Mohon tunggu...
Saini
Saini Mohon Tunggu... Dosen - Aktivis

Menulis adalah Jariyah Akhirat

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Keputusan MUI Melarang Salam Lintas Agama, Sudah Tepatkah?

2 Juli 2024   13:53 Diperbarui: 2 Juli 2024   13:54 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Majelis Ulama Indonesia (MUI) baru-baru ini mengeluarkan fatwa yang melarang penggunaan salam lintas agama, memicu perdebatan di kalangan masyarakat dan akademisi. Keputusan ini membawa dampak signifikan terhadap praktik toleransi dan kerukunan antarumat beragama di Indonesia, sebuah negara yang dikenal dengan keberagamannya. Untuk memahami apakah keputusan MUI ini sudah tepat, kita perlu menelaah berbagai aspek dari perspektif teologis, sosial, dan kultural.

Perspektif Teologis

Dari sudut pandang teologis, keputusan MUI tersebut didasarkan pada upaya menjaga kemurnian ajaran tauhid dalam Islam. Tauhid, yang menekankan keesaan Allah, adalah inti dari keyakinan Islam. Mengucapkan salam lintas agama bisa dipersepsikan sebagai pengaburan identitas Allah dan peran Nabi Muhammad sebagai rasul terakhir. Dengan demikian, MUI berusaha mempertahankan prinsip teologis yang sangat mendasar bagi umat Muslim.

Perspektif Sosial

Namun, dari perspektif sosial, larangan ini bisa dilihat sebagai penghalang terhadap dialog dan kerukunan antaragama. Indonesia adalah negara dengan keragaman agama yang tinggi, dan praktik salam lintas agama sering dianggap sebagai gestur kecil namun bermakna untuk menunjukkan penghormatan dan memperkuat kohesi sosial. Mengharamkan salam lintas agama bisa memperkuat sekat-sekat antarumat beragama dan menimbulkan ketegangan yang tidak perlu.

Perspektif Kultural

Secara kultural, salam lintas agama juga mencerminkan kebiasaan lokal yang berakar pada nilai-nilai gotong royong dan keharmonisan. Dalam budaya Indonesia, memberikan salam adalah bentuk keramahan dan penghormatan yang melampaui batas-batas agama. Larangan ini mungkin dianggap bertentangan dengan nilai-nilai kultural yang sudah lama dipegang masyarakat Indonesia.

Moderasi Beragama

Moderasi beragama mengajarkan keseimbangan antara pemeliharaan keyakinan teologis dan penghormatan terhadap perbedaan agama. Keputusan MUI bisa dipahami sebagai upaya menjaga keteguhan iman, namun perlu diimbangi dengan inisiatif untuk mendorong dialog antaragama melalui cara-cara lain. Misalnya, mengadakan forum-forum diskusi yang melibatkan pemimpin agama dari berbagai kepercayaan untuk memperkuat pemahaman bersama.

Kesimpulan

Apakah keputusan MUI sudah tepat? Jawabannya bergantung pada perspektif yang kita gunakan. Dari sudut pandang teologis Islam, keputusan ini bisa dianggap tepat untuk menjaga kemurnian ajaran agama. Namun, dari perspektif sosial dan kultural, larangan ini bisa menimbulkan dampak negatif terhadap upaya membangun kerukunan antarumat beragama di Indonesia.

Untuk mencapai keseimbangan, penting bagi MUI dan komunitas agama lainnya untuk terus mengedepankan dialog dan mencari cara-cara kreatif dalam mempromosikan toleransi tanpa harus mengorbankan prinsip-prinsip teologis yang mendasar. Dengan demikian, kita dapat merawat keutuhan iman sekaligus membangun masyarakat yang harmonis dan inklusif.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun