Mohon tunggu...
Seiri
Seiri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Fakultas Ekonomi dan Bisnis Prodi S1 Akuntansi Universitas Mercu Buana

Nama : Seiri NIM : 43222010166 No. Absen : 35 Dosen Pengampu : Prof Dr. Apollo, M.Si.AK

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

TB2 Diskursus Gaya Kepemimpinan Dewa Ruci Werkudara pada Upaya Pencegahan Korupsi di Indonesia

12 November 2023   00:45 Diperbarui: 12 November 2023   00:45 354
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://i.ytimg.com/vi/1ZkIJo0wmdo/maxresdefault.jpg

Guru Durna memerintahkan Sena menemukan air suci Prawitasari. Kata prawita berasal dari kata pawita yang artinya bersih, suci, sementara kata sari artinya inti. Jadi, prawitasari adalah inti atau sari daripada ilmu suci.

Air suci itu disebut ada di hutan Tikbrasara, di lereng Gunung Reksamuka. Kata tikbra artinya prihatin dan sara berarti tajamnya pisau; makna ini melambangkan pelajaran untuk mencapai lendeping cipta (tajamnya cipta). Kata reksa itu berarti memelihara atau mengurusi dan muka adalah wajah; jadi, reksamuka itu adalah mencapai sari ilmu sejati melalui samadi.

Sebelum melakukan samadi, orang harus membersihkan atau menyucikan badan dan jiwanya dengan air. Pada saat samadi dia harus memusatkan ciptanya dengan fokus pandangan pada pucuk hidung.

Pandangan atau paningal sangatlah penting pada waktu samadi. Seseorang yang mendapatkan restu zat yang suci mampu melihat kenyataan, antara lain melalui cahaya atau sinar yang datang kepadanya pada saat samadi. Dalam cerita wayang, digambarkan bahwasanya Resi Manukmanasa dan Bengawan Sakutrem bisa pergi ke tempat suci melalui cahaya suci.

Di hutan, Sena diserang dua raksasa, Rukmuka dan Rukmala. Dalam pertempuran yang hebat Sena dapat membunuh keduanya, berarti Sena berhasil menyingkirkan halangan agar samadinya berhasil. Rukmuka: ruk = rusak serta melambangkan hambatan yang berasal dari makanan yang enak (kemukten). Rukmakala: rukma berarti emas dan kala adalah bahaya, menggambarkan rintangan yang datang dari kemewahan kekayaan material, seperti pakaian, perhiasan, emas permata dan lain-lain (kamulyan).

Sena tidak dapat melaksanakan samadinya dengan sempurna apabila pikirannya masih dipenuhi kamukten dan kamulyan dalam kehidupan, karena kamukten dan kamulyan akan menutupi ciptanya yang jernih; terbunuhnya dua raksasa tersebut dengan gamblang menjelaskan bahwa Sena bisa menghapus halangan-halangan tersebut.

Sena akhirnya tahu bahwa air suci itu tidak ada di hutan, tetapi sebenarnya ada di dasar samudra. Tanpa ragu-ragu ia menuju ke samudra. Ingatlah kepada perkataan Samudra Pangaksama yang berarti orang baik semestinya punya hati bak luasnya samudra, yang dengan mudah memaafkan kesalahan orang lain.

Ular adalah simbol kejahatan. Sena membunuh ular itu dalam satu pertarungan seru. Di sini digambarkan bahwa dalam pencarian mendapatkan kenyataan sejati, tidaklah cukup jika mengesampingkan kamukten dan kamulyan, namun juga harus menghilangkan kejahatan di dalam hatinya. Untuk itu dia harus mempunyai sifat-sifat berikut:

  • Rila: tidak susah hati jika kekayaannya berkurang, tidak iri kepada orang lain.
  • Legawa: harus selalu bersikap baik dan benar.
  • Nrima: bersyukur menerima jalan hidup dengan sadar.
  • Anoraga: rendah hati, jika ada orang yang berbuat jahat kepadanya ia tak akan membalas dan berusaha tetap sabar.
  • Eling: tahu mana yang benar dan salah, senantiasa berpihak kepada kebaikan dan kebenaran.
  • Santosa: selalu di jalan yang benar, tidak pernah berhenti berbuat benar, selalu waspada dan menghindari perbuatan jahat.
  • Gembira: bukan berarti senang karena bisa melaksanakan kehendak/nafsunya, namun merasa tenteram, melupakan kekecewaan dari kesalahan-kesalahan dan kerugian yang terjadi di masa lalu.
  • Rahayu: kehendak untuk senantiasa berbuat baik demi kepentingan bersama.
  • Wilujengan: menjaga kesehatan, kalau sakit diobati.
  • Marsudi kawruh: selalu mencari dan mempelajari ilmu yang benar.
  • Samadi.
  • Ngurang-ngurangi: makan hanya ketika telah lapar, makan tidak perlu banyak dan tidak harus memilih makanan yang enak-enak: minum secukupnya pada waktu sudah haus dan tak perlu harus memilih minuman yang lezat; tidur pada waktu sudah mengantuk dan tidak harus tidur di kasur yang tebal dan nyaman; tidak boleh terlalu sering bercinta dan itu pun hanya boleh dilakukan dengan pasangannya yang sah.

Upaya Pencegahan Korupsi di Indonesia

Upaya pencegahan korupsi di Indonesia dapat diilhami dan diperkuat oleh ajaran moral dan filsafat hidup yang terkandung dalam kisah Dewa Ruci Werkudara. Meskipun kisah ini berasal dari cerita pewayangan Jawa, prinsip-prinsip yang terkandung di dalamnya dapat diaplikasikan dalam konteks pencegahan korupsi di masyarakat modern. Berikut adalah beberapa aspek upaya pencegahan korupsi yang dapat diambil sebagai pembelajaran dari kisah Dewa Ruci:

  • Kepatuhan Murid kepada Guru:

Dewa Ruci menunjukkan kepatuhan yang tinggi terhadap ajaran guru Durna dalam mencari air suci Prawitasari. Dalam konteks pencegahan korupsi, kepatuhan terhadap hukum, aturan, dan nilai-nilai moral yang diwariskan oleh pemimpin atau lembaga pembinaan moral sangat penting. Mendorong budaya kepatuhan dan integritas dapat mengurangi potensi tindakan korupsi.

  • Kemandirian Bertindak:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun