Mohon tunggu...
Zahrotul Mutoharoh
Zahrotul Mutoharoh Mohon Tunggu... Guru - Semua orang adalah guruku

Guru pertamaku adalah ibu dan bapakku

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pelestarian Budaya di Kampung Rara

7 Desember 2020   08:38 Diperbarui: 7 Desember 2020   08:50 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kampungku terkenal dengan dunia pendidikannya. Pendidikan formal dan keagamaan. 

Di saat kampung lain membudayakan reog, maka di kampungku lebih terkenal dengan adanya sekolah dasar dan masjidnya.

Akan tetapi sewaktu kecil, di sekolah dasar kampungku tetap ada kegiatan untuk menghargai budaya lokal. Ada les tari serimpi dan tarian lainnya.

"Tari itu untuk menghargai kebudayaan kita..", kata bu Antik di kelas les tari.

Waktu itu aku masih kelas tiga. Tapi aku juga tertarik untuk ikut latihan. Sulit? Tentu saja iya.

Waktu itu aku berlatih sebisanya. Tidak seluwes mbak-mbak kelas di atasku. Tapi aku senang. Ada beberapa teman satu kelas yang juga ikut les tari di sekolah.

***

Di sisi lain, di kampungku sangat menghargai agama kami. Masjid kuno dibangun oleh leluhur di kampungku. Sampai saat ini masjid masih berdiri dengan kokohnya.

"Dug dug dug dug dug dug.."

Terdengar suara bedug ditabuh oleh muadzin di kampungku. Biasanya sih pak Panut.

"Bedug itu sebagai tanda masuknya shalat wajib, Ra..", kata ibu kepadaku. Itu sebagai jawaban kenapa selalu dipukul bedug saat akan shalat dilaksanakan di masjid.

"Sebetulnya yang menandakan masuknya shalat itu adzan, Ra..", sambung bapak yang sedang membaca koran. Koran diletakkan di atas meja.

"Tetapi bedug ini merupakan salah satu peninggalan budaya di kampung kita.. Dibuat khusus memang untuk menandai waktu shalat.. dilanjutkan dengan adzan dan iqamah..", lanjut bapak.

"Tidak semua masjid punya bedug lho, Ra..", kata bapak lagi.

"Kenapa, pak?", tanya Rara penasaran. Memang di kampung sebelah, di kampungnya Asri tidak ada bedug.

"Di sini sejak dulu dikenal sebagai tempat syiar agama, Ra. Banyak yang datang ke masjid kampung kita.." jawab bapak. 

"Kampung ini menjadi salah satu pusat agama di sekitar kampung kita. Jadi dengan adanya bedug ini akan didengar oleh warga tidak hanya di kampung kita.. Memanggil mereka untuk mau datang ke masjid.." lanjut bapak.

"Di sini juga sudah ada corong untuk adzan. Di masa itu di waktu yang sama, kampung lain belum ada masjid. Bahkan kalaupun ada ya belum ada bedug dan corong untuk adzan.." jelas bapak lagi.

"Sekarang tinggal kita mempergunakan masjid kita.. Ramaikan masjid dengan shalat berjamaah.." kata bapak lagi.

***

"Pak, terus kenapa sekarang bedug masih dipakai? Bukankah sekarang sudah lebih modern? Setiap masjid sudah ada corong untuk adzan.." tanya Rara.

"Bedug ini sebagai pembeda, Ra. Memang harus dijaga kelestariannya.." jawab bapak.

"Lalu di sekolah ada les tari. Itu juga untuk menjaga kelestarian budaya kita, Ra..", sambung ibu dari arah belakang. Kemudian ibu duduk di sebelah bapak.

"Seni tari itu bagus. Asalkan diikuti dengan sifat dan sikap yang baik. Tidak digunakan untuk pamer kecantikan dan yang jelek-jelek..", kata ibu lagi.

"Syukur-syukur disesuaikan dengan nilai agama kita. Jadi tidak berbenturan antara budaya dengan nilai agama kita.." lanjut ibu.

Rara mencoba mengerti apa yang dikatakan ibu dan bapak. Tentang budaya yang harus dilestarikan. Dan sesuai dengan nilai agama. Bedug di kampungku yang masih dipergunakan.

Dan seni lain juga dilestarikan. Termasuk mengikuti les tari. Asalkan diikuti dengan sifat dan sikap yang baik. Tidak bertentangan dengan agama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun