Setiap manusia pasti memiliki trauma dalam hidupnya dan dari semua kalangan baik yang kehidupannya berkecukupan maupun yang tidak. Kenangan selalu menimbulkan dampak positif dan negatif, terlebih pengalaman yang sangat menyakitkan dan berkali-kali akan menimbulkan bekas bagi yang mengalaminya.
Namun tidak banyak orang yang menyadari kalau ia sedang mengalami trauma berat, yang ia tahu hanyalah seolah hidup ini tidak berpihak padanya dan akhirnya menurunkan trauma baru kepada keturunannya.
Seorang ibu datang kepada saya bersama anak remaja yang berusia 14 tahun. Ibunya menceritakan bahwa anaknya sering melamun, setiap disebut tentang ayah ia selalu meneteskan air mata dan wajahnya selalu murung sulit sekali tersenyum.
Ibunya mengatakan bahwa anaknya tersebut tidak diperbolehkan sekolah karena alasan finansial dan hanya boleh bekerja membantu ayahnya sedangkan anaknya ingin sekali bersekolah tetapi tapi mendapat larangan keras dari kakak dan ayahnya.
Saya seketika berpikir kenapa ia dilarang sekolah hanya karena alasan finansial, sedangkan banyak juga orang yang tidak berkecukupan berupaya menyekolahkan anaknya hingga berhasil. Apa yang sedang terjadi dengan anak remaja itu? Mengapa ayahnya melarang anaknya untuk tidak sekolah? Apakah hanya karena tidak memiliki kemampuan untuk menyekolahkan sedangkan anaknya juga sambil berjualan untuk bisa mencukupi kebutuhan keluarga dan agar bisa bersekolah? Sebenarnya siapa yang harus diterapi, anaknya atau ayahnya?
Berikut penjelasannya:
Seorang Anak Terkena Imbas dari Perilaku negatif AyahnyaÂ
Sungguh memilukan melihat seorang anak yang tidak bersalah harus mengalami penganiayaan lahir dan batin dari ayahnya. Seorang ayah adalah cinta pertama yang dirasakan oleh anak perempuan ketika ia lahir, ia akan merasa tenteram ketika sang ayah melindunginya, menuntunnya dengan pengalaman hidup ayah yang hebat, memberikan nafkah dan hak sebagai anak termasuk untuk sekolah. Anak perempuan akan cenderung mencari pasangan hidup yang mirip dengan ayahnya, baik itu perilaku, tutur kata, cara melindunginya kelak namun ini yang terjadi justru sebaliknya.
Anak remaja tersebut justru tidak ingin menikah, ia merasa takut mengenal laki-laki karena ia khawatir akan bertemu dengan laki-laki yang seperti ayahnya, sangat memprihatinkan.
Sosok ayah yang seharusnya diidolakan berubah menjadi sosok yang menakutkan baginya. Sejak kecil ia diperlakukan tidak adil oleh ayahnya, untung saja anak remaja tersebut tidak membalaskan sakit hatinya kepada orang lain karena ia menyayangi ayahnya namun ada sisi lain yang membuat ia menjadi seseorang yang sangat tidak percaya diri dan membiarkan dirinya larut dalam kesedihan dan keterpurukan batin.
Seorang anak memiliki hak untuk disayangi, dididik dengan lembut, dibelai, disekolahkan, diberikan nafkah, diberi rasa aman dari gangguan dunia luar.
Bukan sebaliknya, ia dilepas untuk menghidupi diri sendiri, dihujat dengan kata-kata yang tidak pantas dilakukan kepada seorang anak, tidak dibela, tidak diberikan rasa aman ketika ia di-bully oleh orang lain, tidak dijaga dengan baik. Yang ada hanya larangan dan larangan hingga anak menjadi takut, tidak percaya diri dan merasa dunia ini sangat kejam padanya, dunia kecil dalam diri seorang anak adalah kedua orang tuanya.
Seorang Ayah yang Memiliki Trauma
Dampak dari trauma adalah meninggalkan bekas luka di memori alam bawah sadar seseorang. Dan hal ini harus diselesaikan agar tidak memberikan dampak negatif kepada keturunannya. Setelah diterapi ternyata banyak hal yang di alami anak tersebut mulai dari penganiayaan secara verbal dan non verbal dari ayahnya. Ia menangis dan berteriak sejadi-jadinya saya sedih sekali melihatnya.
Menurut cerita ibunya, ayahnya ketika ia muda dulu tidak dizinkan orang tuanya untuk bersekolah. Ayahnya dilarang sedangkan adik-adiknya diperbolehkan untuk sekolah. Tindakan menyakiti lainnya juga dirasakan oleh ayahnya hingga akhirnya mencari sasaran yang tidak berdaya yaitu anak kandungnya sendirinya tanpa ia sadari.
Rasa sakit yang dialami oleh ayahnya tersebut terbawa hingga ia menua dan sulit keluar dari trauma tersebut hingga berbuat hal yang sama. Tentu saja ayah tersebut ingin keluar dari semua kesedihan tersebut tetapi tidak mengetahui apa yang harus dilakukan, terlebih mereka yang mengalami kekurangan secara finansial dan merasa berat untuk biaya terapi. Banyak orang membiarkan masalah batinnya hingga berlarut-larut dan akhirnya merusak generasi tanpa disadari.
Walaupun banyak juga orang yang mengalami trauma tetapi tidak menimpakan traumanya kepada orang lain apalagi kepada anaknya sendiri. Mental mereka cukup kuat untuk menahan trauma tersebut dengan cara menyadari bahwa ia mempunyai takdir memiliki seorang ayah yang sulit merubah diri. Hanya rasa maklum dan mampu memaafkan yang bisa meredakan trauma.
Setelah saya banyak bertanya pada sesi terapi, ayahnya memiliki dendam kepada orang tuanya karena pernah dilarang untuk tidak bersekolah, padahal ia juga ingin bersekolah seperti adik-adiknya. Ia berpikir bahwa orang yang bersekolah pada akhirnya banyak yang menjadi pengangguran dan juga mengalami kesulitan finansial hanya itu pemahaman yang ia tanamkan ke dalam dirinya, bawah sadarnya lalu tubuhnya merespon kata-katanya dan ia juga melarang anaknya untuk tidak sekolah karena sekolah adalah hal yang sia-sia, padahal tidak demikian.
Siapa yang Harus Diterapi ketika Mengalami Trauma?Â
Tentu saja orang yang mengalaminya dan orang yang menciptakan trauma. Bila penyebab trauma adalah orang lain yang bukan keluarga, yang diterapi yang mengalami trauma dan menghindari atau membentengi diri dengan banyak ilmu pengetahuan agar bisa menghindari lingkungan toxic yang menyebabkan trauma. Menghindari lingkungan toxic adalah cara efektif untuk mencegah trauma yang berkelanjutan.
Namun banyak juga orang tua yang mengalami trauma tidak merasa bahwa ia memiliki trauma. Mereka akan mengatakan bahwa anaknya bandel, tidak menurut atau sulit diatur. Padahal trauma yang dilepaskan kepada anak yang membuat anak menjadi sulit diatur dan para orang tua tidak mau untuk diterapi, akhirnya menambah trauma baru dan terjadi secara terus menerus hingga sang anak dewasa dan menikah juga menurunkan peristiwa yang sama kepada keturunannya.
Perlunya memahami dan menyadari bahwa kita memiliki banyak kekurangan dan memori negatif semasa kecil hingga kita bisa mengobati diri baru menikah dan memiliki anak agar tidak menyakiti generasi. Kita akan merasa kesulitan mengontrol alam bawah sadar karena 90 persen kejadian dalam hidup dikontrol oleh bawah sadar kita sendiri. Namanya juga bawah sadar, ia tidak bergerak dengan perintah tetapi berjalan secara otomatis.
Sebenarnya apa yang diinginkan alam bawah sadar kita? Hanya kata maaf dan kata sayang.
Emosi yang tersimpan di bawah sadar akan reda mendengar kata maaf dan kata sayang dari orang yang menyakiti. Namun kata maaf ini sulit keluar dari orang-orang yang dengan sengaja menyakiti, bila tidak ada hal yang menyakitkan tentu tidak ada yang namanya luka apalagi batin yang terluka yang berimbas pada masa depan dan kehidupan akhirat, obatnya hanyalah kata maaf dari orang yang bersangkutan.
Seperti kutipan hadis di bawah ini:
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:
"Orang yang pernah menzalimi saudaranya dalam hal apa pun, maka hari ini ia wajib meminta agar perbuatan tersebut dihalalkan oleh saudaranya, sebelum datang hari saat tidak ada dinar dan dirham. Karena jika orang tersebut memiliki amal saleh, amalnya tersebut akan dikurangi untuk melunasi kezalimannya. Namun jika ia tidak memiliki amal saleh maka ditambahkan kepadanya dosa-dosa dari orang yang ia zalimi." (H.R. Bukhari, no. 2449).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H