Mohon tunggu...
Jay Z. Pai
Jay Z. Pai Mohon Tunggu... Full Time Blogger - menulis saja

suka musik dan jalan - jalan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kedalaman Laut

6 Agustus 2021   15:13 Diperbarui: 9 Agustus 2021   09:36 430
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari-hari mereka lalui dengan kesulitan. Di dorong oleh kondisi yang menggenaskan itu akhirnya orang tuanya putar haluan kembali jadi nelayan, menangkap ikan dan mencari kerang. Sesekali ibunya menjajakan gorengan dan kue kampung untuk membantu bapaknya.

Pada satu malam yang dingin, bulan begitu terang dan itu adalah sebaiknya waktu untuk pergi melaut. Ikan biasanya berkumpul di bawah sinar bulan yang menembus permukaan air laut sampai dikedalaman.

"Aku akan pergi, ini waktu yang tepat, mungkin kembali besok pagi".

Pria nelayan kemudian mengambil bekal untuk satu malam, menyediakan alat pancing dan umpan. Tak lupa pula jaket dan penutup kepala yang telah disediakan istrinya.

"Hati-hati, akhir-akhir ini cuaca sering berubah tiba-tiba".

Sebelum berangkat dia pergi ke kamar dulu untuk sejenak meninggalkan kecupan di kening Laut kecil yang sedang lelap. Setelah itu dia pergi menerobos lautan.

Sayangnya, itu adalah kali terakhir dia melihat istri dan anaknya. Pria nelayan tidak pernah kembali lagi. Hanya terdengar berita dari seberang. Ada nelayan yang ditemukan mengapung diperairan negeri jiran tanpa nyawa.

Laut kecil yang belum mengerti apa-apa, seringkali melihat ibunya duduk di depan pintu sambil menitikan air mata. Setiap hari seperti itu, bahkan kadang-kadang bicara sendiri. Kondisi fisik ibunya semakin drop, matanya cekung dengan lingkaran hitam dibawahnya tanda kurang istirahat, sedang tubuhnya bagai tulang bungkus kulit.

Satu tahun kemudian setelah keperguan bapaknya, tenda terpasang di depan rumah mereka. Orang-orang berkumpul sambil melantunkan bahasa yang masih belum dimengerti oleh Laut kecil. Itu kumandang bahasa do'a untuk ibunya yang telah tiada. Umurnya baru enam tahun, dia sudah kehilangan kedua orang tuanya.

Kini tinggal neneknya yang tersisa. Mereka berdua menjalani hidup seperti biasanya. Sekali waktu, neneknya terpikir untuk menitipkan Laut kecil pada adik mendiang bapaknya.

Di suatu pagi saat akan berangkat sekolah, dia menatap foto mendiang ibu-bapaknya lama-lama. Wajahnya sendu, ada air mata yang tak kunjung keluar. Seperti rindu yang di pendam dalam-dalam. Tetapi dia tidak juga bisa menangis. Padahal apa yang paling manusiawi dari manusia kalau bukan menangis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun