Bukan hanya itu, beban pikiran yang dihasilkan terhadap manipulasi hasil test tersebut dapat berdampak kepada perekonomian orang yang bersangkutan. Harus mengalami karantina, tersendatnya rutinitas dan aktifitas perekonomian terganggu. Kekhawatiran orang disekitarnya menjadi panjang dan lebar.
Para oknum bermain-main dengan kesehatan orang lain dan membodohi banyak orang untuk keuntungan sesaat, sementara mereka yang telah tertuduh sebagai pengidap virus tersebut harus menjalani "hukuman sosial" dan dapat berdampak kepada kesehatannya pula. Karena dianggap telah terinfeksi bisa saja mereka merasa seakan-akan mengidap virus tersebut dan menjadi benar-benar sakit.
Virus ini berkembang karena oknum dan tidak adanya rasa persatuan. Perilaku mementingkan diri sendiri ini membuat banyak korban disekitar, membuat seolah virus ini terus ada dan tidak pernah musnah. Upaya mengurung diri tidak cukup untuk menyelamatkan diri dari virus ini karena dengan sengaja pihak lain yang tidak bertanggung jawab menularkannya tanpa ada perasaan bersalah.
Kapan berakhirnya bila di luar sana masih banyak praktek yang seperti ini?. Perlu adanya tindakan yang lebih ketat untuk menghindari hal serupa di berbagai tempat agar tidak terulang lagi. Yang pasti melalui kesadaran pribadi, upaya menyusutkan "keganasan" virus ini dengan jujur dalam pelaksanaan pemeriksaan test rapidnya sendiri, selain dari kepatuhan masyarakat untuk mengikuti protokol kesehatan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H