Mohon tunggu...
Zairiyah kaoy
Zairiyah kaoy Mohon Tunggu... Penulis - Hipnoterapis, penulis buku seberapa kenal kamu dengan dirimu, bahagia dengan pemetaan pikiran.

Manusia sulit berpikir positif mengenai orang lain ketika ia berada pada muatan emosi negatif yang sangat kuat.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Dampak Toxic Parenting

14 Juli 2021   09:12 Diperbarui: 17 Juli 2021   09:01 997
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tidak hanya virus yang menular, trauma juga menularkan hanya saja cara penularannya berbeda. Penularan atau menurunkan ini tentu dapat terjadi dengan sengaja, tidak sengaja atau tidak disadari. Banyak di antara kita para orang tua tidak menyadari begitu rentannya pembuluh saraf terhadap perilaku tidak baik yang kita lakukan kepada anak-anak.

Apapun yang bersifat merusak selalu mengandung racun dan menghancurkan sesuatu yang sehat menjadi tidak sehat. Perilaku toxic yang tidak disadari ini membuat kerusakan pada mental dan pertumbuhan anak. Tidak hanya di usia anak dapat terjadi pula di usia dewasa dari toxic people di sekitarnya.

Namun kerusakan tersebut akan lebih kuat terjadi di usia 0-13 tahun, dikarenakan otak kanan melakukan penyerapan yang maksimal dan otak cermin. Memori mulai terekam sejak dalam kandungan ibu sampai saat ini. Rekam peristiwa ada yang negatif dan positif, inner child sangat mempengaruhi kehidupannya di masa yang akan datang.

Toxic parenting (pengasuhan beracun) tidak hanya dilakukan orang tua, para pengasuh anak bisa saja baby sitter, keluarga dekat dan orang yang paling sering bersamanya. 

Kekerasan yang dilakukan dapat bersifat verbal dan non verbal. Menimbulkan perasaan hilangnya rasa percaya diri, penakut, pemalu, pemarah, bahkan dapat menjadi seorang pecandu narkoba.

Sering kita menyalahkan anak-anak setelah ia mulai beranjak dewasa dengan terus mengatakan bahwa ia anak nakal, tidak bisa diatur, pemalas dan lain-lain. 

Kita tidak menyadari bahwa yang membuat mereka seperti itu adalah para toxic parenting ketika ia berada di usia 0-13 tahun. Cara para toxic parenting mendidik telah mencetak mereka menjadi sosok yang tidak kita inginkan.

Toxic parenting sangat berbahaya bagi perkembangan anak di masa depannya. Seperti apa para toxic people menyebarkan racun pada mental anak-anak? Apa dampak yang akan terjadi ketika ia terus menerima racun mental dari orang sekitarnya? apa yang harus dilakukan bila anak berada di antara para toxic people? Berikut penjelasannya.

sumber.parent very angry child/shutterstock
sumber.parent very angry child/shutterstock

Toxic Parenting Menyebarkan Racun Pada Mental Anak

Terkadang menjadi dilema bagi wanita karier yang menitipkan anak-anak kepada orang yang kurang tepat secara perangai. Anak-anak yang otak cerminnya masih sangat kuat dapat meniru tindakan dan perilaku serta kata-kata orang yang mengasuhnya. Pola asuh tersebut dapat terduplikasi oleh Ananda.

Membentak, mendelik, memukul, mencubit, menghina atau membully, menyudutkan atau menyalahkan, mengancam, menakut-nakuti anak merupakan toxic bagi mentalnya. 

Anak yang diperlakukan seperti ini akan membuat dirinya tumbuh menjadi sosok yang kasar, pemarah, penakut dan pemalu. Ia akan jauh dari rasa percaya diri dan tidak ingin mencoba banyak hal karena selalu disudutkan dan disalahkan.

Para toxic parentingpun demikian, ketika ia kecil mengalami hal yang sama dari para parenting sebelumnya. Kurangnya ilmu pengetahuan tentu membuat para parenting akan bersikap sesuai dengan emosi yang sedang dirasakannya. Menimpakan kekesalan di masa kecilnya kepada orang lain yang tidak bersalah.

Tanpa sengaja atau memang dengan disengaja kita pernah menyuruh anak untuk diam, dengan membentaknya dan berkata "DIAM!" maka setelah ia dewasa ia akan sering terdiam, tidak berani bicara sebelum disuruh berbicara atau bahkan disuruh bicara ia akan tetap terdiam. 

Menjadikannya tidak percaya diri, mudah cemas ketika disuruh berbicara. Bentakan tersebut merupakan bentuk trauma yang menempel pada memorinya tentang "seolah bicara itu tidak perlu".

Dampak Racun Mental dari Toxic Parenting

Seperti yang telah diulas di atas bahwa kalimat negatif akan membuatnya menjadi sosok yang tumbuh dengan rasa percaya diri yang kecil, penakut, pemarah, pemalu, dan dapat terjadi pada tingkat lanjut yaitu iri, dengki, egois, pecandu narkoba, penjahat, penyebar fitnah, tidak senang melihat orang lain bahagia. Efek lanjutan ini dipengaruhi dari watak dan kepribadian masing-masing yang memiliki trauma tersebut.

Dididik oleh toxic parenting maka kemungkinan besar di masa dewasanya akan menjadi toxic people, bila ia tidak menyadari bahwa ia merupakan bagian dari toxic tersebut maka dengan perasaan tidak bersalah, ia akan mulai melukai orang lain dengan  hal yang sama seperti toxic parenting yang pernah mendidiknya. 

Persis sebuah cermin, ia akan menjadi sesuatu yang sama sesuai dengan orang yang mendidiknya. Baik sikap pendidiknya, maka akan baik pula perilaku yang dididik, begitu juga sebaliknya.

Saya pernah berdialog dengan seseorang yang terlihat percaya diri. Ketika ia dipercaya membawakan suatu acara, ia menjadi cemas dan takut untuk maju ke podium hingga tidak dapat bergerak, terpaku bahkan bergetar. 

Ia bercerita kepada saya dengan rasa sedih dan ingin sekali merubah semua itu dan pada akhirnya ia bercerita bahwa ia diperlakukan tidak baik ketika masa kanak-kanak, bukan dari orang tuanya tapi dari orang sekitarnya yang sering membuatnya terdiam.

Sering juga kita melihat orang disekitar kita menakut-nakuti anak dengan kalimat "jangan kesana, ada hantu loh!", "iih jelek banget sih kamu", atau "dasar anak ga tau diri". 

Kalimat ini adalah kalimat toxic yang merusak mental, keberanian dan rasa percaya diri anak. Tentunya kita sayang kepada anak-anak kita yang merupakan miniatur dari diri kita, pastinya kita tidak ingin menyakiti hatinya dengan Bahasa yang dapat melukai hatinya.

Orang tua diberi kepercayaan oleh Allah seorang keturunan untuk diberi perhatian, cinta dan kasih sayang. Anak bukan sebagai penghias rumah dan hanya sekedar menunjukkan bahwa kita mampu memiliki anak-anak, tapi banyak tugas yang diemban oleh orang tua. 

Menghindari kalimat toxic pada mereka juga merupakan cara kita mencintai mereka, mengatakan kalimat sayang dan cinta yang tulus kepada buah hati dapat menumbuhkan rasa percaya diri dan keberanian dalam mencoba hal positif dalam hidupnya.

Apa yang Harus Dilakukan Bila Berada Di antara Toxic Parenting

Tentu tidak mudah bagi seorang ibu yang bekerja untuk menitipkan anak kepada orang lain yang tidak ada hubungan darah dengannya, karena tentunya rasa kasih dan sayangnya tidak akan sama. 

Perlunya melihat dan melakukan observasi yang dalam kepada orang yang akan dipercaya untuk menjaga buah hati tercinta. Walaupun tidak menjamin bahwa orang terdekat pun memiliki kondisi mental yang baik.

Menjauhkan anak dari toxic parenting adalah cara terbaik agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan. Mengamati kepribadian dengan tutur kata dan perilaku calon parenting penting sekali agar kita mengetahui pola apa yang akan diturunkannya kepada anak-anak kita. 

Orang yang tutur katanya lembut dan sabar, memiliki sifat penyayang, tenang, cerdas, peduli dan memprioritaskan kebutuhan anak layak mendidik seorang anak agar tumbuh menjadi pribadi yang sabar, tenang dan pintar menata emosi.

Anak merupakan generasi penerus bangsa. Bila generasi penerus ini tumbuh menjadi sosok yang percaya diri, penyayang, memikirkan kebutuhan orang lain daripada diri sendiri, senang menolong orang lain, dan kebaikan lainnya, tentu ia akan sangat didambakan memimpin sesuatu dengan adil dan penuh dengan kasih sayang. 

Ia akan dapat menjadikan dirinya bermanfaat bagi orang lain dan dicintai orang banyak. Anak bahagia tentu kita sebagai orang tuapun akan bangga dan bahagia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun