Kopi Pulang terletak di samping pinggir jalan, kompleks Tanjung Batu Kota Manado tepat berdampingan dengan Kantor Pegadaian. Jika anda berniat, anda akan langsung menemukannya. Minggu lalu saya sempat mengunjungi kedai ini. Pengalaman yang saya tuliskan ini hasil cerita dengan pemiliknya. Jika anda penasaran, anda bisa langsung datang melihat dan menikmatinya sendiri. Harganya juga cukup terjangkau bagi kalangan kelas menengah-bawah seperti saya.
Selain dua keunikan tersebut, kedai kopi ini juga memiliki cerita yang menarik tentang bagaimana mereka bertahan di tengah pandemik covid-19. Saya akan coba mengulas itu dalam paragraf berikutnya. Â
***
Salah satu elemen penting dalam laku ekonomi seperti kedai kopi ialah adanya kebiasaan kumpul-kumpul. Kita semua tau itu. Akan tetapi mewabahnya pandemik covid awal tahun lalu jelas merubah segalanya. Dalam rangka menekan angka penyebaran covid-19 maka interaksi sosial harus dibatasi : orang di larang berkumpul. Akhirnya perilaku kumpul-kumpul atau nongkrong nyaris hilang karena setiap orang disarankan bekerja dari rumah (work from home).
Persoalan itu cukup menyibukkan pemerintah untuk menata ekonomi warga hingga negara. Banyak bisnis ekonomi mengalami kemandekan. Hotel-hotel, rumah makan bahkan pasar tradisional yang menjadi salah satu penyangga kebutuhan pokok sehari-hari harus di tutup, tak terkecuali kedai kopi.
Beberapa pelaku bisnis menengah-atas akhirnya gulung tikar karena tidak mampu bertahan melewati krisis. Bagi pelaku bisnis yang sudah lama saja, dalam artian sudah di kenal dan memiliki pelanggan tetap, kebijakan pembatasan sosial cukup merepotkan. Apalagi bagi Kedai Kopi yang baru seumur jagung seperti Pulang.
Kedai Kopi Pulang berdiri tepatnya maret tahun lalu, tepat dimana pandemik menghantam Indonesia dan diumumkan sebagai bencana nasional (non-alam). Hal itu tidak mudah bagi kedai kopi seperti Pulang yang baru saja berdiri. Tanpa pelanggan bagaimana membayangkan adanya pemasukan. Sementara, membangun kedai kopi di Manado anggaranya tidak kecil. Kalkulasi biaya sewa tempat, fasilitas dan gaji karyawan harus terukur dengan benar. Jika tidak, maka kedai kopi ini hanya akan menambah daftar bisnis ekonomi kelas menengah yang gagal sebelum waktu panen tiba.
Kondisi tersebut membuat pemilik kedai kopi Pulang harus memutar otak untuk mencari cara bertahan di tengah krisis. Bagaimana mendapatkan pelanggan saat orang-orang diarahkan beraktifitas dari rumah, saat dimana interaksi sosial warga dibatasi.
Bagaimana caranya kedai kopi ditutup tapi tetap bisa jualan. Ini rumit, dari kalimatnya saja kontradiktif. Tutup tapi tetap buka itu bagaimana caranya. Ternyata yang dimaksud dengan itu ialah kedai di tutup untuk kumpul-kumpul dan ngopi di tempat. Namun kopi tetap di jual dengan cara take a way.
Sebenarnya pola demikian sudah lama, setelah beli langsung pulang, mirip mekanisme drive thru. Bahkan sebelum pandemik beberapa kedai kopi sudah menjalankannya. Yang rumit dari hal ini adalah merawat semangat melawan krisis. Akhirnya pemilik Kedai Kopi Pulang segera merubah mekanisme penjualannya.
Dengan cara para karyawan berjejer di depan kedai kopi dan melayani customer menggunakan pola take a way. Karena baru berdiri, kedai kopi ini baru memiliki dua orang karyawan, dengan keterbatasan seperti itu memang awalnya rumit dan membutuhkan penyesuaian. Belum lagi berhadapan dengan para pelanggan yang tetap ingin nongkrong sambil ngopi. Itu menambah persoalan lain.
Sebuah posisi yang cukup dilematis untuk sebuah kedai kopi yang baru saja berdiri. Di satu sisi harus memenuhi keinginan pelanggan, namun di sisi lain akan menabrak aturan pemerintah soal pembatasan sosial, jika dipaksakan ujungnya bisa dikenai sanksi. Sehingga untuk menghadapi pelanggan yang keras kepala diperlukan kesabaran tingkat dewa, jika kita tidak ingin kehilangan pelanggan maka harus berhati-hati dalam menjelaskan, sebab tamu adalah raja.