Majelis Ulama Indonesia (MUI) baru-baru ini mengeluarkan fatwa yang melarang penggunaan salam lintas agama, memicu perdebatan di kalangan masyarakat dan akademisi. Keputusan ini membawa dampak signifikan terhadap praktik toleransi dan kerukunan antarumat beragama di Indonesia, sebuah negara yang dikenal dengan keberagamannya. Untuk memahami apakah keputusan MUI ini sudah tepat, kita perlu menelaah berbagai aspek dari perspektif teologis, sosial, dan kultural.
Perspektif Teologis
Dari sudut pandang teologis, keputusan MUI tersebut didasarkan pada upaya menjaga kemurnian ajaran tauhid dalam Islam. Tauhid, yang menekankan keesaan Allah, adalah inti dari keyakinan Islam. Mengucapkan salam lintas agama bisa dipersepsikan sebagai pengaburan identitas Allah dan peran Nabi Muhammad sebagai rasul terakhir. Dengan demikian, MUI berusaha mempertahankan prinsip teologis yang sangat mendasar bagi umat Muslim.
Perspektif Sosial
Namun, dari perspektif sosial, larangan ini bisa dilihat sebagai penghalang terhadap dialog dan kerukunan antaragama. Indonesia adalah negara dengan keragaman agama yang tinggi, dan praktik salam lintas agama sering dianggap sebagai gestur kecil namun bermakna untuk menunjukkan penghormatan dan memperkuat kohesi sosial. Mengharamkan salam lintas agama bisa memperkuat sekat-sekat antarumat beragama dan menimbulkan ketegangan yang tidak perlu.
Perspektif Kultural
Secara kultural, salam lintas agama juga mencerminkan kebiasaan lokal yang berakar pada nilai-nilai gotong royong dan keharmonisan. Dalam budaya Indonesia, memberikan salam adalah bentuk keramahan dan penghormatan yang melampaui batas-batas agama. Larangan ini mungkin dianggap bertentangan dengan nilai-nilai kultural yang sudah lama dipegang masyarakat Indonesia.
Moderasi Beragama
Moderasi beragama mengajarkan keseimbangan antara pemeliharaan keyakinan teologis dan penghormatan terhadap perbedaan agama. Keputusan MUI bisa dipahami sebagai upaya menjaga keteguhan iman, namun perlu diimbangi dengan inisiatif untuk mendorong dialog antaragama melalui cara-cara lain. Misalnya, mengadakan forum-forum diskusi yang melibatkan pemimpin agama dari berbagai kepercayaan untuk memperkuat pemahaman bersama.
Kesimpulan
Apakah keputusan MUI sudah tepat? Jawabannya bergantung pada perspektif yang kita gunakan. Dari sudut pandang teologis Islam, keputusan ini bisa dianggap tepat untuk menjaga kemurnian ajaran agama. Namun, dari perspektif sosial dan kultural, larangan ini bisa menimbulkan dampak negatif terhadap upaya membangun kerukunan antarumat beragama di Indonesia.
Untuk mencapai keseimbangan, penting bagi MUI dan komunitas agama lainnya untuk terus mengedepankan dialog dan mencari cara-cara kreatif dalam mempromosikan toleransi tanpa harus mengorbankan prinsip-prinsip teologis yang mendasar. Dengan demikian, kita dapat merawat keutuhan iman sekaligus membangun masyarakat yang harmonis dan inklusif.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H