Bersama Rakjat, Tengtara Kumat
Kembali lagi, kabar duka menyelimuti tanah Papua. Video penyiksaan brutal oleh oknum tentara terhadap warga sipil kembali beredar, menguak luka lama yang tak kunjung sembuh. Kejadian ini bukan pertama kalinya terjadi, dan menjadi pengingat kelam akan militerisme yang masih berakar kuat di Papua.
Penyiksaan terhadap warga sipil Papua tak henti dilakukan negara. Beberapa waktu lalu, beredar video penyiksaan oleh tentara kepada warga Papua. Penyiksaan itu terjadi pada awal Februari, dengan tiga orang menjadi korban dan satu diantaranya meninggal dunia di tempat. Pemuda pada vidio tersebut, Delfianus Kagoya, akhirnya juga harus meregang nyawa di Puskesmas llaga setelah vidio tersebut viral.
Di sisi lain, tentara tidak mempunyai bukti bahwa korban menjadi anggota Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN-PB). Aksi sadis tersebut bukanlah hal baru di Papua, bahkan kekejian itu berlangsung lebih dari 60 tahun. Keberadaan praktek-praktek penyiksaan yang berkelanjutan menyoroti eskalasi kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia yang terus terjadi di wilayah Papua.
Sudah seharusnya pemerintah Indonesia menghentikan militerisme dengan menarik semua tentara organik/non organik dari tanah Papua. Pendekatan dengan kekerasan tidak akan menyelesaikan masalah, justru hanya akan melanggengkan kekerasan tersebut. Langkah-langkah menuju dialog dan penyelesaian damai harus diprioritaskan untuk menciptakan lingkungan yang aman dan adil bagi semua warga Papua.
Dengan demikian, penarikan pasukan militer dapat menjadi langkah awal dalam membangun kepercayaan dan memulai proses pembangunan hubungan yang lebih baik antara pemerintah Indonesia dan masyarakat Papua.
Penyiksaan dan kekerasan yang terus terjadi di Papua adalah luka mendalam bagi bangsa ini. Sudah saatnya kita bersama-sama menentang segala bentuk kekerasan dan pelanggaran HAM. Kita harus berani menyuarakan perdamaian dan mendorong pemerintah untuk mencari solusi yang adil dan damai bagi rakyat Papua.
Masa depan Papua yang lebih cerah hanya dapat diraih melalui dialog yang tulus dan saling menghormati. Mari kita bersama-sama ciptakan Papua yang damai dan sejahtera bagi semua.
“SIKSAAN TENTARA TIADA TARA”
Data yang di keluarkan KontraS Dalam kurun Januari – Februari 2024, terdapat 7 peristiwa kekerasan kepada warga sipil yang tersebar di 3 Provinsi di Papua yaitu Papua Tengah, Papua Pegunungan, dan Papua Selatan.
Pada dasarnya Terdapat dua institusi pelaku dalam tindak kekerasan terhadap warga sipil di Papua, yaitu Institusi TNI (Tentara Nasional Indonesia) sebanyak 6 peristiwa serta TPNPB (Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat) sebanyak 1 peristiwa. Ada 5 jenis tindakan kekerasan terhadap warga sipil di Papua mencakup, penganiyaan, penangkapan sewenang – wenang, tindakan tidak manusiawi, penembakan dan penyiksaan.
Dalam kurun waktu tersebut Sebanyak 6 orang warga sipil mengalami luka serta 4 orang warga sipil tewas akibat tindak kekerasan di Papua. Salah satunya, Seorang warga sipil, Yusak Sondegau, tewas akibat tindak penembakan yang dilakukan oleh anggota Kodam Cendrawasih, yang terjadi pada tanggal 21 Januari 2024.
Juru Bicara Kodam Cendrawasih, Letkol Candra Kurniawan menyatakan bahwa Yusak merupakan anggota milisi pro-kemerdekaan Papua. Namun, pihak keluarga korban membantah tudingan itu dan berkata bahwa Yusak adalah pekebun yang juga bekerja sebagai pegawai pemerintahan Kampung Buwisiga di Distrik Homeyo.
Kasus Yusak Sondegau hanyalah satu contoh dari sekian banyak tragedi kemanusiaan yang terjadi di Papua. Kejadian ini bagaikan luka lama yang terus menganga, mengukir rasa sakit dan trauma mendalam bagi masyarakat Papua.
Penyiksaan merupakan tindakan yang tidak bermoral dan tidak dapat dibenarkan dengan alasan apapun. Aparat keamanan, dalam hal ini TNI, memiliki kewajiban untuk melindungi rakyat, bukan menyiksanya. Penegakan hukum yang tegas dan transparan terhadap pelaku penyiksaan sangat diperlukan untuk mencegah terulangnya kejadian serupa.
Pendekatan keamanan dan militerisme yang selama ini diterapkan di Papua terbukti tidak efektif. Penggunaan kekerasan justru memperparah situasi dan memperpanjang siklus kekerasan. Diperlukan pendekatan yang lebih humanis dan damai untuk menyelesaikan konflik di Papua.
Pemerintah perlu membuka ruang dialog yang inklusif dan partisipatif dengan semua pihak di Papua untuk mencari solusi damai bagi konflik. Masyarakat Papua harus dilibatkan dalam pengambilan keputusan yang terkait dengan masa depan mereka.
Penting untuk membangun budaya anti-penyiksaan dalam institusi keamanan. Institusi TNI harus diaudit dan diawasi secara ketat untuk memastikan akuntabilitas dan mencegah penyalahgunaan kekuasaan. Mekanisme pelaporan pelanggaran HAM harus dipermudah dan dijamin keamanannya bagi pelapor.
