Mohon tunggu...
Zaim DzakySan
Zaim DzakySan Mohon Tunggu... Seniman - Wartawan, Guru

Seorang manusia biasa yang biasa-biasa saja

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Konsep Post-Modernisme Jameson dalam Taman Budaya Medan

14 September 2023   06:53 Diperbarui: 14 September 2023   06:55 355
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dunia terus berputar. Zaman pun terus berganti seiring berjalannya kehidupan. Pola pikir masyarakat dan berbagai kebiasaan pun berubah. Pada tahun 1960-an, budaya, pemikiran sosial, dan filsafat terus berkembang.

            Perkembangan tersebut dipengaruhi dengan berbagai kritik kultural maupun sosial terhadap kondisi modernitas yang melahirkan kecemasan, ketidakadilan, pembantaian, dan perang.

            Dikarenakan pola pikir masyarakat yang berkembang tersebut, hal itu menjadi perbincangan di kalangan fisul, budayawan, politikus, dan para ilmuan sosial. Hingga saat ini, permasalahan perkembangan zaman itu membuat ratusan literatur di segala bidang yang masih terus diperdebatkan yang disebut dengan post-modernisme. Salah satu tokoh yang terlibat dalam hal tersebut adalah Fredic Jameson.

            Bagi Jameson, perkembangan tersebut ingin membuat formasi sosial baru yang berbeda dari sosial kapitalisme. Yaitu sosial-budaya yang lebih mementingkan logika budaya multinasional.

            Fredic Jameson adalah seorang kritikus budaya dan dikenal penyokong utama tradisi teori kritis Marxisme Barat. Ia dikenal sebagai teoritisi politik Marxis sekaligus seorang kritikus sastra.

            Jameson lahir di Cleveland pada tahun 1934. Setelah tamat dari kuliahnya di Haverford College saat tahun 1954, ia sering berpergian ke Eropa untuk belajar perkembangan baru filsafat kontinental termasuk strukturalisme.

Awal Kemunculan Post-modernisme

            Post-modernisme (Postmo) mulai muncul tahun 1960-an. Di masa tersebut, dunia telah jauh berkembang dari masa-masa sebelumnya yang ditandai dengan perubahan seperti lapangan kemasyarakatan, kesenian, kebudayaan, kesusasteraan, dan dunia Arsitektual (Fredic Jameson, 1999: 1-3).

            Seperti dalam bidang kesenian, banyak muncul penolakan estetis dan ideologis terhadap gerakan seni modern seperti penolakan terhadap ekspresionisme abstrak dalam lukisan. Atau dalam kesusasteraan, muncul penolakan atas keyakinan adanya representasi akhir dalam novel dan juga atas aliran puisi modernis seperti contoh puisi dalam karya Wallace Stevens.

            Kemudian, muncullah bentuk-bentuk ekspresi wajah budaya baru yang coraknya tampak lebih heterogen, empiris, dan chaotic. Misalnya dalam seni populer yang terdapat photorealisme, dalam musik ada sintetis style klasik dan populer, ada budaya punk, ada gelombang baru musik rock, dan munculnya cinema/video eksperimental dan juga tipe baru film-film komersial lainnya.

            Selain itu, ada juga perubahan yang sangat jelas di bidang arsitektur. Bagi Jameson, perdebatan di bidang arsitekturlah awal munculnya persoalan istilah post-modernisme. Ia membedakan bentuk arsitektur modernisme tinggi dengan arsitektur post-modernisme.

            Menurutnya, arsitektur modernisme tinggi merusak karya cipta model tradisional dan kultur budaya turun-temurun dengan menggantinya memakai model bangunan tinggi yang menjulang ke angkasa yang berkesan angkuh dan tampak otoritan.

            Sementara itu, post-modern mengkritik hal semacam tersebut. Post-modern lebih bersifat populis karena hilangnya batas-batas antara budaya tinggi dan budaya massa. Populisme ini bukan hanya tampak di arsitektural saja, tetapi juga di budaya massa atau barang budaya komersial yang bisa diproduksi secara massal dan dikonsumsi oleh semua masyarakat luas. 

Post-modernisme Fredic Jameson

            Masyarakat post-modern ditandai oleh kedangkalan dan kekurangdalaman. Produk kulturan dipenuhi dengan citra kedangkalan. Maksudnya, sebuah karya yang diciptakan manusia bersifat duplikat atau tidak asli. Contohnya seperti seseorang yang menggambar bentuk pulpen yang mirip dengan aslinya. Itu ia anggap sebagai duplikat/simulacrum.

            Lalu, ia menganggap post-modern ditandai dengan kelesuan emosi. Artinya, sebuah ciptaan manusia di dunia tidak memiliki perasaan yang mendalam. Berbeda dengan ciptaan manusia tahun-tahun sebelumnya yang memiliki emosi mendalam dan penuh arti.

            Ia juga menganggap bahwa post modern muncul ditandai dengan hilangnya kesejarahan yang membuat masyarakat tidak lagi dapat mengetahui cerita masa lalu. Oleh karena itu, para sejarahwan akan sulit untuk meneliti dan mengkaji kebenaran mengenai masa lalu. Mereka tidak mungkin bisa mengumpulkan secara logis tentang masa lalu dan hanya mengandalkan Pastiche, yaitu pemikiran yang kontradiktif serta membingungkan tentang masa lalu.

            Terakhir, Jameson mengatakan bahwa perkembangan teknologi baru sangat erat kaitannya dengan masyarakat post-modernisme. Contoh nyatanya ialah perkembangan teknologi perakitan mobil yang sudah diambil alih oleh robot, begitu juga dengan halnya media elektronik serta komputer. Hal tersebut menurut Jameson menjadikan manusia menciptakan image datar. Teknologi itu menghasilkan kebudayaan yang datar ketimbang produk kebudayaan modern.

Masalah Eks Taman Budaya Sumatra Utara (TBSU)

Taman Budaya Sumatra Utara (TBSU) yang sekarang berganti nama menjadi Taman Budaya Medan terletak di Jalan Perintis Kemerdekaan, Kota Medan. Taman Budaya itu sudah berdiri sejak tahun 1969 yang diresmikan pada 17 Maret 1977.

            Taman Budaya adalah sebuah bangungan/institusi pemerintah yang dibuat untuk masyarakat dalam menyalurkan seni dan budaya di Sumatra Utara terkhususnya di Kota Medan.

            Banyak seniman, sastrawan, dan penyair yang lahir di tempat itu. Selain itu juga banyak seniman, sastrawan, penyair, dan pengunjung yang hadir dari seluruh Indonesia untuk menyaksikan pertunjukan seni terkhususnya pentas drama.

            Namun, saat ini Taman Budaya tersebut sudah berubah 360 drajat. Sanggar-sanggar dan komunitas kesenian sudah tidak terlihat lagi. Yang dulunya gerbang dan portal selalu terbuka, sekarang terkadang sudah ditutup. Hanya yang mempunyai keperluan yang boleh masuk. Padahal dulu Taman Budaya dibuka selama 24 jam.

            Hal itu terjadi setelah Taman Budaya dambil alih oleh Pemerintahan Kota (Pemko) Medan. Itulah mengapa TBSU berganti nama menjadi Taman Budaya Medan. Sedangkan TBSU dipindahkan ke kawasan Pekan Raya Sumatra Utara (PRSU).

            Kini bangunan tersebut sudah dikelola oleh Dinas Pendidikan dan Budaya (Disdikbud) dan mulai giat melaksanakan kegiatan seni dan pertunjukan pelajar dari awal tahun 2023 ini. Revitalisasi pun banyak dilakukan untuk memperindah gedung kesenian tersebut.

            Persoalannya, gedung kesenian tersebut sudah berubah. Pesona yang seperti dulu sudah tidak terlihat lagi apalagi banyak seniman yang 'diusir' dari sana karena alasan bangunan yang tidak sesuai peruntukannya. Baik yang bernyawa maupun tidak bernyawa wajib keluar dari sana.

            Walau TBSU sudah dipindahkan, banyak seniman Kota Medan bahkan di luar Kota Medan ingin Eks TBSU tersebut dijadikan gedung kesenian yang layak, yang pantas untuk diisi oleh seniman-seniman. Namun banyak seniman, sastrawan, atau penyair yang kurang puas dengan persoalan gedung kesenian tersebut.

            Mereka (Para seniman) tidak mau Taman Budaya itu menjadi seperti Taman Ismail Marzuki (TIM) yang diserahkan kepada pihak investor untuk memangun sebuah resort/hotel di TIM. Mereka tidak mau gedung kesenian itu dijadikan lumbung mendapatkan uang dan keuntungan sebanyak-banyaknya, bukannya mementingkan keindahan seni budaya.

            Sekitar tahun 2020-an, seniman-seniman Kota Medan yang tergabung dalam Forum Seniman Peduli Gedung Kesenian membuat suatu gerakan yang bertema #SaveTamanBudaya. Mereka membuat spanduk besar dan menampilkan kesenian di depan Taman Budaya tepatnya di pinggir Jalan Perintis Kemerdekaan. Selain itu, mereka juga membuat aksi koin 1000 untuk mendukung Eks TBSU tersebut menjadi Gedung Kesenian.

            Di tahun sekarang ini, tampak dari luar Jalan Perintis Kemerdekaan bacaan Taman Budaya Medan. Namun ketika masuk ke dalam, maka akan terpampang nyata bacaan Dinas Pendidikan Kebudayaan Kota Medan yang sebelumnya tertulis Pemerintah Provinsi Sumatra Utara Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Taman Budaya. Hal itu karena salah satu ruangan yang berada di depan gerbang masuk Taman Budaya merupakan kantor Dinas Pariwisata Kota Medan. Padahal, jika dicari kantor dinas tersebut itu berada di Jalan Prof HM Yamin, Kota Medan.

            Oleh karena itulah gerbang utama beserta portalnya ditutup, sehingga akses para seniman untuk memasuki area gedung itu terhambat. Para seniman khususnya yang di Kota Medan tidak bisa lagi berkreasi, tidak bisa lagi berlatih, dan tidak bisa lagi bertukar pendapat mengenai budaya maupun sastra. Jadi, para seniman, penyair, dan sastrawan banyak melakukan kegiatan kesenian yang berada di luar Eks TBSU tersebut seperti di cafe-cafe, rumah, dan membuat sendiri tempat untuk berkreasi.

            Ada pun komunitas atau sekelompok masyarakat yang ingin menggunakan fasilitas Eks TBSU tersebut harus merogoh kocek sebesar hampir 1 juta rupiah. Itu pun untuk ruangan bekas Sanggar Tari yang berada di ujung koridor dan dengan fasilitas beberapa kursi serta listrik. Sebab, Gedung Utama Taman Budaya sedang direnovasi sejak tahun 2020 akhir.

Padahal, sebelum Eks TBSU itu diambil alih oleh Pemko Medan, semua biaya sewa gedung itu gratis, hanya membayar uang kebersihan saja yang paling tinggi atau rata-rata senilai 500 ribu rupiah. Salah satu hal itulah yang menjadi pertimbangan para seniman untuk berkreasi di sana.

            Lalu, dari akhir tahun 2020 sampai akhir tahun 2023 ini, Eks TBSU atau kalau dari luar bernama Taman Budaya Medan atau juga jika dilihat bacaan dari dalamnya bertulis Dinas Pariwisata Kota Medan tidak jauh berbeda bentuknya. Hanya merubah Open Stage dan halamannya saja. Bagian gedung lainnya belum berubah dan malah salah satu ruangan teater dijadikan tempat rapat untuk dinas terkait di dalamnya.

Post-modern Fredic Jameson Soal Eks TBSU

  • Post-modern yang memiliki citra kedangkalan

Pertama, Jameson mengatakan bahwa post-modern ditandai dengan produk kultural/budaya dipenuhi dengan citra kedangkalan. Di Eks TBSU, yang mengelola sekarang ini (dinas terkait) memiliki citra yang dangkal. Sebab yang dahulunya gedung kesenian itu merupakan tempat para seniman, komunitas, dan masyarakat berkreasi seni, sekarang sudah tidak bisa atau terbatas (dalam hal biaya dan syarat tertentu sesuai perjanjian persewaan gedung/tempat).

            Mereka (si pengelola) dengan sengaja 'mengusir' para seniman dan barang-barangnya dari Eks TBSU dengan tujuan untuk merevitalisasinya (proses untuk menghidupkan kembali suatu hal yang kurang terberdaya) dan membangun ulang bangunan tersebut. 

            Nyatanya, dari tahun 2020 hingga tahun 2023 ini hal revitalisasi itu belum terlihat. Mereka (si pengelola dinas terkait) hanya menggelar acara kesenian di bidang pendidikan tepatnya berada di open stage, karena di Eks TBSU itu sudah ditempat Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kota Medan.

            Sementara itu, masih banyak ruangan-ruangan yang belum direvitalisasi seperti gedung utama, ruang tari, mushola, ruang musik, ruang sanggar, dan banyak lagi. Bahkan ada ruangan yang dijadikan kantor Dinas Pariwisata Kota Medan.

            Sebelum TBSU dipindahkan ke PRSU, kegiatan kesenian masih banyak digelar oleh komunitas-komunitas dari Kota Medan dan luar Kota Medan seperti Komunitas Mak Yong, Komunitas Kata-kata yang selalu membaca puisi tiap minggunya, pentas seni drama yang dilakukan sekolahan dan sanggar-sanggar, dan pelatihan-pelatihan seni maupun sastra.

  • Kelusuhan Emosi

Menurut Jameson, post-modern lahir ketika para masyarakat mengalami kelusuhan emosi. Maksudnya, perasaan para masyarakat sudah menghilang. Mereka (masyarakat) kurang untuk berekspresi tentang apa yang dirasakan dan dipikirkannya.

Di Eks TBSU tersebut, pihak terkait (Pemko Medan) nyatanya selama kurang lebih tiga tahun belum melakukan revitalisasi. Itu tandanya emosi apa yang dipikirkannya sudah berkurang atau sama sekali tidak ada. Sebab jika ada, revitalisasi pasti sudah berjalan banyak sehingga melebihi aktivitas sebelum Eks TBSU diambil alih oleh Pemko Medan.

            Contohnya saja yang dikatakan Walikota Medan Bobby Nasution bahwa revitalisasi Eks TBSU tersebut tidak akan menggunakan dana APBD Kota Medan, tetapi ingin menggunakan dana dari pihak investor yang jika didanai oleh investor, maka pihak investor pasti ingin mengambil keuntungan yang banyak.

Selain itu, renovasi Eks TBSU yang sudah dilakukan di open stage pun karena ada pelajar dari Korea Selatan datang berkunjung dan melakukan pertunjukan pada Februari 2023 lalu.

                     Sementara itu, gedung utama Eks TBSU yang dulu merupakan ruangan terpenting belum direvitalisasi. Ruangan tersebut masih dalam proses renovasi yang tidak kunjung siap hingga sekarang.  Maka, pengelola Eks TBSU sekarang ini dapat dikatakan mempunyai kelusuhan emosi yang ditandai dengan kinerja yang lambat.

  • Hilangnya Kesejarahan

                     Karena Eks TBSU diambil alih oleh Pemko Medan dan pihak Pemko Medan ingin merevitalisasi gedung kesenian tersebut, maka banyak ruangan-ruangan yang akan diubah demi memperbaiki dan memperindah pandangan. Salah satunya adalah ruangan bekas sanggar-sanggar yang berada di sudut Eks TBSU tersebut.

                     Mereka (Pemko Medan) mengubah ruangan itu menjadi stan SD dan stan SMP, bahkan akan mengubah ruangan lain di sisi stan-stan tersebut (dalam progess). Dengan begitu, maka sudah dipastikan sejarah sanggar yang sudah lama menduduki ruangan itu menjadi hilang.

                     Selain ruangan itu, halaman di Eks TBSU juga diubah seperti di depan ruang pameran. Yang dulunya di depan ruangan itu berupa rumput hijau beserta ornamen khas salah satu etnis di Sumut, sekarang berubah menjadi bangku dan meja yang terbuat dari semen seperti tempat-tempat hit zaman sekarang.

                     Ada juga halaman yang dulunya menggunakan bangku yang sudah dari dulu ada sekarang diganti dengan jenis bangku dan meja yang sama (terbuat dari semen). Ini menandakan post-modern sudah terjadi di Eks TBSU tersebut. Sehingga unsur sejarah menjadi hilang di Eks TBSU itu.

  • Penggunaan Teknologi yang Datar

                     Menurut Jameson, penggunaan teknologi di post-modern mengakibatkan masyarakat pada umumnya mempunyai sikap yang datar (image datar). Di Eks TBSU tersebut biasanya diadakan pertunjukan oleh Disdikbud atau lebih tepatnya para pelajar di Kota Medan yang menggaungkanb tema Beranda Kreatif Pelajar. Pertunjukannya itu seperti bernyanyi, melukis, senam kreasi, fashion show, dan baris berbaris.

                     Kalau dahulu di Eks TBSU menampilkan sesuatu kreasi seperti menyanyi menggunakan alat musik tradisional seperti gamelan dan sebagainya atau bahkan menggunakan alat musik seperti gitar, sekarang para masyarakat/khususnya pelajar menggunakan musik berupa audio rekaman saja yang berasal dari internet.

                     Bahkan, Pelaksana Harian (Plh) Kepala Dinas Pariwisata Kota Medan, Yudha Pratiwi Setiawan mengatakan bahwa di Eks TBSU tersebut akan dijadikan Convention Hall bertaraf internasional.

                     Convention Hall merupakan suatu ruang/wadah yang digunakan masyarakat untuk kegiatan konvensi seperti pertemuan, pameran, dan hiburan. Penggunaan convention hall ini bisa membuat para seniman atau khususnya penggiat teater/drama akan lebih terasa terasingkan. Sebab, faktanya convention hall di Indonesia lebih sering banyak digunakan dalam acara pameran yang lebih mengutamakan keuntungan uang, acara pernikahan, dan acara lainnya yang tidak berhubungan dengan nilai-nilai seni dan budaya.

                     Tentu hal itu akan membuat masyarakat khususnya para seniman mempunyai sikap yang datar terhadap perkembangan Eks TBSU yang kini menjadi Taman Budaya Medan tersebut karena rasa ketidakpuasan sebagaimana fungsi Taman Budaya semestinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun