Mohon tunggu...
Zahrotul Mutoharoh
Zahrotul Mutoharoh Mohon Tunggu... Guru - Semua orang adalah guruku

Guru pertamaku adalah ibu dan bapakku

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Perjuanganku untuk Bersekolah

8 Agustus 2020   12:11 Diperbarui: 8 Agustus 2020   12:04 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku terlahir dengan keterbatasan. Tunanetra. Dan aku seperti tak diharapkan oleh orangtuaku dan keluargaku.

Kakak-kakakku disekolahkan. Sementara aku tidak. Aku hanya di rumah. Tidak bisa kemana-mana.

Hatiku berontak karena ketidakadilan yang ku dapatkan. Dan itu ku dapatkan dari orangtuaku dan keluargaku sendiri.

***

Ketika usiaku 10 tahun, ada beberapa orang datang ke rumahku. Menemui orangtuaku. Aku curi-curi dengar omongan mereka.

Orang-orang itu mengenalkan diri sebagai guru. Guru SLB dari salah satu kecamatan di Gunungkidul.

"Putrinya kajenge sekolah pak, bu..", kata guru perempuan. Entah siapa namanya.

"Waduh, bu. Anak kula niku wuto. Saget napa..", kata mamakku.

Rasanya mangkel aku dengar jawaban bapakku. Kenapa bapak tidak bertanya lebih dulu kepadaku. Aku kan juga ingin sekolah. Mau di sekolah umum seperti kakakku atau di SLB, sekolahan bapak ibu guru yang datang ke rumahku.

***

Bukan sekali dua kali guru-guru itu datang ke rumahku. Pada kedatangan kali ini, guru-guru itu ingin bertemu denganku. Akhirnya bapak dan mamakku memanggilku. Aku agak senang karena akan bertemu dengan guru-guru itu.

Aku duduk di depan bapak dan ibu guru itu. Aku measih mendengarkan bapak dan mamakku, yang tetap bicara bahwa aku tidak membutuhkan pendidikan. Tidak usah sekolah dan sebagainya.

"Begini pak, bu. Anak seperti ini juga harus bersekolah. Pemerintah sudah mendukung dengan adanya Sekolah Luar Biasa di setiap kecamatan. Ada baiknya anak bapak dan ibu, disekolahkan juga. Kasihan nanti kalau sudah dewasa, tetapi tidak bisa apa-apa", kata pak guru itu. O iya, namaku Hani. Dan bapak guru itu memperkenalkan namanya, pak Wur. 

"Duh, pripun nggih pak, bu? Biar anak kami ini, Hani, di rumah saja", kata mamakku.

"Apa tidak sebaiknya anak ibu ini ditanyai dulu. Mau atau tidak untuk bersekolah. Toh, ada contohnya, orang yang tunanetra seperti anak bapak ibu juga berhasil. Ada yang menjadi guru di sekolah kami. Bahkan menjadi PNS. Di sekolah juga ada asrama jika bapak dan ibu merasa kesulitan mengantar jemput putri bapak ibu", kata ibu guru. Namanya bu Sum.

Dengan banyak alasan bapak dan mamakku masih saja beralasan macam-macam. Hingga akhirnya, bapak dan mamak mau menerima usulan dari Pak Wur dan bu Sum. 

"Piye, Han? Apa kamu ingin sekolah?", tanya mamak.

"Iya, mak..", jawabku.

Mungkin bapak dan mamak tidak mengira jawabanku seperti ini. Ya, karena bapak dan mamak tidak pernah bertanya kepadaku. Apakah mau bersekolah atau tidak. Yang diperhatikan hanya kakak-kakakku saja.

***

Aku sekarang sudah kuliah. Ya, harus "nibo tangi" untuk biaya kuliahku. Aku ikut mengamen untuk mendapatkan uang. 

Semasa sekolahku dulu, aku juga sedikit-sedikit menabung untuk masa depanku. Dari mengisi acara pernikahan atau khitan, aku mendapatkan sedikit uang yang bisa ku tabung. Tepatnya ku titipkan pada salah satu guru di sekolahku.

Dan saat aku masih di jenjang SDLB dan SMP Swasta, ada yang mengangkat aku sebagai anak. Kata orang itu, intinya ingin membantuku hingga SMP. Dan itu benar dilakukan oleh beliau.

Dan aku berterimakasih kepada beliau, karena telah sudi membantuku. Bahkan di saat keluargaku sendiri tidak membiayai sekolahku.

 Saat-saat kuliah seperti ini, aku tak pernah menyangka. Ternyata bisa kuliah, meski berat dari segi biaya dan materi perkuliahan. Tapi aku tak akan patah arang. 

Nasehat-nasehat guru-guru SLB dulu, dan guru-guru SMP dan SMA inklusi tidak akan pernah ku lupakan. Dan juga nasehat orang yang sudi membantu membiayai kebutuhanku saat aku bersekolah di SLB dan SMP. Semoga aku akan bisa menjadi kebanggaan mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun