Pendahuluan
Korupsi adalah permasalahan sistemik yang menghambat pembangunan dan merusak kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Dalam konteks Indonesia, salah satu kasus korupsi terbesar yang menarik perhatian publik adalah kasus proyek kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP).Â
Kasus ini melibatkan banyak pejabat tinggi, termasuk anggota legislatif dan kementerian, dengan nilai kerugian negara mencapai triliunan rupiah. Dalam artikel ini, teori Robert Klitgaard (CDMA) dan Jack Bologna (GONE) digunakan untuk menganalisis penyebab terjadinya korupsi pada proyek e-KTP.
Apa Kasus Korupsi e-KTP?
Kasus korupsi e-KTP bermula dari proyek pemerintah Indonesia yang bertujuan menciptakan sistem identitas nasional berbasis elektronik. Proyek yang dimulai pada 2011 ini dianggarkan sebesar Rp5,9 triliun. Namun, berdasarkan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), ditemukan bahwa Rp2,3 triliun dari anggaran tersebut diselewengkan oleh berbagai pihak.
Para pelaku utama dalam kasus ini melibatkan mantan Ketua DPR Setya Novanto, pejabat Kementerian Dalam Negeri seperti Irman dan Sugiharto, serta sejumlah anggota DPR lainnya.Â
Praktik korupsi dalam proyek ini melibatkan penggelembungan anggaran (mark-up), pembagian uang suap kepada pejabat, dan pengaturan tender oleh konsorsium tertentu. Akibatnya, banyak pihak yang dirugikan, baik secara finansial maupun kepercayaan publik terhadap pemerintah.
Putusan pengadilan terhadap Setya Novanto, sebagai salah satu aktor utama, menjatuhkan hukuman 15 tahun penjara dan kewajiban mengembalikan kerugian negara. Meski telah dijatuhi hukuman, dampak kasus ini masih terasa hingga kini, termasuk lemahnya pengawasan dalam proyek pemerintah lainnya.
Mengapa Kasus Korupsi e-KTP Terjadi?
Kasus korupsi e-KTP muncul akibat berbagai faktor, termasuk:
- Monopoli Kekuasaan dan Diskresi Pejabat: Pejabat tinggi yang terlibat memiliki wewenang besar dalam menentukan kebijakan proyek e-KTP, termasuk penunjukan vendor dan pengelolaan anggaran. Hal ini menciptakan celah untuk melakukan pengaturan tender.
- Ketiadaan Akuntabilitas: Sistem pengawasan yang lemah, baik di internal kementerian maupun DPR, memungkinkan penyimpangan terjadi tanpa deteksi dini.
- Budaya Korupsi Sistemik: Praktik suap dan kolusi telah menjadi norma di lingkungan pemerintahan, sehingga proyek besar seperti e-KTP mudah dimanfaatkan untuk keuntungan pribadi.
- Motivasi Keserakahan: Sebagian besar pelaku memiliki motivasi memperkaya diri tanpa memedulikan dampak pada negara.