegiatan penegasan batas daerah, mulai dari sumber daya manusia hingga aspek perpolitikan daerah. Sehubungan dengan hal tersebut, berikut akan dijabarkan beberapa aspek utama yang sering menjadi kendala dan masalah dalam kegiatan penegasan batas daerah, antara lain:

1. Aspek Sumber Daya Manusia

Penegasan batas wilayah sangat erat kaitannya dengan kegiatan teknis pemetaan. Karena untuk menentukan batas wilayah suatu daerah, akan dibutuhkan gambaran luas wilayah, koordinat serta garis batas wilayah yang penentuannya dilakukan dengan metode kartometrik atau survei lapangan, dan hasillnya nanti dituangkan akan kedalam bentuk Peta.

Seperti amanat Permendagri Nomor 141 Tahun 2017 tentang Penegasan Batas Daerah, pada Pasal 4 ayat 1, menjelaskan bahwa penegasan batas daerah di darat dilakukan melalui tahapan penyiapan dokumen, pelacakan batas, pengukuran dan penentuan posisi batas dan pembuatan peta batas. Kemudian pada Pasal 4 ayat 3 Permendagri tersebut, menyebutkan bahwa tahapan penegasan batas daerah dilakukan dengan prinsip geodesi, atau bisa dikatakan berdasarkan prinsip ilmu pemetaan bumi.

foto : ilmugeografi.com
foto : ilmugeografi.com
Terkait hal tersebut, maka para aparatur pemerintahan yang membidangi kegiatan penegasan batas wilayah dituntut untuk memiliki kompetensi dibidang pemetaan, agar bisa melaksanakan kegiatannya secara efektif dan efisien. Kondisi pada Bagian Pemerintahan Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Barat, yang bertugas untuk menangani kegiatan penegasan batas daerah, rata-rata masih belum memiliki aparatur yang berkompeten di bidang pemetaan.

Hal ini seringkali menjadi alasan utama dari Pemerintah Kabupaten/Kota ketika melaksanakan kegiatan penegasan batas. Banyak kegiatan penegasan batas wilayah yang tertunda dan bermasalahan karena para aparatur Bagian Pemerintahan belum memahami terkait kegiatan teknis pemetaan.

Meskipun pada Permendagri Nomor 141 Tahun 2017 tentang Penegasan Batas Daerah, telah diamanatkan untuk membentuk Tim Penegasan Batas Daerah (TPBD) Kabupaten/Kota yang terdiri dari beberapa OPD tekhnis, yang juga berfungsi untuk membantu Bagian Pemerintahan dalam hal teknis pemetaan, namun itu tidak serta-merta mengatasi permasalahan teknis pemetaan batas wilayah.

Kenapa? Karena efek negatifnya, Bagian Pemerintahan Kabupaten/Kota akan sangat bergantung kepada OPD lainnya, dan tentu saja hal ini tidak baik untuk pencapaian kinerja bagian pemerintahan khususnya pelaksanaan kegiatan batas daerah.

Selain itu, TPBD di Kabupaten/Kota yang terdiri dari beragam OPD tekhnis di daerah, seperti Bappeda, Dinas Kehutanan dan Badan Pertanahan Nasional yang notabene juga memiliki tupoksi dan agenda dari instansi mereka masing-masing, lebih memilih untuk menyelesaikan pekerjaan mereka dahulu, baru membantu kegiatan penegasan batas.

Hal ini menyebabkan, sering tertundanya hasil kegiatan penegasan batas dilapangan, karena Bagian Pemerintahan harus menunggu hasil verifikasi kegiatan penegasan batas dari instansi teknis anggota TPBD.

Selanjutnya, berdasarkan data laporan Bagian Pemerintahan Kabupaten/Kota  pada tahun 2019, menunjukan hanya 10 dari 19 Kabupaten/Kota yang mempunyai Tim penegasan Batas Daerah, dan 9 (sembilan) daerah lainnya belum membentuk Tim Penegasan Batas Daerahnya. Hal ini tentu sedikit banyak akan berdampak pada lambatnya progres penyelesaian penegasan batas daerah di Kabupaten/Kota, karena memang di bagian pemerintahan Kabupaten/Kota tidak ada aparatur yang memiliki kompetensi di bidang teknis pemetaan.

Dampak dari kondisi dan situasi kegiatan penegasan batas daerah di Kabupaten/Kota tersebutlah, menyebabkan Tim Penegasan Batas Provinsi bekerja lebih ekstra, bahkan terkadang harus memulai kembali dari awal untuk memerifikasi laporan data hasil survey lapangan dari Pemerintah Kabupaten/Kota.

Keadaan tersebut berimplikasi pada menumpuknya data verifikasi yang harus diperiksa dan dientrykan kedalam aplikasi pemetaan Arcgis untuk menggambarkan koordinat dan penarikan garis batas oleh Tim Penegasan Batas Daerah (TPBD) Provinsi Sumatera Barat. Keadaan tersebut sedikit banyak akan mempengaruhi upaya percepatan kegiatan penegasan batas daerah di Provinsi Sumatera Barat

2. Aspek Anggaran 

Setiap Tahun, Menteri Dalam Negeri RI senantiasa mengirimkan Surat Edaran kepada Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota se-Indonesia untuk dijadikan pedoman dalam penyusunan APBD pada tahun anggaran berikutnya. Terkait penganggaran, selain surat edaran tersebut, Pemerintah Daerah sebenarnya bisa mempedomani Permendagri Nomor 141 Tahun 2017 tentang Penegasan Batas Daerah, dimana dalam aturan tersebut telah dijelaskan bagaimana tahapan-tahapan dan prosedur kegiatan penegasan batas.

Dalam Permendagri tersebut telah dijabarkan bahwa terdapat 4 (empat) tahapan dalam pelaksanaan penegasan batas, yaitu :

  • penyiapan dokumen;
  • pelacakan batas;
  • pengukuran dan penentuan posisi batas; dan
  • pembuatan Peta batas.

Masing-masing tahapan tersebut, terutama tahapan pelacakan, pengukuran dan penentuan posisi batas serta pembuatan peta batas, akan membutuhkan anggaran yang harus memadai untuk pelaksanaan kegiatannya. Dapat dijelaskan, bahwa penggunaan anggaran penegasan batas sebagian besar dialokasikan pada beberapa aspek, seperti :

  • Biaya Perjalanan Dinas Tim Penegasan Batas Daerah
  • Pembelian Alat GPS Untuk Pengukuran Dan Penentuan Posisi Koordinat Batas
  • Pembelian Komputer/Laptop Untuk Pemetaan (Argis)
  • Pembangunan Dan Pemeliharaan Pilar Batas Daerah
  • Sosialisasi dan Publikasi Peta Batas Daerah

Secara umum, kondisi penganggaran kegiatan penegasan batas di Pemerintah Kabupaten/Kota bisa dikatakan belum maksimal dalam memenuhi kebutuhan untuk kegiatan penegasan batas daerah. Pemerintah Kabupaten/Kota lebih banyak menganggarkan Biaya Perjalanan Dinas Tim Penegasan Batas Daerah, ketimbang memenuhi kebutuhan dasar akan sarana dan prasarana seperti GPS atau Komputer/Laptop yang dikhususkan untuk pengolahan data batas. Memang tidak ada salahnya untuk menganggarkan Biaya Perjalanan Dinas Tim Penegasan Batas Daerah, karena memang kebutuhannya cukup tinggi.

Bahkan, jika kita perkirakan, anggaran yang harus ada untuk kegiatan survey lapangan ini dengan asumsi panjang batas sebuah daerah adalah 100 Km, maka dibutuhkan kegiatan survey lapangan hingga 10 Kali, jika hitungan 1 kali survey bisa mencakup panjang garis batas 10 Km. Perkiraan 10 kali survey tersebut dikalikan dengan jumlah anggota tim yang akan ikut melakukan survey batas daerah.

Berdasarkan hitungan tersebutlah, bisa diperkirakan berapa besar anggaran yang harus diakomodir dalam DPA di Bagian Pemerintahan Kabupaten/Kota. Oleh karena itu, banyak Bagian Pemerintahan agak sedikit keteteran dalam urusan penganggaran sarana serta prasarana seperti GPS, komputer dan pembangunan pilar karena anggaran lebih banyak tersedot ke biaya perjalanan dinas untuk survey lapangan.

3. Aspek Pemekaran Wilayah

Sebelum Undang-Undang 23 tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah lahir, seluruh pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB) tidak diwajibkan untuk menegaskan batasnya terlebih dahulu. Sehingga banyak dari Kabupaten/Kota yang mekar belum memiliki batas wilayah yang jelas.

Hal tersebut, biasanya disebabkan karena aspek yuridis, yakni tidak jelasnya batas daerah dalam lampiran undang-undang pembentukan dan peta lampiran undang-undangnya yang tidak memenuhi syarat sebagai peta (Hanya Peta Sketsa). Akibatnya banyak terjadi perebutan wilayah antara daerah Induk dengan Daerah pemekaran, yang ditambah dengan adanya potensi-potensi perekonomian diwilayah perbatasan, seperti pertambangan, perkebunan dan aspek perizinan lainnya.

Untuk wilayah Provinsi Sumatera Barat, terdapat 3 Kabupaten pemekaran yang belum selesai penegasan batas wilayahnya, yakni, Kab. Solok Selatan, Kab. Dharmasraya dan Kab. Pasaman Barat. Ketiga Kabupaten ini mempunyai potensi konflik batas wilayah yang tinggi, karena memiliki banyak potensi Sumber Daya Alam dan Potensi Perekonomian lainnya di wilayah batas daerahnya masing-masing.

4. Aspek Adat Istiadat

Dalam adat di Minangkabau, tanah adalah tempat kelahiran, tempat hidup dan juga tempat mati.  Analoginya, sebagai tempat lahir maka setiap kerabat harus memiliki sawah atau ladang yang dijadikan andalan untuk menjamin hidup dan makan para kerabat. Sebagai tempat mati, maka setiap kaum harus mempunyai pandampusara agar jenazah kerabat jangan sampai terlantar.

Ketiga hal tersebutlah yang melambangkan seseorang sebagai bagian dari masyarakat Minangkabau. Karena bagaimanapun wilayah adat/Tanah Ulayat dipandang sebagai salah satu harta pusaka tinggi, dan menjadi sangat penting terutama yang berkaitan dengan kepemilikan kaum dan nagari. Untuk itu, dalam setiap kegiatan penegasan batas, Tim Penegasan Batas Daerah Kabupaten/Kota masih mengikutsertakan para pemuka-pemuka adat untuk mengidentifikasi area dan wilayah yang masih masuk kedalam ulayat mereka masing-masing.

Sebenarnya, dengan masih diakuinya tanah-tanah dalam lingkungan masyarakat hukum adat ini, Pemerintah Provinsi Sumatera Barat juga telah mengeluarkan Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 16 Tahun 2008 Tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya. Dalam peraturan tersebut telah diatur tentang keberadaan tanah ulayat, penentuan dan penetapan keberadaan tanah ulayat, jenis dan penguasaan tanah ulayat, kedudukan dan fungsi tanah ulayat, hingga pemanfaatan dan pengunaan sebuah tanah ulayat.

Namun pada kondisinya, terkait penetapan terhadap keberadaan dan kedudukan Tanah Ulayat tersebut belum terlaksana dengan optimal. Masih banyak tanah-tanah yang dikalim sebagai tanah ulayat, tapi belum ditetapkan secara jelas kedudukan dan fungsi dan statusnya. Hal ini tentu berdampak kepada status kepemilikan tanah ulayat tersebut, apakah statusnya adalah tanah ulayat Nagari A atau Nagari B atau ulayat kaum A atau kaum B dan tanah ulayat suku A atau suku B.

Hal ini acapkali menjadi perdebatan bagi para pemuka adat di tiap-tiap nagari di Sumatera Barat. Ketidakjelasan status dan kedudukan tanah ulayat tersebut, disebabkan karena masih adanya pemuka adat dan masyarakat di Sumatera Barat menentukan keberadaan tanah ulayat dengan memakai istilah adat, yakni "warih nan bajawek" atau hanya penyampaian pesan secara lisan dari para tetua adat kepada penerusnya.

Sifat dari warih nan bajawek ini sendiri adalah Postulat, atau asumsi yang memerlukan pembuktian lebih lanjut. Hal ini disebabkan karena Warih nan bajawek ini tidak punya bukti-bukti otentik seperti surat keterangan, kesepakatan ataupun aturan yang tertulis. Sehingga ada beberapa penjabaran warih nan bajawek tersebut yang bisa saja  melebihi ataupun mengurangi apa yang telah disampaikan oleh para pendahulunya.

 Jadi belum bisa dikatakan bahwa informasi Warih Nan Bajawek yang mereka terima tersebut benar atau tidak. Hal ini terbukti ketika Tim Penegasan Batas Daerah melibatkan para pemuka adat dari dua daerah Kabupaten/Kota yang berbatasan dalam penentuan batas wilayah administrasi daerah. Hasilnya, para pemuka adat tersebut, masih banyak yang saling klaim dan berebut kepemilikan terhadap satu wilayah dengan menyebutkan wilayah tersebut adalah tanah ulayat mereka masing-masing, dengan perpedoman kepada keterangan warih nan bajawek mereka masing-masing.

Kondisi inilah yang juga seringkali mempengaruhi kegiatan Penegasan Batas Daerah di Provinsi Sumatera Barat. Karena bagaimanapun, masyarakat di Sumatera Barat masih berpedoman kepada aturan-aturan yang telah dibuat oleh pemuka adat mereka masing-masing, termasuk penentuan batas wilayah.

Sehingga mengakibatkan argumentasi masyarakat terhadap batas wilayah akan terpengaruh dengan keputusan yang diambil oleh pemuka adat mereka. Jika keputusan mereka tidak diakomodir oleh pihak yang berwenang dalam kegiatan penegasan batas, maka ancaman-ancaman terhadap koeksistensi kehidupan masyarakat pada area batas wilayah sering bermunculan.

Hal tersebut juga akan berdampak langsung kepada keputusan-keputusan stakeholders dalam mengusulkan batas wilayahnya masing-masing. Tidak jarang terjadi, keputusan para stakeholders di pemerintahan daerah berubah bahkan menetapkan posisi status quo akibat dari tekanan dari keputusan masyarakat tersebut.

 5. Aspek Politik 

Provinsi Sumatera Barat, adalah salah satu dari 9 (sembilan) Provinsi di Pulau Sumatera, yang sebagaimana Provinsi lainnya di Indonesia, juga memilki berbagai macam suku yang tersebar di seluruh Kabupaten/Kota dalam wilayahnya. Secara umum, Suku masyarakat Sumatera Barat dikenal sebagai Suku Minang. Namun Suku Minang ini akan terbagi lagi kedalam berbagai macam Suku, seperti Koto, Bodi, Pilliang, Chaniago, Tanjuang, Jambak, Sikumbang, Melayu, Pitopang dan banyak lagi yang lain.

Keberadaan suku ini sangat berpengaruh kedalam kehidupan dan keseharian dari masyarakat Minangkabau. Karena masyarakat Minangkabau sangat terikat terhadap adat dan istiadat serta norma yang menjadi aturan dan ketetapan yang telah ditentukan oleh masing-masing suku. Mulai dari pengangkatan seorang pemimpin di keluarga/suku, perkawinan, pemberian gelar, pembagian warisan, harta pusaka, tata cara makan, bergaul dan lain sebagainya. Hal tersebut merupakan sebuah ketentuan yang wajib dilaksanakan oleh masyarakat Minangkabau, apapun suku mereka.

