Adeimantus berpendapat bahwa jika orang bersikap adil karena rasa takut, itu menunjukkan bahwa Keadilan sebenarnya berasal dari Yang tidak Adil dan hanya didorong oleh kepentingan diri sendiri, sehingga tidak benar-benar merupakan Keadilan yang sejati.
Sokrates menyajikan konsep Keadilan yang lebih kompleks daripada yang umumnya dipahami orang. Baginya, Keadilan berkaitan dengan kesatuan dan keteraturan, mengatasi perselisihan kecil dan kekacauan dari luar. Keadilan melibatkan pemahaman diri dan suatu proses penataan diri untuk mengetahui apa yang seharusnya dilakukan.
Sokrates menyimpulkan bahwa bertindak adil membawa kebahagiaan karena Keadilan terkait dengan tatanan dan keselarasan. Meskipun seseorang memiliki kekayaan material, tanpa Keadilan dalam hidupnya, ia akan merasa bingung, meragukan dirinya sendiri, dan hidup dalam ketakutan.
Bagi Sokrates, Keadilan adalah sesuatu yang alamiah dan internal. Pemahaman diri dan pengertian intelektual terhadap Keadilan ditemukan melalui pencarian kebijaksanaan, menciptakan kedamaian dalam jiwa dan harmoni dengan alam semesta. Keadilan yang dibangun dari luar, tanpa memahami diri sendiri, hanya akan menciptakan perpecahan, pertengkaran, dan kecemburuan, menghancurkan persatuan dan keselarasan dalam masyarakat.
Keadilan adalah keutamaan yang terkait dengan pengetahuan dan tindakan berkeadilan. Ini mencakup jiwa yang damai, diperoleh melalui pengetahuan intelektual tentang hakikat Keadilan, yang membawa kedamaian internal dan membuka peluang untuk membantu orang lain. Keadilan mencerminkan kualitas jiwa seseorang, menolak keinginan tidak rasional demi kesenangan pribadi.
Para filsuf Yunani melihat Keadilan sebagai obat satu-satunya yang dapat menyelamatkan Athena dari kebusukan dan keruntuhan. Dalam konteks budaya Ibrani kuno, Kitab Perjanjian Lama mengajarkan tentang hukuman yang setara dengan perbuatan yang dilakukan, bukan sebagai ajakan balas dendam. Sebaliknya, dalam budaya Kitab Perjanjian Baru, Yesus Kristus mengajarkan cinta terhadap sesama manusia dan bahkan terhadap musuh, menekankan prinsip memberikan sebelum menerima.
Perbincangan tentang Keadilan di Indonesia telah dijalankan sejak awal berdirinya negara dan dinyatakan dalam Pancasila sebagai dasar negara. Sila ke-5 Pancasila, yaitu Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, dianggap sebagai implementasi konkret dari prinsip-prinsip Pancasila.
Prinsip keadilan dianggap sebagai inti dari moral ketuhanan, landasan perikemanusiaan, simpul persatuan, dan matra kedaulatan rakyat. Keadilan Sosial menjadi cerminan imperatif etis dari nilai-nilai lainnya dalam Pancasila.
Dalam konteks pengamalan sila ke-5 Pancasila, termaktub dalam Ketetapan MPR No. II/MPR/1978 dan diperbaharui oleh Ketetapan MPR No. I/MPR/2003, dijelaskan beberapa aspek praktis yang mencakup kegiatan yang luhur, sikap adil terhadap sesama, menjaga keseimbangan hak dan kewajiban, menghormati hak orang lain, memberi pertolongan, dan tidak menggunakan hak milik untuk tindakan merugikan kepentingan umum.
Pemahaman Keadilan ini mencerminkan prinsip-prinsip moral dari para filsuf Yunani seperti Plato, Aristoteles, Augustinus, dan Aquinas. Plato menyatakan bahwa Keadilan adalah keutamaan moral yang menata aturan secara rasional, sementara Aristoteles melihatnya sebagai hukum yang menjamin kesetaraan dan mencegah ketidaksetaraan.
Pandangan tersebut juga terdapat dalam berbagai pemikiran filosofis seperti Hobbes, Hume, Kant, Mill, dan Rawls, yang masing-masing menekankan elemen keadilan sebagai dasar moral dan etika dalam masyarakat.