Pemerintah juga perlu fokus pada peningkatan kesejahteraan dan keadilan bagi masyarakat Papua. Pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan yang merata perlu dilakukan di Papua. Upaya penegakan hukum harus adil dan tidak diskriminatif.
Penyiksaan terhadap warga sipil Papua adalah pelanggaran HAM berat yang harus dihentikan. Pemerintah perlu mengambil langkah-langkah konkret untuk menyelesaikan konflik dengan pendekatan yang humanis, damai, dan berorientasi pada kesejahteraan rakyat.
Beberapa poin penting:
Penyiksaan adalah pelanggaran HAM berat yang tidak dapat dibenarkan.
Pendekatan keamanan dan militerisme di Papua gagal.
Diperlukan dialog dan partisipasi untuk menyelesaikan konflik.
Budaya anti-penyiksaan harus dibangun dalam institusi keamanan.
Kesejahteraan dan keadilan harus ditingkatkan di Papua.
Etika administrasi publik adalah fondasi moral yang harus dipegang teguh oleh setiap pelayan publik dalam menjalankan tugasnya. Dalam konteks kasus penyiksaan dan kekerasan di Papua, beberapa prinsip utama etika administrasi publik telah dilanggar secara serius.
Pertama, akuntabilitas terhadap tindakan yang dilakukan oleh institusi keamanan kurang, menciptakan lingkungan di mana pelaku seringkali lolos dari hukuman. Kedua, kurangnya transparansi dalam proses investigasi dan penyelidikan menghambat pencarian keadilan bagi para korban, yang berhak mendapatkan informasi yang jelas tentang kasus tersebut.
Ketiga, lambannya proses hukum yang sering kali tidak adil membuat korban merasa tidak dihargai dan frustrasi. Keempat, pendekatan keamanan yang tidak efektif justru memperburuk situasi dengan memicu lebih banyak konflik.
Kelima, penggunaan dana negara yang tidak efisien untuk operasi keamanan di Papua hanya menyia-nyiakan sumber daya dan memperparah situasi. Keenam, respons yang lamban dari pemerintah terhadap kasus penyiksaan dan kekerasan menimbulkan ketidakamanan di antara masyarakat Papua.
Terakhir, tindakan penyiksaan dan kekerasan oleh oknum tentara merusak integritas institusi TNI dan pemerintahan, menuntut tindakan tegas untuk memastikan hal semacam itu tidak terulang lagi. Dengan demikian, penegakan prinsip-prinsip etika administrasi publik menjadi kunci untuk mengatasi kasus ini secara efektif dan memulihkan kepercayaan masyarakat.
Kasus penyiksaan dan kekerasan di Papua memperlihatkan eskalasi yang serius dari pelanggaran hak asasi manusia dan kegagalan pendekatan keamanan yang ada. Hal ini menyiratkan kebutuhan mendesak akan solusi yang lebih humanis, dialogis, dan berorientasi pada kesejahteraan rakyat Papua. Penting untuk diingat bahwa penyiksaan adalah pelanggaran HAM yang tidak dapat ditoleransi, dan pendekatan militeristik tidak lagi relevan atau efektif dalam menyelesaikan konflik di wilayah tersebut.
Diperlukan partisipasi aktif masyarakat Papua dalam proses pengambilan keputusan yang terkait dengan masa depan mereka, sementara pemerintah harus memastikan transparansi, akuntabilitas, dan responsivitas dalam menangani kasus-kasus penyiksaan. Demi membangun Papua yang damai dan sejahtera, perlu fokus pada peningkatan kesejahteraan, pembangunan infrastruktur, dan pembangunan budaya anti-penyiksaan dalam institusi keamanan.
Terlebih lagi, penegakan prinsip-prinsip etika administrasi publik akan menjadi landasan utama dalam memastikan penyelesaian yang adil dan efektif terhadap masalah ini serta memulihkan kepercayaan masyarakat. Dengan mengadopsi pendekatan yang lebih humanis dan berorientasi pada hak asasi manusia, kita dapat memastikan bahwa Papua akan menuju masa depan yang lebih cerah dan damai.
Dampak dari penyiksaan dan kekerasan terhadap warga sipil di Papua sangat merugikan, baik bagi individu maupun masyarakat secara keseluruhan. Korban mengalami trauma fisik dan psikis yang mendalam, berpotensi memberikan dampak jangka panjang terhadap kesehatan mental dan kesejahteraan mereka.
Selain itu, masyarakat Papua hidup dalam ketakutan dan ketidakpercayaan terhadap aparat keamanan, menghambat upaya perdamaian dan pembangunan di wilayah tersebut. Lebih lanjut, tindakan penyiksaan dan kekerasan merupakan pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia, yang dapat merusak citra Indonesia di mata internasional dan menghambat kemajuan demokrasi. Dengan demikian, penting bagi pemerintah untuk mengatasi masalah ini dengan serius dan bertanggung jawab.
Sumber Rujukan
Laporan KontraS "Penyiksaan dan Kekerasan di Papua: Sebuah Luka Lama yang Tak Kunjung Sembuh" (2024)
Laporan Amnesty International "Indonesia: Penyiksaan dan Kekerasan Berlanjut di Papua" (2023)
Laporan Human Rights Watch "Papua: Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berkelanjutan" (2022)
Laporan Komnas HAM "Penyelidikan Pelanggaran HAM Berat di Papua" (2021)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H