Kaitannya dengan politik adalah, karena rata-rata Kepala Daerah dan Anggota DPRD baik di Provinsi Sumatera Barat maupun di Kabupaten/Kota adalah seorang Datuk (pimpinan adat) di wilayahnya masing-masing. Konsekwensinya, setiap urusan adat termasuk wilayah adat/Tanah ulayat, Kepala Daerah dan anggota DPRD yang menjadi pucuk pimpinan adat, akan mendapatkan masukan-masukan penting dari setiap pemuka adat-adat yang lain. Sehingga terkadang keputusan yang semestinya hanya mempertimbangkan aspek administrasi pemerintahan, akan sedikit terpapar oleh kebijakan-kebijakan dari aspek lain.

Meskipun terbilang sedikit kontroversial, namun hal tersebutlah yang terjadi pada kondisi sekarang ini. Karena bagaimanapun para pemuka-pemuka adat yang lain, yang memberikan masukan-masukan kepada Kepala Daerah, juga merupakan seorang Ninik Mamak yang tentu mempunyai anak dan keponakan serta saudara yang banyak dan rata-rata menjadi konstituen dari para Kepala Daerah dan para anggota DPRD tersebut.

Hal tersebutlah yang sering mempengaruhi kebijakan-kebijakan para Kepala Daerah dan Anggota DPRD, terutama bagi mereka yang akan mencalonkan kembali (incumbent). Ini belum termasuk kepada Calon Kepala Daerah dan Calon Anggota DPRD yang akan bertarung dalam Pemilu, yang terkadang juga bisa menunggangi isu-isu batas daerah di dalam setiap kampanye mereka. Menyalahkan para pejabat yang sedang menjabat karena belum bisa komprehensif didalam mengurus area batas wilayah mereka.

C. Resiko Kegiatan Penegasan Batas Daerah

Dari beragamnya kendala dan permasalahan yang dihadapi, terdapat beberapa resiko yang lahir dari permasalahan tersebut baik dari sisi internal maupun dari sisi eksternal organisasi pemerintah daerah, antara lain :

1. Resiko Internal Organisasi

Dengan kurangnya kompetensi sumber daya manusia dari aparatur Bagian Pemerintahan serta terbatasnya anggaran pelaksanaan kegiatan penegasan batas daerah, resiko yang akan dirasakan pada internal organisasi adalah akan terhambatnya realisasi capaian penegasan batas daerah Kabupaten/Kota tersebut.

Selain itu, tentu penataan ruang, perizinan, pembangunan dan pelayanan publik belum terlaksana dengan maksimal, karena ada beberapa area di wilayah Kabupaten/Kota tersebut masih berada pada area abu-abu, karena belum tahu statusnya milik/masuk ke Kabupaten/Kota apa. 

Kemudian, juga bisa berdampak kepada turunnya kepercayaan pimpinan/Kepala Daerah kepada Pejabat di Bagian Pemerintahan yang notabene mengurusi kegiatan penegasan batas. Turunnya kepercayaan tersebut bisa bermuara kepada opsi untuk memutasikan Pejabat tersebut ke Bagian lain dan menggantikannya dengan Pejabat baru yang rata-rata juga baru dan awam dengan kegiatan penegasan batas, tanpa pernah menganalisa letak permasalahan sebenarnya dimana. Sehingga meski Pejabat bertukar, tapi tanpa didukung dengan solusi terhadap permasalahan SDM dan Anggaran yang tepat, tetap saja hasilnya akan berputar disitu-situ saja.

Selain itu, dengan masih kurangnya sosialisasi terkait penegasan batas ini, menyebabkan pemahaman dari para Pimpinan Daerah sering terpengaruh dengan unsur-unsur diluar administrasi kewilayahan, sehingga terkadang kegiatan penegasan batas juga bisa berdampak kepada harmonis atau tidaknya Kepala Daerah dan Wakilnya bahkan dengan DPRD sekalipun. Bahkan menjadi isu yang sangat sensitif di daerah, apabila wilayah batas merupakan pusat kantong suara dan tanah kelahiran dari Kepala Daerah, Wakil Kepala Daerah dan Anggota DPRD tersebut. 

2. Resiko Eksternal Organisasi

Dampakn yang dirasakan dari eksternal organisasi adalah timbulnya konflik batas yang berkepanjangan, yang disebabkan karena kegiatan penegasan batas tidak pernah selesai. Masyarakat pada wilayah perbatasan akan bertindak sendiri dalam menentukan batas wilayahnya masing-masing, karena merasa, Pemerintah tidak hadir untuk menyelesaikan batas wilayah mereka, dan tidak mampu menjawab dengan baik keinginan mereka.

Dengan tidak hadirnya pemerintah, aksi-aksi masyarakat yang ingin menentukan batas wilayahnya juga sering ditunggangi oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, sehingga terkadang aksi masyarakat yang awalnya sekedar menentukan batas wilayahnya secara baik-baik dengan mendatangi wilayah perbatasan, berubah menjadi anarkis, karena ditunggangi misi tertentu dari beberapa pihak.

Meskipun awalnya yang akan merasakan dampak permasalahan batas wilayah hanya masyarakat diwilayah perbatasan, namun dengan kondisi media sosial dan pemberitaan pada saat sekarang, kondisi dan situasi diwilayah perbatasan tersebut bisa terpublikasikan dengan luas kepada seluruh masyarakat di wilayah Kabupaten/Kota tersebut, bahkan hingga ke seluruh Provinsi Sumatera Barat serta NKRI.

Dengan terpublikasikannya kondisi tersebut, maka seluruh masyarakat bisa beropini terhadap permasalahan tersebut, dan biasanya akan langsung mempertanyakan kehadiran pemerintah dalam penanganan permasalahan batas daerah itu. Ini juga berefek kepada rendahnya daya investasi dari luar daerah, karena ada kecendrungan terjadinya konflik dan tidak jelasnya area tata ruang sebuah daerah. Kemudian efek yang paling utama adalah turunnya kepercayaan masyarakat kepada Kepala Daerah dalam mengambil kebijakan untuk menstabilkan ketertiban dan keamanan diwilayah mereka.

D. Mitigasi Batas Daerah

Upaya untuk mengurangi resiko dari kegiatan penegasan batas sebenarnya terletak pada kebijakan program prioritas dan anggaran. Keberpihakan dan perhatian Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) kepada kegiatan penegasan batas ketika melaksanakan rapat-rapat perumusan anggaran sangat diperlukan. Karena dengan hal tersebut seluruh perencanaan kegiatan batas dapat terlaksana dengan baik.

Mulai dari peningkatan Sumber Daya Manusia, dengan mengalokasikan kegiatan Sosialisasi dan Bimbingan Teknis kepada para aparatur pelaksana kegiatan penegasan batas daerah hingga kepada terdanainya dengan baik pengadaan sarana dan prasarana pendukung kegiatan penegasan batas daerah. Namun hal ini tentu saja disertai dengan penentuan target dan realisasi tahunan yang harus dicapai oleh Bagian Pemerintahan selaku pelaksana kegiatan penegasan batas.

Kemudian, yang lebih penting adalah dengan memberikan sosialisasi dengan baik dan benar kepada masyarakat serta seluruh unsur pemerintah daerah mulai Walinagari/Kepala Desa/Lurah, Camat, OPD, hingga Kepala Daerah dan DPRD. Agar nantinya, ketika melaksanakan kegiatan penegasan batas, semua stakeholders mempunyai pemahaman yang sama tentang penegasan batas daerah, yang memang bertujuan hanya untuk menciptakan tertib administrasi pemerintahan, memberikan kejelasan dan kepastian hukum terhadap batas wilayah suatu daerah yang memenuhi aspek teknis dan yuridis, bukan untuk mengkotak-kotakan wilayah ataupun menghilangkan hak kepemilikan dan hak ulayat dari masyarakat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun